Jakarta (ANTARA) - Tak lama setelah dilantik pada 20 Januari 2025, Donald Trump memuntahkan peluru konfliknya kepada China dengan mengenakan bea masuk 10 persen kepada semua produk China yang masuk Amerika Serikat.
Uniknya hal itu tak saja dilakukan kepada China yang dipersepsikan ancaman utama oleh AS, tetapi Trump juga menyerang sekutu-sekutu negerinya.
Kanada dan Meksiko, yang menjadi sekutu-sekutu terdekat AS di benua Amerika, menjadi yang pertama dia bully, bahkan Kanada disentilnya sebagai seharusnya menjadi negara bagian AS yang ke-51.
Trump juga membuat Eropa kesal karena ingin mengakuisisi Greenland yang secara de jure dan de facto adalah wilayah kedaulatan Denmark, walau letaknya lebih dekat ke AS. Ironisnya Denmark adalah juga anggota NATO seperti halnya AS.
Prakarsa-prakarsa Trump yang sensasional tak hanya melukiskan kebijakan "America First"-nya, tapi juga merepresentasikan pribadinya yang narsistis.
Psikiater terkemuka AS, Robert J. Lifton, bahkan menyebut Trump mengidap solipsis, versi lebih akut dari narsisisme.
Jika melihat prakarsa Trump di Gaza, Ukraina dan Greenland, maka pandangan Robert Lifton tentang Trump itu ada benarnya. Itu karena prakarsa-prakarsa Trump yang dianggap realistis oleh sebagian orang, umumnya tak menunjukkan empati kepada yang lain dan sebaliknya hanya menunjukkan egoisme Trump.
Andrew Roth dari The Guardian bahkan menyebut Trump sebagai tak berperasaan karena mendesak Ukraina menyerahkan wilayahnya yang diduduki Rusia kepada rezim Presiden Vladimir Putin, sebagai salah satu syarat pengakhiran perang di Ukraina.
Pendekatan mati rasa juga ditunjukkan Trump di Gaza. Alih-alih mengamini pandangan dunia mengenai dugaan pembersihan etnis oleh Israel di Gaza, Trump malah ingin mengambil alih Gaza untuk kemudian mengusir warga Palestina dari Gaza, yang sudah ribuan tahun mendiami wilayah itu.
Trump bahkan mengancam menghentikan bantuan kepada Mesir dan Yordania jika menolak skenarionya di Gaza. Dua negara ini adalah penampung terbesar warga Palestina, selain berbatasan langsung dengan Palestina.
Padahal Mesir, membayangkan chaos jika dua juta penduduk Gaza masuk wilayahnya.
Bukan karena Mesir tak bersimpati kepada Palestina, tapi ongkos politik, ekonomi, keamanan dan demografisnya terlalu mahal dan besar untuk keamanan dan stabilitas Mesir.
Trump sama sekali tak mempertimbangkan perasaan Mesir, sama seperti kepada Ukraina.
Tapi Trump melupakan satu hal dari Mesir bahwa negara ini tak lagi menganggap AS tambatan utamanya. Mesir kini dekat dengan China, yang makin dekat setelah menjadi anggota BRICS, di mana China menjadi motor utamanya. China juga negara yang memenuhi 21 persen dari total impor Mesir pada 2022.
Menurut badan statistik Mesir, selama periode 2017-2022, investasi China di Mesir melonjak 317 persen ketika investasi AS di Mesir anjlok sampai 31 persen pada periode sama.
Ternyata perkembangan itu kongruen dengan persepsi rakyat Mesir terhadap China.
Jajak pendapat Washington Institute belum lama ini menunjukkan rakyat Mesir memandang China lebih penting ketimbang AS, bahkan AS dan juga Israel, dianggap musuh terbesar Mesir berdasarkan survei Egyptian Center for Public Opinion Research (Baseera) pada 2015.
Bukan hanya di luar negeri, Trump juga memerangi semua yang dianggapnya musuh di dalam negeri.
Di bawah sentimen itu dan memakai baju efisiensi, Trump mengamputasi birokrasi, persis seperti dianjurkan kapitalis-kapitalis kakap seperti disinggung Naomi Klein dalam "The Schock Doctrine; The Rise of Disaster Capitalism".
Kerja birokrasi dalam bayangan Trump melulu sebagai beban, bukan sebagai investasi sosial.
Pandangan itu pula yang membuatnya mengamini pembantunya yang sama narsistis dengannya, Elon Musk, untuk membubarkan USAID ketika saat bersamaan dia terus memojokkan China yang pengaruhnya sudah mencapai di pelataran depan AS di Amerika Tengah dan Amerika Selatan.
Padahal USAID adalah salah satu kendaraan yang bisa membuat dunia berpihak kepada AS.
Selain dianggap tak memiliki rencana jangka panjang, Trump agaknya juga membayangkan AS masih dalam era ketika negara ini masih menerapkan doktrin isolasionis yang pada 1917 diakhiri Presiden Woodrow Wilson dengan menyatakan AS akhirnya melibatkan diri dalam Perang Dunia I.
Padahal dunia saat ini berbeda. Kini, mustahil AS bertindak sendirian dan isolasionis.
Baca juga: Pentagon berhentikan pegawainya pekan depan
Baca juga: Trump membuat ketegangan, melemahkan hubungan AS-Eropa