"Ganbattene kudasai" atau Lakukanlah yang terbaik!. Kalimat penuh semangat itu patut terlontar dari warga asing yang datang ke Jepang, khususnya ke wilayah terdampak tsunami pada 11 Maret 2011 di wilayah timur laut Negeri Sakura, guna menyemangati masyarakat yang tengah menata kembali daerahnya.

Dalam perjalanan selama sepuluh hari sejak 15 Juni-25 Juni 2014 saat mengikuti program liputan pemulihan bencana yang diselenggarakan oleh Lembaga Pers Luar Negeri Jepang (FPCJ) di wilayah Jepang timur laut, wartawan asal Thailand, Filipina, Malaysia dan tentu saja Indonesia menyaksikan secara langsung penataan ulang beberapa kota yang terdampak tsunami.

Pemerintah pusat, prefektur maupun kota di Jepang rupanya memilih upaya rekonstruksi dengan menguruk tanah di sejumlah kota diantaranya seperti Otsuchi di Prefektur Iwate dan Minamisanriku yang terletak di Prefektur Miyagi.

Pasca terjadinya tsunami yang menewaskan sekitar 15 ribu orang, pemerintah Jepang saat ini tengah melakukan pengurukan kota setinggi rata-rata 10 meter yang akan digunakan kembali sebagai lahan pembangunan tempat tinggal, perkantoran serta fasilitas umum lainnya yang sebelumnya porak poranda atau bahkan rata dengan tanah.

Kota Otsuchi, sebagai salah satu kota yang terkena dampak tsunami paling parah, melakukan pemulihan keadaan kota dengan intensif dan menggunakan "master plan" yang telah diatur oleh pemerintah kota.

Sekitar 431 hektar dari total area Otsuchi yang seluas 20.059 hectar, terendam oleh gelombang tsunami. Saat Antara berkunjung pada 20 Juni, keadaan kawasan perkotaan kecil tersebut saat ini terlihat seperti lapangan luas dengan gunungan pasir dan tanah yang diletakkan di belasan titik sehingga membentuk bukit-bukit besar berwarna cokelat.

Sekretaris Jenderal LSM Oraga di Otsuchi, Kamitani Mio, memaparkan pembangunan yang akan dilakukan antara lain mencakup pembangunan dinding pelindung, pengurukan tanah, sejumlah bangunan serta sistem drainase umum.

Dia mengatakan pembangunan sedikit terhambat karena adanya kenaikan harga material bangunan serta pemerintah yang kesulitan membeli lahan pasca tsunami karena tidak mengetahui alamat pemilik tanah atau keluarga yang baru.

"Selain itu beberapa lahan juga belum dibeli dan masih menunggu proses hukum untuk pembelian lahan serta proses pembebasan dari bank bagi tanah yang tengah disita atau pembeliannya menggunakan modal bank," kata Mio.

Terkait dengan total populasi, Mio mengatakan jumlah warga yang tercatat menetap di Otuschi berkurang dimana pada saat sebelum tsunami 3/11 itu terjadi, jumlah populasi masyarakat di kota tersebut mencapai 15.994 orang dan menurun setelah terjadi tsunami menjadi 12.861 orang pada sensus Mei 2012.

Total warga yang menetap di kota itu pun tidak sepenuhnya 12 ribu orang karena sekitar 70 persen warga Otsuchi berkarir di kota terdekatnya, Kamaishi atau Morioka.

Kendati demikian, kecintaan warga terhadap kota kelahirannya dapat terlihat dari semangat membangun masyarakat kepada kotanya kendati setelah porak poranda diterjang tsunami, warga masih urun rembug mengenai pelestarian kantor walikota yang hancur.

"Setelah dua tahun memikirkan apakah bangunan ini diruntuhkan atau tidak, akhirnya wali kota yang baru memilih untuk tetap menjaga sisa bangunan utama kantor walikota lama sebagai tugu peringatan tsunami 3/11," kata Mio.

Dia mengatakan keputusan tersebut memakan waktu yang cukup lama, sekitar dua tahun, karena wali kota harus meminta ide dan bermusyawarah bersama masyarakat setempat mengenai keputusan itu.

