Lombok Tengah (ANTARA) - Pukul 03.41 Waktu Indonesia Tengah (WITA), Saumin tidak bergeming dari tempat duduknya di pantai berbatu, meski puluhan orang sudah lebih dulu turun ke laut untuk menangkap nyale atau cacing laut.
Debur ombak yang memecah hening bertabrakan dengan suara berisik sorakan orang-orang yang datang untuk berburu nyale.
"Saya turun (untuk mengambil nyale) nanti selepas Shalat Subuh," ucap pria paruh baya tersebut, saat ditemui Antara di Pantai Tampah, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Air laut yang semula pasang, perlahan surut dan bergerak menjauhi garis pantai. Langit yang tertutupi tirai gelap sedikit demi sedikit mulai tersingkap menjadi terang, seiring kemunculan Matahari dari ufuk timur.
Pada 18 Februari 2025, ribuan orang tumpah ruah memadati pantai untuk mengikuti tradisi turun-temurun menangkap cacing laut yang secara harfiah disebut bau nyale oleh penduduk Suku Sasak itu.
Di wilayah selatan dan timur Pulau Lombok, hingga Pulau Sumbawa, hewan bernama latin Palola viridis itu ditangkap secara tradisional menggunakan tangan dan jala. Beberapa warga ada yang langsung berlayar ke tengah laut menaiki perahu demi meraup hasil tangkapan lebih banyak.
Sejauh ini belum ada literatur yang mengungkap sejarah pasti kapan masyarakat mulai menangkap nyale. Tradisi berburu cacing laut tersebut hanya ada di "catatan" folklor atau cerita lisan tentang Putri Mandalika dari Kerajaan Sekar Kuning yang berkorban menjatuhkan diri ke laut, lalu menjelma menjadi nyale.
Durasi perburuan nyale hanya sebentar, sekitar 1,5 jam dari pukul 04.30 sampai 06.00 pagi, setiap tanggal 19 dan 20 bulan kesepuluh menurut perhitungan kalender Sasak.
Nyale keluar dari liang terumbu karang menjelang terbit fajar. Ketika Matahari muncul, nyale yang tidak tertangkap berangsur lenyap masuk kembali ke dalam liang terumbu karang di dasar lautan.
Enkultrasi budaya
Ingatan Saumin kembali ke era awal 70-an, saat pertama kali diajak menangkap nyale oleh orang tuanya. Pemburu nyale hanya dilakukan oleh ayah dan anak laki-laki remaja. Mereka berjalan kaki dari kampung hingga ke tepian pantai, melewati lembah, bukit, dan hutan selama berjam-jam.
Perjalanan jauh dan berbahaya, membuat perburuan nyale dilakukan oleh laki-laki, sedangkan para ibu dan anak perempuan menunggu di rumah, sembari menyiapkan berbagai keperluan perburuan serta aneka bumbu olahan.
Sejak sore hari tanggal 18, warga sudah berkumpul di pantai dan di lokasi-lokasi yang secara tradisional menjadi tempat penangkapan nyale setiap tahun. Mereka berteduh di bawah tebing-tebing batu karang, beberapa ada pula yang membangun tenda sederhana beratap daun palma.
Para pemburu sabar menanti sampai terbit fajar tanggal 19, maka saat itulah nyale keluar mengambang ke permukaan laut. Kegiatan penangkapan dilakukan dengan tangan kosong dan tanpa penerangan lampu.

Nyanyian atau tembang dan saling berbalas pantun memecah hening fajar selama proses penangkapan nyale. Sumber cahaya hanya berasal dari sinar bulan dan kemunculan cahaya kemerah-merahan di langit sebelah timur, menjelang Matahari terbit yang membias di air laut bergelombang.
Bila hasil tangkapan sedikit saat perburuan hari pertama, maka mereka dengan sabar menanti kesempatan pada perburuan hari kedua. Di tenda-tenda sederhana yang berdiri di sepanjang garis pantai, warga menyiapkan beragam perlengkapan memasak.
Nyale yang berhasil ditangkap langsung dipanggang menggunakan daun kelapa atau daun pisang agar awet, lalu sebagian dimasak menjadi lauk nasi atau ubi selama mereka menetap di tepian pantai.
Tiga dekade kemudian, tradisi menangkap cacing laut itu mulai bergeser, apalagi sejak muncul kendaraan bermotor dan lampu senter, membuat orang-orang tidak harus bermalam di pantai.
