Langkah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP) yang akan mengusulkan amandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945 kepada Presiden Joko Widodo tampaknya menjadi wacana politik yang menimbulan gonjang-ganjing. Menurut Zulkifli Hasan, amandemen bukan mengembalikan UUD 1945 seperti aslinya melainkan hanya mengenai pentingnya garis besar haluan negara yang dulu pernah menjadi kewenangan MPR.
“Amandemen diperlukan karena kecenderungan pembangunan saat ini yang terlihat tidak arah karena setiap pemimpin baik di tingkat daerah maupun pusat memiliki visi misi tersendiri. Disamping itu, kelembagaan MPR dan DPD yang disebutnya seperti kehilangan arah dengan kewenangan yang dimiliki,” kata Zulhas yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua MPR-RI.
PDIP sebagai Parpol pemenang Pemilu 2019 juga menyambut baik wacana amandemen terbatas UUD 1945, bahkan dalam Kongres V PDIP di Bali, Parpol yang dinahkodai Megawati Soekarnoputri ini mengejawantahkannya melalui sikap resmi partai yang menginginkan adanya amandemen terbatas UUD 1945. “Hal ini disebabkan Indonesia memerlukan Garis Besar Haluan Negara atau pola pembangunan semesta berencana. Kendati MPR menjadi lembaga tertinggi negara, PDIP tidak merekomendasikan adanya perubahan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,” tandas Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP.
Sementara itu, Mahfud MD yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi mendukung amandemen terbatas UUD 1945 dilaksanakan secara konsisten demi kepastian hukum, termasuk untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah benar, agar pembangunan antara pusat dan daerah diharapkan tidak tumpang tindih.
“Hanya saja MPR mengkaji lebih dalam kembali mengenai dampak amandemen terbatas UUD 1945 terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pasalnya, UUD 1945 sudah diamandemen berkali-kali dan setiap amandemen menuai dampak bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia,” ujarnya.
Sedangkan, Hidayat Nur Wahid yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengatakan, dinamika politik di MPR RI terkait wacana amandemen, terutama yang berkaitan dengan pemilihan presiden. Fraksi Nasional Demokrat mendorong agar masa jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode, sedangkan Fraksi Kebangkitan Bangsa mewacanakan agar presiden kembali dipilih MPR RI.
Kemudian, TB Hasanuddin yang juga Sekretaris Fraksi PDIP MPR RI mengatakan, Jokowi sebenarnya setuju bila amandemen benar-benar dilakukan terbatas. PDIP memandang amandemen terbatas adalah hal yang perlu.
“Isinya adalah soal memasukkan wacana pola pembangunan semesta berencana atau garis besar haluan negara (GBHN) ke dalam UUD. Soal penghidupan kembali GBHN itu adalah aspirasi PDIP sejak pertama kali,” sarannya.
Presiden Joko Widodo meragukan apakah amandemen UUD 1945 benar-benar hanya terbatas pada dibangkitkannya lagi GBHN. Sementara, dari sisi historis, GBHN tidak mungkin dihidupkan kembali apabila MPR tidak dijadikan lembaga tertinggi negara. Presiden akan menjadi orang yang pertama kali menolak jika presiden dipilih kembali oleh MPR, termasuk menolak MPR ditetapkan sebagai lembaga tertinggi negara. Presiden Jokowi juga mengkhawatirkan amandemen terbatas UUD 1945 akan melebar kemana-mana, sehingga mengajak masyarakat untuk lebih ber konsentrasi diarahkan kepada kondisi perekonomian terkini, karena tekanan eksternal bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan. Apapun wacana yang berkembang terkait amandemen terbatas UUD 1945 janganlah sampai mengganggu upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengurangi defisit neraca perdagangan dan meningkatkan kinerja ekspor. Bagaimanapun juga, amandemen terbatas UUD 1945 diperlukan agar bangsa ini mempunyai payung hukum dan kepastian hukum dalam menjalani samudera kehidupan berbangsa dan bernegaranya ke depan, namun sekali lagi amandemen terbatas UUD 1945 jangalah melebar kemana-mana seperti harapan Presiden, termasuk mendestruksi kematangan demokrasi di Indonesia saat ini. Semoga. (34/*).