Untuk total korban jiwa sendiri, pemerintah kota Otsuchi mencatat terdapat sekitar 790 warga tewas dan 437 orang belum ditemukan hingga saat ini akibat tsunami setinggi rata-rata 20 meter yang menyapu dengan kecepatan sekitar 110 kilometer per jam tersebut.

Pemerintah Jepang juga telah membangun 2.106 rumah tinggal sementara yang ditempati oleh sekitar 4.600 orang di 48 lokasi rumah sementara di Otsuchi.

Dengan menggunakan "master plan" pembangunan kota, pemerintah berencana untuk membangun dinding laut pelindung dan pintu air setinggi 14,5 meter serta membangun taman dengan pohon yang rimbun di tepi pantai untuk menghadang jika gelombang tsunami kembali terjadi.

Fase kedua dalam rencana induk tersebut adalah proses revitalisasi yang dimulai sejak tahun 2014 hingga 2016. Untuk fase ketiga, proses perluasan, pemerintah Otsuchi merencanakan membangun pada 2017-2018.

Nantinya jika pemerintah telah selesai membangun rumah permanen di atas area tanah yang ditinggikan, mereka akan menjual atau menyewakannya kepada masyarakat di Otsuchi.

Untuk wilayah di dekat kawasan hijau di tepi pantai, pemerintah Otsuchi melarang warga untuk membangun tempat tinggal, melainkan pabrik dan kawasan industri serta perkantoran untuk mencegah jumlah korban yang lebih banyak.



Kisah tragis Otsuchi dan Minamisanriku

Terjangan ombak tsunami dengan tinggi sekitar 24 meter pastinya tidak hanya meninggalkan kerugian material dan hilangnya korban nyawa. Kendati jumlah korban jiwa tidak sebanyak tsunami yang terjadi di Sumatera, namun banyak terdapat kisah tragis dibalik tsunami yang terjadi pada hari Jumat tersebut.

Mio menerangkan bahwa mantan Walikota Otsuchi hilang diterjang tsunami disaat mengadakan pertemuan pasca terjadinya gempa bumi bersama tujuh pejabat kantor walikota yang membicarakan pemantauan kerusakan akibat guncangan.

Tanpa menyadari bahaya tsunami, warga yang ada di sekeliling kantor walikota pun ramai-ramai ikut berkumpul dan mendengarkan pembagian tugas dari mantan Wali Kota Otsuchi di lapangan parkir yang ada di sebelah gedung.

"Kebiasaan masyarakat di kota Otsuchi adalah mereka menunggu perintah dari wali kota sebagai pemimpin tertinggi dalam melakukan sesuatu. Jumlah warga yang berkumpul sekitar ratusan orang termasuk mantan wali kota serta tujuh pejabat kantornya," kata Mio memandang sayu gedung Walikota yang hampir runtuh.

Seluruh pejabat beserta mantan wali kota tidak menyadari gelombang besar yang datang dari belakang punggung mereka. "Beberapa saksi hidup mengaku mendengar suara gemuruh dan begitu menengok kebelakang, mereka melihat beton serta tiang menghampiri mereka dengan ombak yang tinggi," tambah Mio.

Menurut Mio, sekitar 15 orang selamat karena bisa naik ke atap gedung setelah gelombang yang tinggi mendorong mereka hingga ke lantai dua kantor wali kota.

"Pada saat itulah mimpi buruk dimulai, banyak gas bawah tanah yang meledak dan asap hitam mengepul disana-sini. Keadaan saat itu bagai perang dunia kedua. Banyak yang berteriak minta tolong namun mereka pun tak memiliki daya," kata Mio yang menambahkan terdapat isu dari 15 orang yang selamat di atas kantor wali kota, ada satu orang yang akhirnya bunuh diri akibat tidak sanggup melihat keadaan bencana tersebut.

Hingga saat ini pemerintah Otsuchi menyatakan bahwa ketujuh pejabat dan juga mantan walikota Otsuchi hilang sejak tsunami 3/11.

Sementara itu kejadian di Minamisanriku tidak kalah tragisnya dengan tragedi yang dialami mantan walikota Otsuchi.

Manajer Misi Program Bantuan Minamisanriku dari LSM Peace Winds, Sachie Saijo, menceritakan terdapat sejumlah warga yang berupaya menyelamatkan diri dari kejaran ombak besar di kota itu namun sia-sia karena air melalapnya dari belakang.