Saat ini semua kalangan tumpah ruah menjadi pemburu nyale, nilai eksklusif yang semula hadir, perlahan memudar, sebab tidak lagi terdengar nyanyian tembang dan berbalas pantun dari mulut orang-orang yang membungkukkan badan ke laut untuk menangkap nyale.
Berdasarkan buku yang ditulis oleh Lalu Wacana berjudul "Nyale di Lombok" yang terbit tahun 1982, tradisi bau nyale menjadi sarana enkultrasi karena warga yang datang ke lokasi penangkapan cacing laut bukan saja orang-orang yang berasal dari daerah sekitar, tetapi berasal dari kecamatan lain maupun wilayah lain.
Bagi mereka yang berasal dari luar kelompok masyarakat pemilik tradisi tersebut, kedatangan ke sana hanya untuk menyaksikan tradisi bau nyale. Namun, secara tidak sadar mereka juga menjadi perhatian anggota kelompok masyarakat tradisional.
Cara berpakaian, sikap, dan perkataan memberikan pengaruh yang secara tidak langsung terjadi proses enkultrasi budaya. Apalagi yang hadir dalam kegiatan penangkapan nyale bukan saja orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja.
Anak-anak dan remaja menyaksikan dalam praktik bagaimana proses tradisi bau nyale tersebut berlangsung. Mereka ikut merasakan bagaimana seharusnya mengatur kesabaran semalam suntuk menanti fajar menyingsing, saat keluar nyale ke permukaan laut.
Penguat solidaritas
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Joko Pamungkas, melalui jurnal ilmiah berjudul "Swarming Cacing Laut Polikhaeta (Annelida) di Indonesia" yang terbit tahun 2009 mengungkapkan alasan serbuan cacing laut sekali setahun.
Fenomena itu terjadi lantaran beberapa spesies Polychaeta, saat purnama atau beberapa hari usai purnama menjadi dewasa secara seksual. Siklus hidup nyale berlangsung satu kali pemijahan dalam setahun.
Tradisi menangkap cacing laut adalah hari raya perjumpaan bagi penduduk Suku Sasak. Mereka yang jarang bertemu dan tidak ada waktu bertandang karena kesibukan bertani, berladang, maupun berdagang, akhirnya bisa berjumpa kembali melalui momen bau nyale.
Setiap desa biasanya sudah memiliki lokasi menunggu fajar yang selalu sama setiap tahun, saat perburuan nyale. Dari generasi ke generasi, tempat berkemah dan menunggu fajar itu tidak pernah berpindah.
Kehadiran mereka secara serentak di pantai memperkuat rasa kekeluargaan, kebersamaan, dan keakraban yang merujuk pertalian asal-usul yang sama. Tidak jarang selama penantian nyale dari malam hingga fajar, suara orang-orang berbincang terdengar riuh.
Setiap orang saling berbagi kisah yang terkadang menimbulkan suka-cita maupun keharuan. Mereka merasa menemukan kembali kehangatan keluarga yang hilang akibat kesibukan pekerjaan.
Perburuan nyale di Pulau Lombok bukan sekadar menjalankan rutinitas turun-temurun dari sebuah tradisi tahunan, melainkan ada penyatuan perasaan yang dapat menambah nilai keakraban dan solidaritas antara sesama manusia.
Ribuan warga
Ribuan warga, baik wisatawan lokal maupun asing turun ke laut di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, Lombok Tengah, NTB untuk menangkap nyale (cacing laut) yang dipercaya merupakan jelmaan legenda Putri Mandalika.
"Kami datang ke Pantai Seger, Mandalika ini untuk Bau Nyale (menangkap cacing laut)," kata Rahman pengunjung asal Desa Bonjeruk, Lombok Tengah.
Ia bersama keluarga datang menggunakan kendaraan roda empat dan mereka berangkat menuju lokasi Bau Nyale pada Selasa (18/2) malam, sehingga mereka mendirikan tenda sebagai tempat beristirahat untuk menunggu Nyale keluar pada dini hari atau pukul 05.00 Wita hingga matahari terbit.
"Tadi kami turun ke laut untuk menangkap Nyale menggunakan sorok (jaring), lampu senter dan ember. Nyale yang bisa kami tangkap sedikit," katanya.
Sebelumnya, Sekda Lombok Tengah Lalu Firman Wijaya mengatakan hari ini merupakan puncak Bau Nyale yang merupakan janji Putri Mandalika menjumpai masyarakat yang damai dan makmur.
Putri Mandalika dalam legenda mengajarkan tentang pentingnya pengorbanan diri untuk kepentingan masyarakat.
