Mataram (ANTARA) - Sirkuit Pertamina Mandalika kembali menjadi sorotan dunia. Ajang MotoGP Indonesia yang akan berlangsung pada 3–5 Oktober 2025, bukan hanya sekadar pesta olahraga motor kelas dunia, melainkan juga pertaruhan reputasi Indonesia di kancah global.
Lombok, dengan segala pesona alam dan budayanya, akan menjadi panggung internasional. Namun di balik gegap gempita balapan, ada sederet pekerjaan rumah yang tidak boleh diabaikan.
Persiapan teknis di lintasan disebut sudah mencapai 99 persen. Pit line, paddock, lintasan, dan perangkat elektronik balapan siap menyambut para pembalap.
Namun, kesiapan infrastruktur hanyalah satu sisi. Tantangan yang jauh lebih krusial justru berada di luar lintasan yakni keterlibatan masyarakat lokal, kesiapan transportasi, promosi tiket, dan keamanan sosial-politik daerah.
Tidak bisa dipungkiri, rangkaian aksi unjuk rasa dan kerusuhan yang sempat mengguncang NTB beberapa pekan terakhir menjadi catatan serius. Dunia menilai bukan hanya kualitas balapan, tetapi juga stabilitas sosial di daerah tuan rumah.
Kerusuhan yang berujung pada pembakaran gedung DPRD NTB adalah alarm keras bahwa pemerintah daerah dan aparat keamanan harus mengedepankan pendekatan persuasif dan dialogis, bukan sekadar represif. MotoGP hanya akan sukses bila masyarakat merasa aman, turis merasa nyaman, dan citra Indonesia tetap terjaga.
Solusinya jelas yakni pemerintah provinsi, kabupaten, hingga aparat keamanan harus membuka kanal komunikasi publik yang lebih intensif. Transparansi kebijakan, ruang partisipasi warga, serta edukasi publik tentang manfaat MotoGP bagi ekonomi daerah akan mencegah gesekan sosial yang tidak perlu.
MotoGP harus dipahami sebagai milik bersama, bukan sekadar acara elitis yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Tiket dan daya tarik penonton
Fakta lain yang patut dicermati adalah progres penjualan tiket yang baru mencapai 30 persen satu bulan sebelum balapan. Target 121 ribu penonton jelas belum aman. Di sisi lain, ancaman kompetisi dari F1 Singapura yang digelar pada waktu berdekatan bisa memecah pasar penonton Asia Tenggara.
Solusinya adalah strategi promosi yang lebih kreatif. Branding NTB harus nyata dan menonjol di arena MotoGP. Kampanye “Visit Lombok-Sumbawa” atau “Explore Mandalika” harus hadir di billboard, media sosial, hingga kolaborasi dengan influencer global.
Pemerintah daerah bersama penyelenggara perlu menambahkan “value for money” bagi penonton seperti halnya festival budaya, konser musik, kuliner lokal, hingga atraksi wisata yang membuat pengunjung betah lebih lama.
MotoGP bukan hanya menjual balapan, tetapi juga menjual pengalaman lengkap. Inilah saatnya NTB membuktikan diri sebagai sport tourism destination.
Mandalika sebagai cermin Bangsa
Mandalika hari ini bukan hanya arena balap, tetapi juga cermin bangsa. Apakah kita siap menunjukkan bahwa Indonesia mampu menggelar event dunia dengan standar tinggi, melibatkan rakyat, menjaga stabilitas, sekaligus memetik manfaat ekonomi?
Ajang ini hanya berlangsung tiga hari, tetapi dampaknya bisa berumur panjang. Bila dikelola dengan baik, MotoGP bisa menjadi ikon NTB dan Indonesia sebagai destinasi sport tourism dunia. Namun, bila dibiarkan sekadar sebagai event seremonial, ia hanya akan lewat seperti angin.
Mandalika berada di persimpangan strategis. Jalan mana yang kita pilih akan menentukan warisan apa yang akan kita tinggalkan. MotoGP 2025 adalah ujian, dan bangsa ini tidak boleh gagal.