Memang sirine peringatan tsunami di kota Minamisanriku berbunyi ketika ada bahaya ombak meninggi dan memberi peringatan kepada warga di kota tersebut untuk menjauhi pantai dan berlindung di tempat yang tinggi.

Kisah pilu yang terjadi adalah warga tersebut mampu menyelamatkan diri ke Sekolah Menengah Pertama Togura yang terletak di atas bukit dengan tinggi sekitar 15 meter namun tetap teseret oleh gelombang tsunami.

Begitu mencapai sekolah tersebut, ternyata gedung terkunci dan warga tidak bisa masuk untuk mencapai ke tempat yang lebih tinggi di atap gedung. Lalu warga memutuskan untuk menunggu diluar dan melihat gelombang tsunami datang dari arah laut menyapu kota Minamisanriku di bawahnya.

"Bisakah anda bayangkan, tanpa mereka sadari tsunami yang menyapu perbukitan di sekeliling wilayah Minamisanriku berbalik menyapu sekolah tersebut dari arah belakang dan menghempaskan orang yang ada di tempat parkir sekolah tersebut?" kata Saijo.

Saijo tidak memiliki data mengenai jumlah warga yang tersapu di pelataran parkir sekolah tersebut.

Saijo menambahkan gelombang tsunami tidak hanya menghancurkan bangunan di garis pantai, namun juga wilayah kota yang jauh dari garis pantai karena kontur Minamisanriku berbentuk seperti setengah lingkaran pipa yang dikelilingi bukit sehingga gelombang mampu mengalir dengan lancar baik melalui tiga sungai besar di kota itu atau pun jalan raya.

Pemerintah setempat memutuskan untuk menggunakan kembali gedung SMP Togura sebagai panti jompo. Lahan parkir yang ada saat ini juga digunakan sebagai area pendirian 67 tempat tinggal sementara yang dihuni sebanyak 150-160 orang.



Program pemulihan

Terdapat warga yang mengeluh bahwa pembangunan di sejumlah kota yang terdampak tsunami tersendat atau bisa dikatakan "molor" akibat adanya pengalihan dana dari pemulihan bencana ke program pembangunan fasilitas Olimpiade yang akan diselenggarakan di Jepang pada 2020.

Seperti dikatakan oleh Saijo, sejumlah warga mengkhawatirkan dengan rencana pembangunan fasilitas Olimpiade 2020 akan mempengaruhi pendanaan program pemulihan bencana sehingga rekonstruksi akan berjalan tidak sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

"Ada alasan masyarakat menganggap pembangunan di Minamisanriku berlangsung lama karena dana pemerintah digunakan untuk membangun fasilitas Olimpiade 2020," kata Saijo.

Isu terbaginya fokus pemerintah Jepang antara memulihkan wilayah pasca bencana dengan pembangunan fasilitas Olimpiade dibantah oleh Direktur Divisi Pers Internasional Kementerian Luar Negeri Jepang, Masaru Sato, yang menyayangkan adanya kabar tersebut.

Dia mengatakan pemerintah pusat dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe selalu memperhatikan dan memantau 50 kawasan di "Negeri Sakura" yang terkena dampak tsunami.

Perdana Menteri Abe, ujar Sato, juga mendesak pembangunan kawasan untuk diselesaikan secepatnya dan telah memasukan pemulihan bencana ke dalam tiga prioritas utama pemerintah Jepang.

"Namun kami tetap memperhatikan kritik tersebut dan akan terus memberikan dukungan tidak hanya fisik, namun juga mental karena itu merupakan isu yang rumit," kata Sato.

Mengenai besar kecilnya pembagian dana antara program pemulihan dengan pembangunan fasilitas Olimpiade, Sato menilai tidak ada alasan bagi PM Abe untuk membedakan keduanya.

Sato menilai perhelatan Olimpiade 2020 dapat menjadi motor penggerak pembangunan dan penyemangat bagi masyarakat Jepang untuk segera pulih dan bangkit dari dampak tsunami.

"Pemerintahan Abe berkomitmen untuk mengejar kedua tantangan itu. Jika Olimpiade dan Paralimpik dapat berjalan sukses, maka itu juga akan menguntungkan masa depan Jepang," ujar Sato.

Pewarta: Bayu Prasetyo

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014