Ketua Forum Kyai Muda Nahdlatul Ulama (FKMNU), KH Kholid Ar-rifai, Jumat (23/10) angkat bicara soal stigma santri yang terkesan kolonial dan tradisional. Ia membeberkan tiga cahaya yang harus dimiliki santri sebelum jauh membahas peran santri di era disrupsi dan era post modern.

Hal itu diungkapkan KH Kholid saat berbincang di acara Rujukan Podcast Kelompok Wartawan DPRD Kabupaten Bogor bertajuk 'Revitalisasi Peran Santri di Era Post Modern', beberapa waktu lalu. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi antara Rujukan, LDNU, FKMNU dan Lesbumi NU Kota Tangerang.

"Sebelum membahas jauh tentang santri yang selama ini terkesan kolonial dan tradisional dan peran santri di era disrupsi serta post modern, santri harus mempunyai tiga cahaya yaitu cahaya iman, islam dan ihsan," ujar KH Kholid.

Menurutnya, bila salah satu cahaya tersebut tidak ada, maka jangan harap Islam yang bermuatan rahmatan lil alamin tercipta.

KH Kholid menjelaskan, jika digali makna makna santri dan merujuk para ulama NU, makna santri terdiri dari empat huruf.

Huruf pertama Sin, yaitu Sabiqul bil khoiroot (Selalu menjadi pelopor dalam kebaikan).
Kemudian huruf kedua Nun. Bermakna Naibul Ulama, menjadi penerus dakwah ulama dan siap menjadi pemimpin umat.

Huruf ketiga, Ta'. Bermakna Tarikul Ma'aashi, artinya meninggalkan maksiat dalam hidupnya, baik maksiat lahir dan batin.

Huruf keempat yakni, Ra. Bermakna ridhollah atau ridho kepada Allah dan Ikhlas berjuang dalam menggapai ridho Allah.

Bila memahami empat makna itu, maka akan timbul santri yang penuh cahaya di era ini yang di mana perubahan terjadi begitu cepat akibat disrupsi dan tren perkembangan teknologi.

"Karenanya, selain melek ruhani, santri juga harus melek teknologi untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul, yang menekankan pada aspek kreativitas, inovasi dan kewirausahaan. Langkah tersebut diharapkan mampu untuk menghadapai tantangan perubahan zaman," tegas KH Kholi.

Di tempat yang sama, Pengurus Lesbumi NU Kota Tangerang, Kurniawan Nata Dipura menambahkan, di era ini santri harus senatiasa menjaga tradisi, budaya dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, agama kering tanpa budaya.

"Kaidah fiqihnya, al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah. Melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai baru yang lebih baik," terangnya.

Secara etimologis, kata kebudayaan berasal dari bahasa sanskerta, yaitu buddhayah, bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti akal atau budi.

Menurut ahli budaya, kata budaya merupakan gabungan dari dua kata, yaitu budi dan daya. Budi mengandung makna akal, pikiran, paham, pendapat, ikhtiar, perasaan. Sedangkan daya mengandung makna tenaga, kekuatan, dan kesanggupan.

"Sekalipun akar kata budaya di derivasi dari akar kata yang berbeda, dapat dikatakan bahwa kebudayaan berkenaan dengan hal-hal yang berkenaan dengan budi atau akal," terang Kurniawan.

Sementara itu, Ketua Lesbumi PCNU Kota Tangerang, Dedi Kurnia berpendapat saat ini upacara tradisional merupakan salah satu wujud ekspresi manusia dalam rangka mengungkapkan kehendak atau pikirannya sangat sulit dijumpai.

Padahal, dalam upacara terdapat nilai-nilai kehidupan dan budaya yang dimiliki masyarakat serta kearifan lokal.

"Melalui upacara juga akan dapat diketahui pandangan hidup masyarakat dan hubungan mereka dengan lingkungan sekitarnya. Sistem religi dan upacara keagamaan merupakan unsur kebudayaan universal yang paling sulit berubah dan paling sulit dipengaruhi kebudayaan lain," kata Dedi.

Dedi menambahkan, tradisi dan budaya itu0 bukan seperti kartu pos pariwisata yang absolut. Dia selalu berkembang karena bersinggungan dengan kekinian.

"Kalau tradisi tidak bersinggungan dengan kekinian, ya segera punah. Tapi ketika hal itu bersinggung dengan kekinian akan menemukan ruang eksistensinya terus menerus itu yang lebih penting," pungkasnya.(KR-MFS).

Pewarta: M Fikri Setiawan

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020