Padang (ANTARA) - Sehari menjelang Ramadhan pada setiap tahun, kaum ibu di Sumatera Barat akan berbondong-bondong menuju pasar, atau biasa disebut "pakan" atau "balai".
Di Sumatera Barat, banyak sajian khas yang menggugah selera. Ada gulai hiu di daerah pesisir pantai terutama di Pasaman. Ada ayam atau itik lado hijau dari Bukittinggi dan Agam, ada sambalado tanak, dendeng dan banyak lagi karena hampir semua daerah memiliki kuliner khas sendiri. Tapi satu yang memiliki nilai istimewa adalah rendang.
Ketua Bundo Kanduang Provinsi Sumatera Barat Puti Reno Raudha Thaib menyebut rendang dikenal sebagai "kapalo samba" atau "induak samba" (lauk utama) dalam budaya Minangkabau. Dalam setiap prosesi adat, atau acara-acara istimewa, rendang tidak boleh ketinggalan. Rendang Menjadi menu wajib.
Maka tidak heran bila untuk sahur dan berbuka perdana yang istimewa, banyak yang memilih untuk menyajikan lauk yang istimewa itu. Rendang. Menyajikan rendang di awal Ramadhan telah menjadi sebuah tradisi di Sumatera Barat.
Begitulah. Sehari menjelang Ramadhan itu, pasar-pasar tradisional akan penuh sesak oleh pembeli. Suara pedagang yang menawarkan jualannya saling tumpang tindih dengan suara ibu-ibu yang menawar harga.
Aktivitas ekonomi berdenyut kencang, terutama untuk komoditas yang menjadi bahan dan bumbu rendang. Pedagang daging sapi, cabai, bumbu, rempah dan tentu saja santan kelapa, panen pembeli.
Layaknya ibu-ibu, permintaannya banyak. Saat membeli daging akan pilih-pilih, belum lagi minta tambahan tetelan. Kebiasaan itu menjadikan antrean makin panjang dan lama.
Antrean panjang juga akan terjadi saat membeli santan, karena biasanya mereka tidak mau membeli santan yang sudah siap jual. Maunya memilih sendiri kelapa yang sudah tua, minta diparutkan lalu peras jadi santan.
Untuk satu kilogram daging, biasanya dibutuhkan santan dari 4-5 butir kelapa tua. Bisa dibayangkan betapa lamanya orang harus menunggu bila dapat antrean paling belakang.
Rendang yang sempurna butuh waktu berjam-jam untuk dimasak. Setidaknya 5-6 jam hingga berwarna kehitaman.
Itulah rendang. Kuliner khas yang menurut Guru Besar Sejarah Unand Prof Dr Phil Gusti Asnan telah ada sejak abad XIV.
Selain karena rasa dan nilainya yang istimewa, menyiapkan rendang pada awal Ramadhan juga memiliki manfaat lain. Ibarat sedia payung sebelum hujan, membantu adaptasi pada awal Ramadhan.
Tidak semua orang yang bisa langsung beradaptasi dengan perubahan siklus keseharian pada awal Ramadhan. Biasanya, bangun saat sebelum azan atau saat adan subuh memanggil.
Namun saat memasuki bulan Ramadhan, waktu bangun harus dipercepat agar bisa menyiapkan sajian untuk bersantap sahur. Kadang, di awal Ramadhan, ada juga yang belum siap dengan perubahan siklus itu sehingga bangun terlambat bahkan tidak sempat sahur.
Bagi yang terlambat bangun, menyediakan sajian sahur yang ribet tentu bukan pilihan. Perlu lauk "cepat saji". Berbeda dari proses pembuatannya yang butuh waktu lama, rendang yang telah selesai sangat efisien dalam penyajian. Tidak butuh waktu lama.
Rendang juga memiliki sebuah kelebihan yaitu tahan lama. Bisa berminggu-minggu. Untuk keluarga kecil, membuat satu kilogram daging rendang bisa tahan untuk lauk seminggu. Cukup untuk beradaptasi dengan awal Ramadhan.
Baca juga: Talam dan bubur peca di Samarinda
Baca juga: Bubur Peca di masjid tertua Samarinda