Depok, (Antaranews Bogor) - Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Kementerian ESDM, Agus Cahyono Adi mengatakan saat ini Indonesia harus meningkatkan penggunaan energi baru dan terbarukan karena semakin menipisnya persediaan energi fosil.
"Energi terbarukan masih cukup banyak, sedangkan sumberdaya fosil sudah mulai terbatas. Kita harus mulai beralih menggunakan sumberdaya terbarukan," katanya di Depok, Jawa Barat, Senin.
Agus Cahyono hadir dalam diskusi bertajuk Menjelang Kebijakan Energi Nasional 2014-2019, Energi Fosil Masih Tepatkah?, sekaligus menghadiri peresmian Pusat Advokasi Studi Indonesia (PAS Indonesia) di Kampus Universitas Indonesia (UI).
Ia mengatakan pengembangan energi baru dan terbarukan sejak tahun 2003 sampai tahun 2013 baru mencapai angka lima persen. Sementara penggunaan energi fosil seperti minyak 49,7 persen, gas 20,17 persen dan batu bara 24,5 persen.
Agus juga menilai subsidi bahan bakar minyak (BBM) tidak tepat sasaran karena pengguna subsidi BBM adalah pemakai kendaraan yang terkena pajak barang mewah tetapi menggunakan BBM bersubsidi.
"Harga BBM murah telah menghambat diversifikasi, yang bisa mengakibatkan impor tinggi dan mengakibatkan defisit neraca pembayaran," katanya.
Subsidi BBM, kata dia nilainya telah melebihi anggaran pendidikan sehingga sudah tidak berkeadilan lagi.
Sedangkan pengamat energi Marwan Batubara mengatakan untuk mengatasi masalah subsidi BBM dan permasalahan defisit, seharusnya Indonesia melakukan diversifikasi, konversi dan konservasi energi sesuai Perpres Nomor 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Ia mengatakan KEN bertujuan mewujudkan ketahanan energi dengan sasaran pada 2025 diperoleh elastisitas energi kurang dari 1 dan bauran energi minyak 20 persen, gas 30 persen, batu bara 33 persen, dan energi baru dan terbarukan (EBT) 17 persen.
"Pemerintah baru harus segera membuat blue print pengembangan energi nasional," tegsanya.
Ia mengakui energi baru dan terbarukan membutuhkan biaya produksi tinggi dan lebih mahal jika dibandingkan dengan energi fosil. Namun, keputusan itu harus segera diambil agar bangsa ini tidak kehabisan sumber energi.
"Jokowi harus menetapkan visi dan kebijakan ketahanan energi sebagai prioritas politik negara dan laksanakan program pengembangan energi untuk mencapai target bauran secara koprehensif sesuai apa yang sudah ditetapkan KEN," katanya.
Sementara itu, Kepala Departemen Keorganisasian Eknas Walhi, Ahmad menegaskan, penyebab utama perubahan iklim adalah energi carbon yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak, batubara, gas.
Menurut dia, untuk mencegah terjadinya perubahan iklim yaitu pertama, mendorong umat manusia untuk segera mengurangi ketergantungan terhadap energi berbasis hidrokarbon dan berangsur-angsur beralih kepada energi terbarukan hingga mencapai masyarakat baru yang zero carbon.
Kedua, mendorong agar keuntungan yang diperoleh dari penguasaan atas sumber-sumber energi berbasis hidrokarbon hari ini digunakan untuk pembiayaan penemuan, eksplorasi dan pengembangan energi terbarukan.
Ketiga, mendorong pemanfaatan energi terbarukan dengan menggunakan biaya minimal.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014
"Energi terbarukan masih cukup banyak, sedangkan sumberdaya fosil sudah mulai terbatas. Kita harus mulai beralih menggunakan sumberdaya terbarukan," katanya di Depok, Jawa Barat, Senin.
Agus Cahyono hadir dalam diskusi bertajuk Menjelang Kebijakan Energi Nasional 2014-2019, Energi Fosil Masih Tepatkah?, sekaligus menghadiri peresmian Pusat Advokasi Studi Indonesia (PAS Indonesia) di Kampus Universitas Indonesia (UI).
Ia mengatakan pengembangan energi baru dan terbarukan sejak tahun 2003 sampai tahun 2013 baru mencapai angka lima persen. Sementara penggunaan energi fosil seperti minyak 49,7 persen, gas 20,17 persen dan batu bara 24,5 persen.
Agus juga menilai subsidi bahan bakar minyak (BBM) tidak tepat sasaran karena pengguna subsidi BBM adalah pemakai kendaraan yang terkena pajak barang mewah tetapi menggunakan BBM bersubsidi.
"Harga BBM murah telah menghambat diversifikasi, yang bisa mengakibatkan impor tinggi dan mengakibatkan defisit neraca pembayaran," katanya.
Subsidi BBM, kata dia nilainya telah melebihi anggaran pendidikan sehingga sudah tidak berkeadilan lagi.
Sedangkan pengamat energi Marwan Batubara mengatakan untuk mengatasi masalah subsidi BBM dan permasalahan defisit, seharusnya Indonesia melakukan diversifikasi, konversi dan konservasi energi sesuai Perpres Nomor 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Ia mengatakan KEN bertujuan mewujudkan ketahanan energi dengan sasaran pada 2025 diperoleh elastisitas energi kurang dari 1 dan bauran energi minyak 20 persen, gas 30 persen, batu bara 33 persen, dan energi baru dan terbarukan (EBT) 17 persen.
"Pemerintah baru harus segera membuat blue print pengembangan energi nasional," tegsanya.
Ia mengakui energi baru dan terbarukan membutuhkan biaya produksi tinggi dan lebih mahal jika dibandingkan dengan energi fosil. Namun, keputusan itu harus segera diambil agar bangsa ini tidak kehabisan sumber energi.
"Jokowi harus menetapkan visi dan kebijakan ketahanan energi sebagai prioritas politik negara dan laksanakan program pengembangan energi untuk mencapai target bauran secara koprehensif sesuai apa yang sudah ditetapkan KEN," katanya.
Sementara itu, Kepala Departemen Keorganisasian Eknas Walhi, Ahmad menegaskan, penyebab utama perubahan iklim adalah energi carbon yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak, batubara, gas.
Menurut dia, untuk mencegah terjadinya perubahan iklim yaitu pertama, mendorong umat manusia untuk segera mengurangi ketergantungan terhadap energi berbasis hidrokarbon dan berangsur-angsur beralih kepada energi terbarukan hingga mencapai masyarakat baru yang zero carbon.
Kedua, mendorong agar keuntungan yang diperoleh dari penguasaan atas sumber-sumber energi berbasis hidrokarbon hari ini digunakan untuk pembiayaan penemuan, eksplorasi dan pengembangan energi terbarukan.
Ketiga, mendorong pemanfaatan energi terbarukan dengan menggunakan biaya minimal.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014