Konvensi Hukum Laut Internasional atau UNCLOS 1982 menegaskan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelago state) dengan kedaulatan atas perairan kepulauan baik ruang udara di atas perairan kepulauan, dasar laut perairan kepulauan dan tanah di bawahnya.  Ketentuan UNCLOS 1982 berimplikasi perluasan wilayah kedaulatan atas perairan kepulauan sekitar 2,7 juta km², meliputi lebar laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen yang diukur dari garis pangkal kepulauan.  Hal tersebut menimbulkan dampak strategis bagi keberadaan Indonesia di kawasan, terutama dalam pengaturan alur laut kepulauan bagi lalu lintas kapal-kapal asing dan terkait erat dengan kepentingan ekonomi, keamanan dan pertahanan.  Selain itu, tantangan pembangunan domestik menjadi lebih kompleks mengingat negara kepulauan memiliki kondisi geografis yang berbeda dengan negara daratan.

Kenyataan kompleksitas dalam pembangunan domestik negara kepulauan telah mendorong usulan RUU Kepulauan yang diinisiasi oleh DPD RI hingga masuk Prolegnas 2020. Tujuan disusunnya RUU Kepulauan ini untuk mengatasi berbagai masalah pembangunan daerah kepulauan yang terdiri dari 8 propinsi kepulauan dan 86 kabupaten kepulauan. Karakteristik geografis dan demografis wilayah kepulauan memerlukan pendekatan pembangunan yang berbeda dibanding wilayah lain. Sebagai contoh, topografi wilayah yang terdiri dari pulau-pulau yang dihubungkan perairan menimbulkan isolasi geografis dan memerlukan infrastruktur perhubungan laut dan udara yang tentu berbanding lurus dengan kebutuhan anggaran yang lebih besar.  Hambatan geografis ini seringkali berdampak pada minimnya akses dan ketimpangan pembangunan antar wilayah kepulauan dengan wilayah daratan lainnya. Hal ini mendasari pentingnya pendekatan yang lebih khusus dan bersifat affirmatif bagi wilayah kepulauan.

Deklarasi Batam

Kebijakan desentralisasi pemerintahan yang bersifat khusus dan affirmatif selama ini telah diterapkan di Indonesia melalui penetapan otonomi khusus di Papua dan Aceh, serta daerah khusus seperti DKI Jakarta dan DI Yogjakarta.  Desentralisasi yang demikian dimungkinkan sebagai pelaksanaan prinsip asimetric decentralitation sebagai pengakuan terhadap karakteristik yang khas di daerah tersebut sebagai bagian dari pemerintahan nasional. Pertimbangan pelaksanaan Otsus Aceh dan Papua setidaknya menunjukkan akan pengakuan terhadap karakteristik kedua wilayah tersebut sembari memberikan affirmasi dalam kebijakan pembangunan agar dapat diakselerasi dan sejajar dengan daerah lainnya. Pengalaman tersebut tentu menjadi wajar jika kemudian beberapa daerah yang khas kondisinya menghendaki suatu kekhususan melalui suatu kebijakan, yakni UU Daerah Kepulauan.

Desakan UU Daerah Kepulauan ini dinyatakan dalam Deklarasi Batam pada awal Januari 2018 oleh delapan propinsi kepulauan yakni, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Tiga poin penting dalam deklarasi itu yakni, komitmen perjuangan masyarakat dan pemerintah kepulauan terhadap NKRI berdasar Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika; dukungan terhadap percepatan RUU Daerah Kepulauan dalam prolegnas 2020; serta kepastian hukum atas realisasi amanat dari UU 23/2014 tentang Pemda agar mempercepat pembangunan propinsi bercirikan daerah kepulauan.  Bagi wilayah kepulauan, UU Daerah Kepulauan merupakan landasan legal untuk pemerintahagar memberi prioritas bagi wilayah pesisir dan pulau-pulau terluar untuk memberikan alokasi pembangunan yang bersifat affirmatif sehingga tercapai kemajuan dan pemerataan.
Isu Strategis Para pemangku kepentingan harus melihat bahwa UU Daerah Kepulauan sebagai jalan untuk menciptakan keadilan pembangunan dalam kerangka memperkuat integrasi dan kedaulatan nasional.  Sejumlah isu relevan perlu mendapat perhatian, antara lain:

Pertama, akses layanan dan penyediaan infrastruktur dasar bagi masyarakat pesisir seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Isolasi geografis dan jumlah penduduk yang sedikit kerap membuat masyarakat kepulauan tidak memiliki akses yang layak terhadap kue pembangunan. Secara politik sering kali terabaikan kepentingannya dan dianggap sebagai beban anggaran karena pembangunan wilayah tersebut memerlukan biaya yang lebih besar.
 Kedua, alokasi khusus dalam perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam dana khusus kepulauan (DKK) yang rasio besarannya disesuaikan dengan kemampuan APBN.   

Ketiga, UU Daerah Kepulauan ini harus disertai dengan mandatori mengenai sektor prioritas kebijakan pembangunan, tata kelola keuangan dan pengawasan yang efektif. Hal ini belajar dari pengalaman dana Otsus yang dalam evaluasinya dirasa belum berdampak secara langsung pada kepentingan masyarakat.

Keempat, urusan kewenangan dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, terutama pengambalian konsep pengelolaan wilayah laut kabupaten/kota yang bercirikan kepulauan. Hal ini menyangkut pemanfaatan potensi ekonomi sekaligus tanggungjawab dalam konservasi lingkungan hidup.

Kelima, isu keamanan wilayah perairan kepulauan.  Hal ini relevan dengan potensi ekonomi wilayah perairan kepulauan dan meningkatnya pemanfaatan perairan kepulauan dalam lalulintas perdagangan maupun kepentingan lainnya. Lemahnya pengamanan wilayah perairan kepulauan juga kerap digunakan sebagai lalulintas kejahatan lintas batas seperti pintu masuk bagi senjata gelap, penyelundupan dan trafficking.

Isu-isu strategis dalam pembahasan RUU Daerah Kepulauan tentu harus dimatangkan dan memperkuat apa yang dinyatakan dalam Deklarasi Batam mengenai komitmen perjuangan dalam kerangka NKRI berdasar Pancasila, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika.  Hal inilah yang akan menjadi fondasi perekat bagi kokohnya integrasi dan kedaulatan nasional Indonesia. (61/*).

*) Penulis adalah, Manajer Operasional dan Perekrutan Polkasi, Jakarta.

Pewarta: Oleh: Wildan Nasution *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020