Jakarta (ANTARA) - Februari nanti mulai tanggal 4 sampai 20, Beijing akan menjadi kota pertama di dunia yang menjadi tuan rumah Olimpiade baik musim dingin maupun musim panas ketika ibu kota Republik Rakyat China itu menggelar Olimpiade Musim Dingin ke-24.
Seperti pernah terjadi pada Olimpiade 2008 ketika Beijing menjadi tuan rumah Olimpiade Musim Panas tahun itu, Olimpiade Musim Dingin 2022 juga tidak sepi dari kontroversi pada bulan-bulan terakhir menjelang perhelatan ini digelar.
Selalu ada kontroversi yang dicetuskan Barat bahwa Beijing berusaha mengkooptasi Olimpiade sebagai media mempresentasikan kepentingan nasionalnya.
Mereka juga sering mengaitkan Olimpiade dengan ketidaknyamanan mereka terhadap oleh apa yang mereka sebut kebijakan represif RRC terhadap Provinsi Xinjiang di bagian barat laut negeri itu.
Itu kemudian berpuncak kepada manuver politik seperti yang saat ini diprakarsai Amerika Serikat dengan melancarkan boikot diplomatik Olimpiade Beijing 2022, yakni tidak mengirimkan pejabat politik guna mengikuti perhelatan olahraga musim dingin terbesar sejagat itu.
Boikot diplomatik ini dimaksudkan sebagai sikap ketidaksenangan sejumlah negara atas Beijing, namun tanpa menghalangi para atlet mengikuti Olimpiade tersebut yang tentunya berbeda dengan boikot total seperti pada Olimpiade Moskow 1980.
China jelas murka atas boikot yang dilancarkan sejumlah kecil negara pimpinan Amerika Serikat ini. Lalu bersumpah akan mengambil tindakan balasan dalam spektrum lebih luas, termasuk menggunakan senjata ekonomi dan perdagangan.
Organ-organ politik China pun bereaksi keras, salah satunya kantor berita China Xinhua yang menyebut boikot diplomatik itu bakal gagal total dan bahan cemoohan negara-negara di seluruh dunia yang bahkan tak digubris oleh sekutu-sekutu tersetia AS sendiri.
Xinhua tak terlalu salah karena faktanya Presiden Prancis Emmanuel Macron menolak boikot itu dengan menyebutnya "tidak penting", sedangkan Presiden Ceko Milos Zeman menilainya bertentangan dengan ide agung Olimpiade.
Atlet-atlet global sendiri tak terlalu menanggapi manuver Amerika Serikat cs itu. Buktinya, mengutip Xinhua, dari 4 hingga 22 Januari lalu, Bandara Internasional Beijing sudah didatangi 2.586 pelancong asing terkait Olimpiade Beijing.
China yakin seruan boikot itu tak berpengaruh apa-apa, seperti suara-suara miring serupa saat negeri ini menggelar Olimpiade Musim Panas 2008.
China tentu saja menolak apa yang disebutnya politisasi Olimpiade karena menurut mereka Olimpiade semestinya diperlakukan sebagai platform dalam mana warga global memperkuat rasa berbagi, solidaritas, perdamaian, dan persahabatan, terlebih dalam masa pandemi demi semua warga dunia merasakannya.
Tak lepas dari politik
Xinhua bahkan dengan sarkastis menyatakan "penyelenggaraan Olimpiade Musim Dingin akan menunjukkan solidaritas komunitas internasional, sementara pembuat onar yang bertindak berlawanan dengan tujuan mulia Olimpiad hanya akan mempermalukan diri mereka sendiri."
Tetapi faktanya, ajang-ajang besar seperti Olimpiade tak mungkin dipandang sebagai acara olahraga belaka. Yang malah terjadi adalah kerap menjadi bagian dari teater politik, baik oleh penyelenggara perhelatan maupun pihak yang menentang perhelatan.
Olimpiade Tokyo 2020 tahun lalu saja tidak lepas dari politik. Bahkan tanpa intervensi politik dari para pemimpin politik Jepang, dunia mungkin tidak akan pernah menyaksikan Olimpiade pertama yang diadakan pada masa pandemi itu.
Adalah tekad dan misi politik para pemimpin Jepang yang ngotot menyelenggarakan Olimpiade yang sempat ditunda satu tahun itu yang membuat Olimpiade musim panas itu terlaksana.
Sekalipun ditentang sebagian besar penduduknya, para pemimpin politik Jepang dan juga Komite Olimpiade Internasional (IOC), kukuh menggelar itu di antaranya karena ingin menunjukkan kepada dunia bahwa umat manusia pada umumnya dan Jepang pada khususnya tidak boleh tunduk kepada pandemi.
Misi itu berhasil. Olimpiade Tokyo 2020 bahkan dipuji di mana-mana, bukan semata telah menunjukkan umat manusia tidak menyerah dan bahkan hidup berdampingan dengan pandemi, namun juga dari sudut prestasi menghasilkan pencapaian-pencapaian olahraga yang mengesankan yang malah menguatkan keyakinan bahwa pandemi tak bisa mengekang manusia untuk bahagia, berkumpul, bersaudara, dan berkompetisi demi mencapai yang terbaik.
