Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) menyatakan pendapatan negara berupa cukai dari bisnis vape yang mencapai sekitar Rp700 miliar terancam hilang jika  pemerintah salah mengambil kebijakan mengenai rokok elektrik itu.

"Kalau vape dilarang, yang saya khawatirkan itu akan memunculkan 'black market' (pasar gelap). Itu tentu membuat penerimaan negara terganggu juga," kata Ketua Divisi Produksi APVI, Eko HC pada kegiatan Sumatera Vape Awareness, Vapers Butuh Regulasi Bukan Dilarang di Kota Pekanbaru, Jumat malam (29/11).

Ia menjelaskan bahwa sejak pemerintah mengenakan aturan fiskal berupa cukai sebesar 57 persen terhadap vape pada Oktober 2018, berdasarkan laporan Ditjen Bea dan Cukai jumlah penerimaan negara dari cukai vape mencapai sekitar Rp700 miliar.
Ketua Divisi Produksi APVI, Eko H.C memberi penjelasan potensi bisnis vape, didampingi Ketua Penasihat AVI, Dimasz Jeremiah (kiri) pada kegiatan "Sumatera Vape Awareness, Vapers Butuh Regulasi Bukan Dilarang", di Kota Pekanbaru, Jumat malam (29/11/2019). (ANTARA/FB Anggoro)


Pelaku usaha vape yang tergabung di APVI mencapai 103 mulai dari produsen hingga distributor, sedangkan rantai perdagangan sampai ke tingkat ritel jumlahnya mencapai 3.000 pelaku usaha. Sementara itu, pengguna vape di Indonesia tercatat sekitar 1,2 juta orang.

"Industri ini sangat memiliki potensi pertumbuhan yang besar," katanya.

Ia mengatakan, pihaknya sudah melakukan riset yang hasilnya menunjukkan industri vape akan memberi dampak positif kepada petani tembakau dari penggunaan sisa tembakau yang tidak bisa digunakan industri rokok dan disebut "waste".

Menurut dia, jumlah "waste" sangat banyak dan ini bisa diserap oleh industri vape untuk bahan nikotin cair yang bisa dijadikan cairan (liquid) vape.

"Kita bisa serap tembakau yang tidak dipakai perusahaan rokok sebanyak 2.592 ton tiap tahunnya. Ini kita membicarakan angka existing (yang ada) berdasarkan hasil yang kita lakukan selama 2018 hingga 2019," kata Eko.

Ia berharap pemerintah bisa membuat regulasi yang mendukung pertumbuhan, bahkan untuk mengekspansinya ke pasar internasional. Sebabnya, saat ini penikmat vape luar negeri menyukai "liquid" lokal buatan Indonesia. Jumlah pengguna vape kini mencapai 5,5 juta orang di dunia.

"Kita asumsikan pada lima tahun, atau bahkan satu tahun ke depan kita bisa ekspor 10 persen saja, itu bisa jadi pertumbuhan luar biasa untuk Indonesia," ujarnya.

Acara "Sumatera Vape Awareness" mempertemukan pelaku usaha vape dan penikmatnya yang tergabung dalam Asosiasi Vaper Indonesia (AVI).

Mereka menghadirkan puluhan foto rontgen pengguna vape, yang dinyatakan dalam pemeriksaan kesehatan menunjukkan hasil yang bagus.

"Kami juga bersedia kalau diminta untuk melakukan CT-Scan agar pemerintah bisa menghasilkan keputusan yang baik, yang 100 persen untuk kepentingan meningkatkan pelayanan kesehatan," kata Ketua Penasihat AVI, Dimasz Jeremiah.

Ia mengatakan keberatan dengan pernyataan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang menolak vape tanpa memberi kesempatan untuk berdialog dengan asosiasi terkait, dan juga tanpa adanya penelitian berbasis ilmu pengetahuan.

Rekomendasi BPOM yang melarang vape karena berdasarkan kejadian yang terjadi di Amerika Serikat, menimbulkan polemik dan informasi simpang-siur karena tanpa penelitian.

"Kami harapkan pemerintah meneliti juga, agar keputusan 100 persen berdasarkan penelitian, bukan karena opini dan ketakutan karena vaping ini ada kemiripan dengan rokok, karena mengandung nikotin juga," ujarnya.

Meski begitu, ia mengapresiasi Menteri Kesehatan yang baru dilantik, dr Terawan, yang masih membuka pintu diskusi untuk mengakhiri polemik tentang vape di Indonesia.

Pewarta: FB Anggoro

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019