Jakarta (ANTARA) - Kebijakan pajak merupakan alat yang efektif bagi pemerintah untuk mempengaruhi perilaku ekonomi, termasuk dalam mendorong investasi hijau dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Di banyak negara, insentif pajak sering digunakan untuk merangsang investasi yang lebih ramah lingkungan dan mendukung transisi menuju ekonomi berkelanjutan.
Kebijakan insentif pajak telah diterapkan dalam berbagai bentuk di Indonesia untuk mendorong investasi hijau, termasuk insentif Pajak Penghasilan Badan (Corporate Income Tax/CIT) yang diberikan kepada perusahaan yang berinvestasi dalam teknologi ramah lingkungan.
Menurut Kronfol dan Sandoval (2025), insentif pajak untuk investasi hijau dapat dikategorikan ke dalam tiga jenis utama.
Pertama, Insentif Berorientasi Sektor Hijau. Insentif ini diberikan kepada perusahaan yang berinvestasi dalam produk-produk ramah lingkungan, seperti kendaraan listrik dan energi terbarukan.
Kedua, Insentif Berorientasi Proses Hijau. Insentif ini bertujuan mendorong perusahaan untuk mengadopsi proses produksi yang lebih ramah lingkungan, misalnya melalui penggunaan energi bersih dan praktik daur ulang.
Ketiga, Insentif untuk Sektor yang Mencemari. Insentif ini diberikan kepada industri yang memiliki dampak lingkungan negatif, seperti sektor bahan bakar fosil dan pertambangan, yang dapat menghambat upaya transisi hijau.
Sayangnya, banyak negara, termasuk Indonesia, masih menawarkan insentif bagi industri yang mencemari lingkungan, yang justru bertentangan dengan kebijakan keberlanjutan. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan insentif pajak agar dapat lebih mendukung investasi hijau.
Beberapa negara telah berhasil menerapkan kebijakan pajak perusahaan untuk mendorong ekonomi hijau. Jerman telah menerapkan sistem pajak karbon dan memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang berinvestasi dalam energi terbarukan (OECD, 2023). Hasilnya, pada tahun 2022, lebih dari 46 persen konsumsi listrik Jerman berasal dari energi terbarukan (Bundesnetzagentur, 2023).
Swedia menerapkan pajak karbon sejak 1991, yang mendorong perusahaan mengurangi emisi dan beralih ke energi bersih. Kanada memiliki sistem harga karbon yang ketat dan memberikan keringanan pajak bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi rendah karbon.
China telah menerapkan pajak insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam kendaraan listrik dan energi terbarukan. Hasilnya, pada tahun 2023, lebih dari 60 persen kendaraan listrik global diproduksi di China, yang menunjukkan efektivitas kebijakan fiskal dalam mendorong inovasi hijau (IEA, 2023).
Inggris telah menerapkan skema pajak karbon sejak 2013, yang mendorong perusahaan untuk beralih ke energi hijau.
Jepang menawarkan insentif pajak bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi rendah karbon, terutama di sektor manufaktur.
Sebagai negara berkembang, Indonesia telah menerapkan berbagai insentif pajak untuk mendukung investasi hijau. Beberapa kebijakan utama yang telah diterapkan diantaranya adalah Super Deduction Tax untuk R&D Teknologi Hijau. Pemerintah Indonesia memberikan pengurangan pajak hingga 300 persen bagi perusahaan yang berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan teknologi hijau.
Sejak 2022, Indonesia mulai menerapkan pajak karbon pada industri dengan emisi tinggi. Namun, efektivitas kebijakan ini masih diperdebatkan karena tarif pajak yang rendah.
Di Indonesia, meskipun berbagai kebijakan telah diterapkan untuk mendukung ekonomi hijau, masih terdapat ketidakseimbangan dalam penerapannya. Pajak perusahaan dapat berperan penting dalam mendukung produksi rendah karbon dan investasi hijau.
Di sisi lain, pajak karbon dapat dikenakan pada perusahaan yang menghasilkan emisi karbon tinggi, seperti perusahaan yang mengandalkan bahan bakar fosil dalam proses produksinya. Hal ini memberikan insentif bagi perusahaan untuk beralih ke praktik yang lebih ramah lingkungan.
*) Dr.Aswin Rivai,SE.,MM adalah pemerhati ekonomi dan Dosen FEB-UPN Veteran Jakarta