Badan Kesehatan Dunia  WHO merilis, dampak buruk yang diakibatkan oleh kebiasaan merokok telah membunuh sekitar 6 juta orang per tahun. Sebanyak lebih dari 5 juta dari jumlah itu  merupakan perokok aktif, mantan perokok dan pengguna “smokeless tobacco” atau jenis tembakau hisap tanpa proses pembakaran.

Ironisnya, lebih dari 600 ribu korban lain merupakan perokok pasif atau orang yang berada di sekitar perokok dan turut menghirup asap atau uap rokok secara tidak langsung.

Artinya pencemaran asap rokok, berbahaya bagi orang yang tidak merokok. Oleh karena itu menyelamatkan orang-orang yang tidak merokok dari paparan polusi asap rokok, menjadi hal yang harus diupayakan. Semangat itulah yang antara lain terkandung di dalam Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 12 tahun 2019 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Baca juga: Perda KTR, Pemkot Depok raih penghargaan dari APCAT

Dengan demikian perda ini tidak ditujukan untuk melarang kebiasaan merokok, melainkan mengatur dimana saja orang boleh merokok supaya tidak mengganggu mereka yang tidak merokok.
Sosialisasikan gerakan bebas rokok di Kota Bogor dengan gelar lari sehat. (ANTARA/Humas Setdakot Bogor)

Setelah berlaku hampir 10 tahun, pada tahun 2018 perda ini mengalami perubahan dengan terbitnya Perda Nomor 10 tahun 2018 tentang Perubahan atas perda Nomor 12 tahun 2009. Perubahan dilakukan pada beberapa pasal untuk menyikapi beberapa perkembangan yang muncul. Diantaranya, semakin berkembangnya penggunaan sisha dan vape (PV-personal vaporizer) atau juga dikenal sebagai rokok elektronik, di masyarakat.

Selain memasukan ketentuan tentang shisa dan vape, perubahan pada perda ini juga memasukan aturan tentang perluasan kawasan tanpa rokok. Sebelumnya ada 8 jenis tempat yang dikategorikan sebagai kawasan tanpa rokok yang selanjutnya diatur di dalam Peraturan Wali Kota.

Baca juga: Perluasan Perda KTR tidak pengaruhi PAD Kota Bogor

Hal lain yang diatur adalah perihal display atau tempat penjualan rokok seperti yang terdapat di mini supermarket. Rak tempat menjual rokok harus tertutup, sehingga tidak akan mudah dilihat oleh para calon pembeli. Juga terdapat ketentuan untuk memasang larangan melakukan penjualan rokok terhadap anak-anak dengan usia di bawah 18 Tahun.

Sayangnya pemberlakuan perda KTR rupanya masih diiringi dengan temuan yang tidak menggembirakan. Survey yang pernah dilakukan oleh Universitas Indonesia di Kota Bogor, hasilnya menunjukan sebanyak 21,4% anak merokok dan 82% menyatakan merokok karena melihat iklan dan display.
 
Petugas melepas poster rokok di sebuah warung di Kota Bogor, Jawa Barat. (ANTARA/Humas Setdakot Bogor)

Menurut Bambang Triyono, Ketua No Tobacco Community, para pelaku industri rokok sangat gencar melakukan Iklan, promosi dan sponsor rokok dengan bebas dimana-mana.

“Kita melihat Iklan-iklan yang menyesatkan, promosi yang dengan jelas memperlihatkan harga rokok yang sangat murah yang akan membuat anak-anak  tertarik untuk membelinya. Serta kegiatan atau event-event yang disponsori oleh produk rokok yang melibatkan anak-anak dan remaja didalamnya seperti pada konser musik, olahraga, film dan lain-lain,” katanya.

Baca juga: Dinkes kembali teliti jumlah perokok di Kota Bogor

Dalam hal ini menurutnya Pemerintah Kota Bogor telah mengambil langkah yang benar, dengan melarang iklan dan berbagai bentuk promosi rokok di wilayah Kota Bogor.

“Peraturan ini adalah dalam rangka pengendalian konsumsi produk tembakau terutama pada anak-anak dan remaja karena Industri Rokok ingin menambah Konsumen rokok dari kalangan remaja, sedangkan Pemerintah ingin menurunkan Perokok pemula yaitu anak-anak dan remaja,” lanjutnya.

Dalam monitoring yang dilakukan NOTC pada ritel-ritel yang telah diberlakukan Larangan Pemajangan penjualan rokok pada tahun 2017 menunjukan sebanyak 60,2% riteler menyatakan penutupan display rokok tidak berpengaruh pada penjualan rokok serta sebanyak 96,3% mendukung aturan larangan pemajangan penjualan rokok ini.
Satgas KTR menempelkan stiker peringatan tentang rokok di sebuah toko klontong di Kota Bogor, Jawa Barat. (ANTARA/Humas Setdakot Bogor)

Bambang menambahkan, “Peraturan ini sama sekali tidak menekan hak berusaha pedagang, ingat yang diatur disini adalah larangan memajang rokok, tidak melarang berjualan rokok.”

Sementara itu Ibu Selvy, seorang pemilik toko kelontong yang juga anggota Koalisi #TeuHayangRokok, mengatakan, “Jangan takut juga akan penurunan pendapatan warung/toko dengan adanya peraturan ini, karena orang tetap saja akan beli minyak goreng atau sabun cuci di warung walaupun mereka tidak tahu di mana si pedagang meletakkan minyak  atau sabun cuci.”

Dalam rilis yang dikeluarkan 21 Februari 2020 lalu Koalisi Masyarakat #TeuHayangRokok menyatakan sangat mendukung penuh Perda Kawasan Tanpa Rokok di Kota Bogor. Mereka berharap perda ini tetap dipertahankan dan harus lebih ditingkatkan lagi, karena mereka peduli terhadap generasi penerus bangsa.

Mereka juga menyatakan mendukung program pemerintah dalam hal pengendalian tembakau melalui implementasi dan penegakan Perda KTR.
Satgas KTR sedang menepelkan stiker larangan penjualan rokok pada anak di lingkungan sekolah di Kota Bogor, Bawa Barat. (ANTARA/Humas Setdakot Bogor)

Selain itu, mereka juga mendorong Pemerintah Kota Bogor agar maju terus dan tidak takut dalam menegakkan perda ini karena perda ini adalah bukti komitmen pemerintah kota dalam melindungi masyarakatnya. Mengingat pentingnya pengaturan tentang rokok untuk masa depan generasi mendatang, maka tidak ada salahnya mendukung perda KTR dan mematuhi semua ketentuannya. (Advertorial)

Pewarta: Oleh: Humas Setdakot Bogor

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020