"Bau Nyale ini menjadi magnet untuk menarik kunjungan wisatawan lebih banyak hadir di Mandalika," katanya.
Ia mengatakan sebagai tuan rumah yang baik, masyarakat harus memastikan tamu-tamu yang datang membawa rezeki ini dilayani dengan baik dengan memberikan kenyamanan dan rasa aman.
Kawasan ini telah ditetapkan menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika, sebuah kawasan sebagai destinasi super prioritas pariwisata Indonesia.
KEK Mandalika yang di dalamnya dibangun Sirkuit MotoGP diharapkan sebagai penggerak utama pertumbuhan ekonomi masyarakat.
"Mari semua mendukung pengembangan pariwisata di kawasan ini dengan harapan kehidupan menjadi lebih baik di masa yang akan datang," katanya.
Nyale ini adalah jelmaan dari seorang putri cantik Gumi Sasak yang bernama Putri Mandalika, yang merupakan seorang putri kerajaan yang memiliki kecantikan luar biasa yang tidak dimiliki putri-putri kerajaan pada waktu itu.
Karena itu, banyak pangeran dari beragam kerajaan menaruh rasa dan bersaing untuk bisa meminang putri tersebut. Namun, melihat persaingan itu, Putri Mandalika tidak mau memilih salah satu dari mereka, karena khawatir terjadi pertumpahan darah.
Maka, putri cantik tersebut menceburkan diri ke laut dan menjelma menjadi Nyale agar semua orang bisa mendapatkannya. Sehingga, masyarakat Sasak percaya bahwa Nyale merupakan jelmaan Putri Mandalika akan muncul setiap bulan ke sepuluh dalam penanggalan orang Sasak atau jatuh pada bulan Februari, dan menjadi salah satu tradisi sampai sekarang.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Nusa Tenggara Barat Jamaludin Malady mengatakan pada 2025 ini tidak ada anggaran yang disiapkan pemerintah Provinsi NTB mendukung Bau Nyale tersebut, karena ajang daerah itu telah mendapatkan anggaran dari APBD.
Pada tahun sebelumnya ajang Bau Nyale (menangkap cacing di laut), yang merupakan tradisi Suku Sasak masuk dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) 2023 sebagai program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.
Namun, untuk tahun ini ajang Bau Nyale itu tidak masuk dalam KEN 2025 dan anggaran dari pemerintah Provinsi NTB tidak disiapkan.
Ajang Bau Nyale itu dinilai telah mandiri, sehingga pemerintah daerah Lombok Tengah menyiapkan anggaran sendiri. Namun, kami tetap mendukung dalam promosi.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah menetapkan puncak kegiatan Bau Nyale digelar di KEK Mandalika pada 18-19 Februari 2025.
Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Tengah Lalu Sungkul saat memimpin sangkep wariga (musyawarah) mengatakan berdasarkan hasil sangkep warige dan tanda-tanda alam kemunculan nyale yang merupakan jelmaan putri Mandalika pada penanggalan sasak pada tanggal 20 bulan 10 bertepatan dengan 18-19 Februari 2025. Artinya, Bau Nyale jatuh pada hari Selasa-Rabu (18-19 Februari 2025.
Sangkep warige yang dihadiri tokoh adat, budaya serta pemuda dari Kecamatan Praya Timur, Kecamatan Pujut, Kecamatan Praya Barat dan Kecamatan Praya Barat Daya tersebut berlangsung cukup alot, namun berjalan lancar.
Perdebatan terjadi karena muncul perbedaan waktu dari beberapa tokoh adat di antaranya tokoh adat Kecamatan Praya Timur menetapkan Bau Nyale tanggal 18-19 Februari 2025. Adapun tokoh adat Kecamatan Pujut H Yakup menetapkan tanggal 17-18 Februari 2025.
Sementara tokoh adat Kecamatan Praya Barat, Mamiq Budiman mengungkapkan bahwa berdasarkan fenomena alam atau tanda-tanda alam, Bau Nyale tepat jatuh pada 17-18 Februari 2025.
Setelah melalui perdebatan serta kajian yang matang, akhirnya tokoh-tokoh adat yang hadir pada sangkep warige tersebut memutuskan dan menetapkan pelaksanaan Bau Nyale jatuh pada 18-19 Februari 2025.
Baca juga: Ribuan warga menangkap "Nyale" di laut Mandalika Lombok Tengah NTB
Baca juga: Penanganan sampah pada Festival "Bau Nyale" di Mandalika dilakukan gotong royong