Jakarta (ANTARA) - Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan menjadi sinyal kebijakan yang menarik untuk dikaji lebih dalam.
Dengan skema baru yang menjamin pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) menerima 60 persen dari upah selama enam bulan, regulasi ini tampak sebagai angin segar bagi buruh yang selama ini kehilangan posisi tawar mereka akibat implementasi Undang-Undang Cipta Kerja.
Melihat latar belakangnya, sejak UU Cipta Kerja diberlakukan, hak pesangon buruh berkurang siginifikan.
Ini menimbulkan keresahan di kalangan buruh karena membuat perlindungan kerja semakin rapuh di tengah ketidakpastian ekonomi global.
Dalam konteks ini, PP Nomor 6 Tahun 2025 memberikan sedikit ruang bernapas bagi pekerja yang terkena PHK dengan skema baru yang lebih baik dibanding regulasi sebelumnya.
Ada beberapa tantangan yang harus diantisipasi.
Pertama, keberlanjutan pendanaan skema JKP ini perlu mendapat perhatian serius. Apakah dana JKP cukup kuat untuk membiayai kompensasi selama enam bulan ke depan jika terjadi gelombang PHK massal?
Jika dana ini sepenuhnya berasal dari iuran BPJS Ketenagakerjaan, maka perlu dipastikan bahwa jumlah peserta, tingkat kepatuhan pembayaran iuran, serta kebijakan investasi BPJS mampu menopang program ini.
Kedua, perlu ada penguatan aspek pengawasan agar kebijakan ini tidak disalahgunakan oleh perusahaan untuk melakukan PHK dengan lebih mudah.
Regulasi ini akan lebih kuat jika disertai kebijakan tambahan yang mewajibkan perusahaan untuk memiliki rencana restrukturisasi tenaga kerja yang transparan dan terukur sebelum melakukan PHK.
Ketiga, efektivitas program pelatihan yang dijanjikan dalam skema JKP masih menjadi tanda tanya besar. Dalam berbagai program sebelumnya, pelatihan sering kali hanya menjadi formalitas dengan hasil yang minim bagi pekerja.
Pemerintah harus memiliki mekanisme pemantauan terhadap industri-industri yang berisiko tinggi mengalami perlambatan agar bisa mengambil tindakan pencegahan sebelum gelombang PHK terjadi.
Selain itu, insentif pajak bagi perusahaan yang mempertahankan tenaga kerja di tengah ketidakpastian ekonomi bisa menjadi strategi yang lebih efektif dibanding hanya memberikan kompensasi pasca-PHK.
Dengan begitu, kebijakan ini tidak hanya berfokus pada mengatasi dampak PHK, tetapi juga mendorong perusahaan untuk lebih bertanggung jawab dalam menjaga stabilitas ketenagakerjaan.
Dalam jangka panjang, kebijakan ketenagakerjaan yang ideal harus berorientasi pada penciptaan sistem yang memberikan keseimbangan antara perlindungan tenaga kerja dan fleksibilitas industri.
Pemerintahan Prabowo Subianto memiliki peluang besar untuk memperkuat warisan kebijakan pro-buruh dengan menjadikan PP Nomor 6 Tahun 2025 sebagai langkah awal menuju reformasi ketenagakerjaan yang lebih berkelanjutan.
Menurut Ketua Umum DPP KSPSI Moh Jumhur Hidayat, penerbitan PP Nomor 6 tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan yang mulai berlaku 7 Februari 2025 jauh lebih baik dari PP sebelumnya. Setidaknya ada kepastian buruh menerima uang tunai sebesar 60 persen dari upah terakhir selama 6 bulan.
Jumhur menyatakan pemerintahan Prabowo Subianto, sejauh ini menunjukkan keberpihakan kepada orang-orang lemah termasuk kaum buruh.
Maka ke depan diperlukan upaya nyata untuk memastikan bahwa program pro-buruh benar-benar mampu memberikan manfaat jangka panjang, bukan sekadar respons populis sesaat.
Dengan begitu, keberpihakan kepada buruh bisa menjadi strategi ekonomi yang tidak hanya menenangkan masyarakat, tetapi juga memperkuat daya saing nasional dalam jangka panjang.
Baca juga: Peraturan Pemerintah 6/2025: Pekerja kena PHK dapat 60 persen gaji enam bulan
Baca juga: Menteri BUMN upayakan efisiensi anggaran tidak sebabkan PHK