*) Penulis adalah pemerhati masalah hukum dan dosen.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
“Amandemen diperlukan karena kecenderungan pembangunan saat ini yang terlihat tidak arah karena setiap pemimpin baik di tingkat daerah maupun pusat memiliki visi misi tersendiri. Disamping itu, kelembagaan MPR dan DPD yang disebutnya seperti kehilangan arah dengan kewenangan yang dimiliki,” kata Zulhas yang saat itu masih menjabat sebagai Ketua MPR-RI.
PDIP sebagai Parpol pemenang Pemilu 2019 juga menyambut baik wacana amandemen terbatas UUD 1945, bahkan dalam Kongres V PDIP di Bali, Parpol yang dinahkodai Megawati Soekarnoputri ini mengejawantahkannya melalui sikap resmi partai yang menginginkan adanya amandemen terbatas UUD 1945. “Hal ini disebabkan Indonesia memerlukan Garis Besar Haluan Negara atau pola pembangunan semesta berencana. Kendati MPR menjadi lembaga tertinggi negara, PDIP tidak merekomendasikan adanya perubahan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden,” tandas Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP.
Sementara itu, Mahfud MD yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi mendukung amandemen terbatas UUD 1945 dilaksanakan secara konsisten demi kepastian hukum, termasuk untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah benar, agar pembangunan antara pusat dan daerah diharapkan tidak tumpang tindih.
“Hanya saja MPR mengkaji lebih dalam kembali mengenai dampak amandemen terbatas UUD 1945 terhadap sistem ketatanegaraan di Indonesia. Pasalnya, UUD 1945 sudah diamandemen berkali-kali dan setiap amandemen menuai dampak bagi sistem ketatanegaraan di Indonesia,” ujarnya.
Sedangkan, Hidayat Nur Wahid yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera mengatakan, dinamika politik di MPR RI terkait wacana amandemen, terutama yang berkaitan dengan pemilihan presiden. Fraksi Nasional Demokrat mendorong agar masa jabatan presiden ditambah menjadi tiga periode, sedangkan Fraksi Kebangkitan Bangsa mewacanakan agar presiden kembali dipilih MPR RI.
Kemudian, TB Hasanuddin yang juga Sekretaris Fraksi PDIP MPR RI mengatakan, Jokowi sebenarnya setuju bila amandemen benar-benar dilakukan terbatas. PDIP memandang amandemen terbatas adalah hal yang perlu.
“Isinya adalah soal memasukkan wacana pola pembangunan semesta berencana atau garis besar haluan negara (GBHN) ke dalam UUD. Soal penghidupan kembali GBHN itu adalah aspirasi PDIP sejak pertama kali,” sarannya.
Presiden Joko Widodo meragukan apakah amandemen UUD 1945 benar-benar hanya terbatas pada dibangkitkannya lagi GBHN. Sementara, dari sisi historis, GBHN tidak mungkin dihidupkan kembali apabila MPR tidak dijadikan lembaga tertinggi negara. Presiden akan menjadi orang yang pertama kali menolak jika presiden dipilih kembali oleh MPR, termasuk menolak MPR ditetapkan sebagai lembaga tertinggi negara. Presiden Jokowi juga mengkhawatirkan amandemen terbatas UUD 1945 akan melebar kemana-mana, sehingga mengajak masyarakat untuk lebih ber konsentrasi diarahkan kepada kondisi perekonomian terkini, karena tekanan eksternal bukan sesuatu yang mudah untuk diselesaikan. Apapun wacana yang berkembang terkait amandemen terbatas UUD 1945 janganlah sampai mengganggu upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan mengurangi defisit neraca perdagangan dan meningkatkan kinerja ekspor. Bagaimanapun juga, amandemen terbatas UUD 1945 diperlukan agar bangsa ini mempunyai payung hukum dan kepastian hukum dalam menjalani samudera kehidupan berbangsa dan bernegaranya ke depan, namun sekali lagi amandemen terbatas UUD 1945 jangalah melebar kemana-mana seperti harapan Presiden, termasuk mendestruksi kematangan demokrasi di Indonesia saat ini. Semoga. (34/*).
*) Penulis adalah pemerhati masalah hukum dan dosen.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019