DPR RI menyatakan penyedia layanan over the top (OTT) tidak masuk dalam lingkup yang diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran karena konten yang disiarkan tidak diterima secara serentak.

Anggota Komisi III Habiburokhman mewakili DPR dalam sidang lanjutan pengujian UU Penyiaran di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, secara daring, Senin, mengatakan layanan OTT menggunakan spektrum frekuensi radio di luar dari blok frekuensi penyiaran yang ditetapkan pemerintah.

Frekuensi siaran televisi berada pada blok frekuensi UHF 478 sampai dengan 806 MHz, sedangkan untuk radio berada pada blok frekuensi 88 sampai 108 MHz.

Baca juga: Anggota DPR dukung Bawaslu tegas menindak politik uang

"Penggunaan frekuensi untuk kepentingan penyiaran dengan menggunakan frekuensi di luar rentang frekuensi tersebut bukanlah menjadi domain pengaturan dalam UU Penyiaran," kata Habiburokhman.

Selain itu, penyediaan layanan OTT memberikan berbagai macam layanan, seperti komunikasi dan pengiriman data berupa video, rekaman suara, foto dan lain-lain dengan menggunakan teknologi internet. Penyelenggaranya pun dapat berupa perorangan, badan usaha atau badan hukum di berbagai belahan bumi.

Untuk itu, penyedia layanan OTT disebutnya tidak memenuhi ketentuan mengenai bentuk badan hukum lembaga penyiaran sehingga perizinan dan pengawasan isi siaran tidak termasuk yang diatur dalam UU Penyiaran.

Adapun RCTI dan iNews TV yang mengajukan uji materi itu menyebut pengaturan penyiaran berbasis internet dalam Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Pemohon meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet turut diatur dalam Pasal 1 ayat 2 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
 

Pewarta: Dyah Dwi Astuti

Editor : M Fikri Setiawan


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020