Jakarta (ANTARA) - Awal Desember 2024, Kementerian Perdagangan meluncurkan hasil survei Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK). Survei yang dilakukan rutin per 3 tahun ini dilakukan di 38 provinsi di seluruh Indonesia.
Survei itu menghasilkan data kenaikan IKK sebesar 3,07 poin, artinya naik tingkat dari "mampu" menjadi "kritis". Satu tahap lagi IKK Indonesia naik ke tingkat "berdaya", setara dengan IKK negara maju, seperti Singapura, Jepang, Korea, Amerika, Eropa, dan Australia.
Pada tingkat kritis, konsumen mampu berperan aktif memperjuangkan hak dan melaksanakan kewajibannya, serta mengutamakan produk dalam negeri.
Namun situasinya paradoks, indeks literasi digital masyarakat Indonesia masih "menengah", dengan skor 3,5, ditandai dengan tiga indikator, yakni etika digital, kecakapan (skill) digital, plus budaya (culture) digital. Pengaduan konsumen masih didominasi oleh pengaduan konsumen berbasis digital.
Skor IKK tidak sejalan dengan skor indeks literasi digital. Tingginya pengaduan konsumen di seputar komoditas digital membuktikan indeks literasi digital masyarakat Indonesia--sebagai konsumen-- belum baik.
Keberdayaan ekonomi konsumen Indonesia juga sedang melemah, ditandai penurunan daya beli . Pertumbuhan ekonomi 2024 melambat seiring penurunan kelas menengah Indonesia, ditandai angka PHK, yang menurut data telah mencapai lebih dari 83 ribuan.
Sementara karakter dan jenis pengaduan di YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) masih digelayuti pengaduan perihal jasa keuangan, terkhusus soal pinjaman online.
Instrumen penegak hukum negara seperti tak berdaya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga pengawas dan pelindung konsumen sektor jasa keuangan seperti mengalami lumpuh.
Berkelindan dengan masalah pinjol, masyarakat juga masih rentan menjadi korban perundungan data pribadi. Ironisnya lembaga publik milik negara, yang seharusnya menjadi garda depan melindungi konsumen, justru paling sering menjadi korban peretasan data pribadi.
BUMN Perbankan acap terjadi peretasan data pribadi nasabahnya, sementara di sektor perbankan swasta tidak demikian. Patut dipertanyakan keandalan infrastruktur dan sumber daya manusia lembaga publik dalam upaya melindungi data pribadi milik masyarakat konsumen.
Dari sisi keselamatan, sebagai hak asasi konsumen dalam menggunakan suatu jasa, juga masih sangat rentan. Misalnya, kecelakaan bus pariwisata dengan korban massal, masih sering terjadi pada 2024, yang hingga kini belum ada upaya komprehensif untuk mengatasinya.
Keselamatan di jalan tol pun masih setali tiga uang, saban hari masih terjadi korban fatalitas di jalan tol. Faktor manusia (human factor) menjadi indikator dominan terjadinya kecelakaan fatal di jalan tol. Pada 2023, terjadi korban fatalitas sebanyak 366 orang meninggal dunia (data BPJT, Kementerian PU).
Sepertinya belum ada upaya sistematis dan komprehensif dari kepolisian dan BUJT (Badan Usaha Jalan Tol) untuk meningkatkan literasi kepatuhan pengguna jalan tol. Sebab hanya dengan cara inilah tingginya fatalitas di jalan tol bisa dicegah dan diturunkan secara signifikan. Ingat, spirit bertransportasi adalah nirkecelakaan (zero accident) dan nirkematian (zero fatality).
Dari sisi kesehatan publik, Pemerintah ambigu memberikan perlindungan masyarakat, sebagai korban produk adiktif, yakni minuman manis dalam kemasan (MBDK) dan produk tembakau (rokok).
Ada PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, isinya lumayan komprehensif untuk melindungi masyarakat dari potensi korban MBDK dan produk tembakau, namun, Kemenkes seperti limbung membuat aturan operasionalnya. Padahal tanpa aturan operasional, PP Nomor 28/2024 menjadi "mati angin".
Tekanan oleh industri yang amat kuat plus intervensi kementerian lain (terutama Kemenperin) menjadi penyebab utamanya. Kementerian Keuangan pun setali tiga uang, ambigu menelorkan cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi dan melindungi masyarakat.
Kita berharap potret perlindungan konsumen 2025 akan lebih baik, berbasis kiprah yang lebih progresif dari Presiden Prabowo Subianto dengan Kabinet Merah Putihnya dan kalangan legislatif di Senayan serta di DPRD.
*) Penulis adalah pengamat perlindungan konsumen dan kebijakan publik, Pengurus Harian YLKI