Bogor, (Antara Megapolitan) - IPB menggelar forum diskusi grup bertajuk "Menggali Berbagai Pemikiran Cemerlang IPB" dimana salah satu saran yang dihasilkan adalah merancang arsitektur keilmuan pertanian hingga 2045.

Hal itu dilakukan untuk menjawab tantangan masa depan agar pendidikan pertanian di Indonesia memiliki arah yang jelas, kata Rektor IPB Prof Herry Suhardiyanto, MSc dalam forum diskusi yang digelar di Kampus Pascasarja Manajemen Bisnis IPB, Kota Bogor, Selasa.

"Diharapkan rancangan arsitektur ini bisa dirilis akhir 2015 ini guna memberikan arahan yang jelas terhadap pembangunan pendidikan pertanian di Indonesia," katanya.

Sebagai salah satu narasumber dalam forum yang dihadiri puluhan guru besar IPB, Prof Herry memaparkan makalahnya yang berjudul "Kiprah dan Capaian IPB dalam Pengembangan Pendidikan Tinggi".

Dia mengatakan, sejak awal berdirinya IPB diberi mandat untuk memajukan ilmu-ilmu pertanian.

"Semua hal yang dikembangkan di IPB ditujukan untuk kemajuan pertanian di Indonesia," katanya.

Setelah 50 tahun IPB berdiri, berbagai prestasi telah dilahirkan oleh perguruan tinggi negeri terbaik tersebut. IPB sudah menjadi patron pendidikan tinggi pertanian di Indonesia.

"IPB menjadi perintis dan pembuat ide hampir dalam banyak hal," katanya.

Ia juga mengatakan, IPB unggul dalam penerapan Tri Dharma Perguruan Tinggi melalui program PMDK, TPB, PPS, sekolah vokasi, beasiswa utusan daerah, BIMAS, KUD, KKN dan lain sebagainya.

Publikasi ilmiah bidang pertanian yang dimiliki IPB terbesar di Indonesia baik skala nasional maupun internasional, begitu juga karya inovasinya yang mendominasi dari tahun ke tahun yakni mencapai 38,5 persen.

"IPB pernah berperan penting dalam program revolusi hijau, khususnya menginisiasi konsep Bimas hingga implementasinya yang melibatkan para mahasiswa untuk turun ke lapangan," katanya.

Pada tahun 1971 lanjut Prof Herry, konsep koperasi unit desa (KUD) lahir berbarengan dengan konsep UPGK sebagai implikasi dari penerapan konsep BIMAS. Pada 1973, IPB kembali mengukir sejarah dengan lahirnya indikator pengukuran kemiskinan dari Prof Sajogyo yang masih digunakan hingga sekarang.

Menurut Prof Syafrida Manuwoto guru besar IPB, begitu banyak prestasi yang dihasilkan oleh IPB apakah sudah membuat perguruan tinggi tersebut sebagai ladang yang subur untuk riset. Karena tahun 1910, Indonesia pernah menjadi pengekspor tebu terbesar di dunia. Itu terjadi karena pemanfaatan teknologi di bawah kolonial belanda.

"Artinya mari kita jadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai budaya masyarakat Indonesia. Tidak mungkin pendidikan pertanian Indonesia mencapai nilai yang bagus kalau IPB mundur menjadi mediokrasi," katanya.

Mengutip dari Yudi Latif, kata Prof Syafrida, telah terjadi kemunduran terhadap bangsa Indonesia, terjadi pendangkalan pikiran, pendangkalan intelektualitas, tidak bisa telaah yang komprehensif serta melupakan sejarah.

"IPB lebih terobsesi dengan capaian indikator kinerja yakni proses administratif dimana rektor atau dekan disetarakan dengan kepala sekolah. Menurut saya indikator kinerja bukan segalanya," katanya.

Prof Ravik Karsidi dari Universitas Sebelas Maret mengharapkan IPB bisa menjadi pusat jaringan pendidikan tinggi pertanian di Indonesia. Untuk itu perlu merevitalisasi jaringan perguruan tinggi pertanian yang ada.

Anggota jaringan nantinya akan berbagi peran untuk menjawab dan mewujudkan cita-cita mendidik generasi muda mencintai pertanian, menggugah kesadaran bangsa akan pentingnya pertanian, agar tidak terjadi kelangkaan pangan serta menjadi bangsa yang mendiri dan berdaulat pangan.

Forum diskusi grup Dewan Guru Besar IPB diselenggarakan dalam rangka menyusun naskah akademik "Menggali Keunggulan dan Budaya Akademik IPB " Refleksi Menyambut 70 Tahun Indonesia Merdeka,"

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015