Revisi UU Otonomi Khusus Papua yang dijadwalkan oleh DPR mulai Januari-Mei 2020 mulai terancam. Berbagai situasi nasional dan global seperti pandemi Covid-19 menjadi pengaruh serius terhadap dinamika politik di Indonesia termasuk penyelesaian RUU Otonomi Khusus Papua. Di sisi lain RUU Otonomi Khusus tersebut diharapkan dapat menjadi salah satu kunci bagi penyelesaian situasi di Papua yang akhir-akhir ini cenderung memanas.
Otonomi Khusus adalah salah satu instrumen yang sangat penting bagi Papua. Kepercayaan pemerintah pusat kepada Papua diterjemahkan menjadi otomoni khusus, yang diharapkan dapat mempercepat pembagunan dan menciptakan situasi yang kondusif. Otonomi khusus mengedepankan peran masyarakat Papua untuk aktif melaksanakan pembangunan.
Namun dalam beberapa bulan terakhir ini situasi di Papua memanas. Teriakan tentang disintegrasi kembali muncul. Otonomi khusus yang sebelumnya dianggap sebagai solusi dalam mempercepat pembangunan di Papua ternyata dinilai oleh banyak pihak kurang berhasil. Dorongan untuk melakukan revisi atas pelaksanaan otonomi khusus menguat. Hal tersebut yang membuat RUU Otonomi Khusus Papua yang sekarang sedang diolah oleh DPR perlu diselesaikan segera, mengingat urgensi dari permasalahan di Papua yang dampaknya cukup besar.
Saat ini RUU Otonomi Khusus Papua menunjukkan perkembangan yang kurang baik. Berbagai perdebatan terkait substansi RUU tersebut dan sekaligus situasi global serta nasional yang sedang tidak kondusif menunjukkan bahwa RUU Otonomi Khusus Papua kemungkinan besar penyelsaiannya akan terlambat.
Sementara itu permasalahan di Papua semakin mendesak untuk segera diselesaikan. Situasi “menggantung” seperti saat ini tentu sangat rawan untuk dimanfaatkan kelompok tertentu sebagai celah bagi aksi-aksi yang kontraproduktif.
Permasalahan di Papua tidak bisa digantungkan menunggu selesainya RUU Otonomi Khusus Papua. Harus ada solusi alternatif tanpa memaksakan RUU Otonomi Khusus Papua untuk disahkan dalam keadaan mentah. Salah satu alternatif tersebut adalah dengan Perppu tentang Otonomi Khusus Papua.
Perppu menjadi kewenangan dan hak subyektif Presiden terutama agar keselematan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Melihat urgensi dari penyelesaian berbagai permasalahan di Papua dan mempertimbangkan situasi di Indonesia saat ini yang kecil kemungkinan RUU Otonomi Khusus Papua dapat selesai tepat waktu, maka penerbitan Perppu menjadi solusi yang harus dipertimbangkan.
Meskipun Perppu dapat menjadi alternatif di saat RUU Otonomi Khusus Papua belum selesai, namun penyusunan Perppu tersebut harus tetap mengakomodasi kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat Papua yang ingin sejahtera dan maju setara dengan daerah lainnya di Indonesia. Perppu tetap harus menjadi pendorong masyarakat Papua untuk berpartisipasi aktif dalam menjalankan pembangunan di daerahnya.
Jika memang Perppu menjadi solusi belum selesainya RUU Otonomi Khusus Papua, jangan sampai Perppu justru menjadi legalitas bagi orang-orang yang mempunyai kepentingan negatif terhadap Papua menjadi lebih leluasa. Kesejahteraan dan keselamatan masyarakat Papua harus menjadi tujuan utama. (27/*).
*) Penulis adalah, Pengamat kebijakan publik. Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia (UI).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020
Otonomi Khusus adalah salah satu instrumen yang sangat penting bagi Papua. Kepercayaan pemerintah pusat kepada Papua diterjemahkan menjadi otomoni khusus, yang diharapkan dapat mempercepat pembagunan dan menciptakan situasi yang kondusif. Otonomi khusus mengedepankan peran masyarakat Papua untuk aktif melaksanakan pembangunan.
Namun dalam beberapa bulan terakhir ini situasi di Papua memanas. Teriakan tentang disintegrasi kembali muncul. Otonomi khusus yang sebelumnya dianggap sebagai solusi dalam mempercepat pembangunan di Papua ternyata dinilai oleh banyak pihak kurang berhasil. Dorongan untuk melakukan revisi atas pelaksanaan otonomi khusus menguat. Hal tersebut yang membuat RUU Otonomi Khusus Papua yang sekarang sedang diolah oleh DPR perlu diselesaikan segera, mengingat urgensi dari permasalahan di Papua yang dampaknya cukup besar.
Saat ini RUU Otonomi Khusus Papua menunjukkan perkembangan yang kurang baik. Berbagai perdebatan terkait substansi RUU tersebut dan sekaligus situasi global serta nasional yang sedang tidak kondusif menunjukkan bahwa RUU Otonomi Khusus Papua kemungkinan besar penyelsaiannya akan terlambat.
Sementara itu permasalahan di Papua semakin mendesak untuk segera diselesaikan. Situasi “menggantung” seperti saat ini tentu sangat rawan untuk dimanfaatkan kelompok tertentu sebagai celah bagi aksi-aksi yang kontraproduktif.
Permasalahan di Papua tidak bisa digantungkan menunggu selesainya RUU Otonomi Khusus Papua. Harus ada solusi alternatif tanpa memaksakan RUU Otonomi Khusus Papua untuk disahkan dalam keadaan mentah. Salah satu alternatif tersebut adalah dengan Perppu tentang Otonomi Khusus Papua.
Perppu menjadi kewenangan dan hak subyektif Presiden terutama agar keselematan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Melihat urgensi dari penyelesaian berbagai permasalahan di Papua dan mempertimbangkan situasi di Indonesia saat ini yang kecil kemungkinan RUU Otonomi Khusus Papua dapat selesai tepat waktu, maka penerbitan Perppu menjadi solusi yang harus dipertimbangkan.
Meskipun Perppu dapat menjadi alternatif di saat RUU Otonomi Khusus Papua belum selesai, namun penyusunan Perppu tersebut harus tetap mengakomodasi kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat Papua yang ingin sejahtera dan maju setara dengan daerah lainnya di Indonesia. Perppu tetap harus menjadi pendorong masyarakat Papua untuk berpartisipasi aktif dalam menjalankan pembangunan di daerahnya.
Jika memang Perppu menjadi solusi belum selesainya RUU Otonomi Khusus Papua, jangan sampai Perppu justru menjadi legalitas bagi orang-orang yang mempunyai kepentingan negatif terhadap Papua menjadi lebih leluasa. Kesejahteraan dan keselamatan masyarakat Papua harus menjadi tujuan utama. (27/*).
*) Penulis adalah, Pengamat kebijakan publik. Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia (UI).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020