China juga begitu. Negara ini berkepentingan menjadikan Olimpiade Musim Dingin ke-24 sebagai panggung untuk status internasionalnya yang semakin kuat dan penting.
China juga berusaha menjadikan Olimpiade sebagai panggung guna merayakan keberhasilan mereka dalam mengendalikan pandemi COVID-19, selain menjadi menjadi simbol ketahanan umat manusia dari bencana kesehatan yang kemungkinan besar bakal terjadi lagi di kemudian masa.
Tapi percaya atau tidak, China pada beberapa hal sebenarnya mempedulikan kritik internasional terhadap catatan hak asasi manusianya, khususnya di Xinjiang terhadap minoritas Uyghur dan etnis-etnis minoritas lainnya di sana.
Darren Byler yang mengajar ilmu hubungan internasional pada Simon Fraser University di Kanada dan pernah tinggal di Xinjiang serta terakhir mengunjungi provinsi itu pada 2018, mengaku memperoleh informasi yang disampaikan dari mulut ke mulut dari diaspora Uyghur.
Menurut Byler, saat ini semakin sedikit warga etnis Uyghur yang ditahan pihak berwenang Beijing di kamp-kamp tahanan dibandingkan dengan beberapa tahun silam, sekalipun ratusan ribu orang lainnya kabarnya masih hilang di sana. Pun demikian bahwa mereka yang hidup di luar kamp berada dalam sistem pengawasan represif bagaikan di dalam "penjara alam terbuka", kata Byler seperti dikutip rubrik The Conversation pada kantor berita Reuters.
Byler menyebutkan sejumlah kamp sudah ditutup atau ditinggalkan. Sebagian lainnya diubah menjadi pusat penahanan praperadilan, dan yang lainnya disulap menjadi pabrik.
Diniatkan tanpa insiden
Byler pun mengambil kesimpulan bahwa China mungkin telah menanggapi tekanan internasional dengan menutup kamp-kamp itu lebih cepat daripada yang mereka sudah niatkan .
Itu artinya China diam-diam mendengarkan kritik internasional tapi tak mau terkesan tunduk kepada tekanan internasional. Memang masih harus diverifikasi kembali, namun sinyalemen Byler ini mengindikasikan Beijing mau mendengar suara dunia.
Di sisi lain, tekanan politik pada akhirnya menghasilkan aksi politik yang paralel dengan tekanan politik itu.
Mungkin ini hanya sementara, tetapi paling tidak Beijing mau mendengar suara internasional, paling tidak demi melawan dampak sorotan internasional dalam soal Xinjiang terhadap kelancaran Olimpiade.
Dari perspektif China sendiri, sukses Olimpiade Musim Dingin salah satunya berpijak pada bagaimana membatasi dampak boikot diplomatik terkait Xinjiang tidak melebar ke yang lain.
Yang juga menjadi perhatian Beijing adalah memastikan Olimpiade lancar tanpa insiden di bawah protokol kesehatan sangat ketat di mana semua atlet, pelatih, ofisial dan wartawan dimasukkan dalam sistem "gelembung bio-secure" yang bisa saja mirip Olimpiade Tokyo 2020.
China juga berusaha keras mengatasi masalah salju yang turun tidak begitu banyak di Beijing, salah satunya dengan menghadirkan salju artifisial di venue-venue lomba dalam Olimpiade Beijing itu.
Negeri Atap Dunia juga peduli dengan citra ramah lingkungan dengan memupus kesan polusi udara berat di Beijing yang mereka atasi dengan mengenalkan prakarsa "langit biru" dengan cara membatasi tingkat produksi industri di 64 kota besar di wilayah utara dan tengah China selama Olimpiade berlangsung.
Terakhir, China yang sebenarnya tak memiliki tradisi olahraga musim dingin dan dalam Olimpiade Musim Dingin 2018 di Pyeongchang, Korea Selatan, hanya memperoleh satu medali emas, sudah mulai beranjak kepada prestasi olahraga musim dingin.
Ini juga pertaruhan dan gengsi China, tidak saja dari perspektif olahraga tetapi juga demi citra politik negeri itu. Tak diragukan lagi China berusaha menjadi raksasa dunia yang paripurna dan komplit yang berbicara dalam banyak hal.
Tak heran mereka kali ini menurunkan kontingen Olimpiade musim dingin terbesarnya sepanjang sejarah. Negeri ini menurutkan 176 atlet untuk bertanding dalam semua dari 15 disiplin dalam program Olimpiade musim dingin.
Oleh karena itu Olimpiade Musim Dingin 2022 ini bisa disebut bukan Olimpiade biasa.
Beijing 2022 bukan Olimpiade Musim Dingin yang biasa
Sabtu, 29 Januari 2022 16:38 WIB
Selalu ada kontroversi yang dicetuskan Barat bahwa Beijing berusaha mengkooptasi Olimpiade sebagai media mempresentasikan kepentingan nasionalnya.