Jakarta (Antaranews Bogor) - Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Nia Elvina menilai penyebab utama kehidupan buruh di Indonesia belum layak adalah belum terciptanya "working class politics" (politik kelas pekerja).

"Praktik `outsourcing` (alih daya) masih masif terjadi, karena hampir minimnya wakil-wakil buruh atau lebih tepatnya para legislator yang `concern` terhadap kepentingan para buruh," katanya kepada Antara di Jakarta, Jumat.

Memberikan ulasan mengenai nasib buruh Indonesia berkaitan dengan peringatan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2014, ia melihat peringatan Hari Buruh kali ini memiliki arti yang mendalam bagi para buruh Indonesia, baik yang kasar (blue collar) maupun yang halus (white collar), terkait dengan pemilihan presiden yang sebentar lagi dilaksanakan.

Ia mengemukakan, hampir minimnya wakil-wakil buruh atau lebih tepatnya para legislator yang peduli pada kepentingan para buruh dalam istilah sosiologi adalah belum tercipta "working class politics" itu.

Karena kondisi tersebut, kata dia, maka kepentingan buruh tidak ada yang memperjuangkan secara konsisten di dalam parlemen dan pemerintahan juga.

Menurut dia, jika berkaca pada sejarah bangsa, pada era Orde Lama (Orla), pemerintah sangat berpihak pada buruh dan di ranah legislatif ada beberapa partai yang sangat menonjol memperjuangkan nasib buruh, seperti PNI dan PKI.

"Keberpihakan terhadap kepentingan buruh ini bisa dilihat dari UU Buruh yang dihasilkan pada waktu itu, dan tindakan pemerintah yang sangat pro terhadap buruh," kata anggota peneliti Kelompok Studi Perdesaan Universitas Indonesia (UI) itu.

Indonesia, kata dia, juga pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan Hari Buruh Internasional.

Selain itu, katanya, pemerintah Orla berusaha menerapkan kebijakan hubungan industrial berbasiskan nilai keuntungan yang pantas bagi pemilik modal/pengusaha dan upah yang layak bagi buruh.

"Saya kira, di tengah terpaan era neoliberalisme, sangat penting buruh memastikan bahwa presiden yang akan menggantikan SBY nantinya sudah mempunyai `track record` yang pro terhadap kepentingan buruh," kata Sekretaris Program Sosiologi Unas itu.

Karena itu, para buruh harus kritis jangan sampai terperdaya oleh jargon dan janji, karena tantangan untuk meningkatkan kesejahteraan buruh di Indonesia masih sangat tinggi, demikian Nia Elvina.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014