Balai Besar Kimia dan Kemasan (BBKK) Kementerian Perindustrian menemukan teknologi yang mampu mengubah sampah plastik jenis polietilena (kantong plastik), yang sudah tidak dapat didaur ulang, untuk menjadi bahan bakar minyak (BBM).
Langkah strategis yang dilakukannya adalah dengan mengubah limbah plastik menjadi senyawa lainnya yang lebih bermanfaat melalui proses pirolisis.
Pada proses pirolisis, limbah plastik akan diubah menjadi fasa cair, residu bahan padat, dan fasa gas. Gas yang tidak terkondensasi juga diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar, kata Kepala BPPI Kemenperin Ngakan Timur Antara di Jakarta, Kamis.
Ngakan berharap, hasil litbang tersebut dapat membantu upaya pemerintah dalam penanggulangan masalah sampah plastik.
Baca juga: FOA 2019, mahasiswa IPB berhasil kumpulkan 10.000 sampah botol plastik di Bogor
Laporan Bank Dunia tentang What a Waste 2.0 yang diterbitkan pada 2018 menyebutkan Indonesia menghasilkan sampah cukup besar di dunia dengan volume mencapai 3,22 juta metrik ton per tahun.
Oleh karena itu, pemerintah menargetkan untuk mengurangi sampah plastik hingga 70 persen pada 2025.
Ngakan memaparkan, untuk menyelesaikan permasalahan sampah plastik, banyak yang berpikir bahwa cara termudah adalah melalui proses pembakaran.
Padahal cara tersebut adalah tidak benar. Sampah plastik yang dibakar, mengandung gas rumah kaca bahkan zat dioksin dan furan, yang oleh World Health Organization (WHO) sudah ditetapkan sebagai gas yang memicu kanker pada manusia (karsinogenik), katanya.
Baca juga: Leonardo DiCaprio menyoroti kondisi TPST Bantargebang
Oleh karena itu, menurut Ngakan, beberapa keuntungan dari metode pirolisis untuk pembakaran limbah plastik, antara lain beroperasi tanpa membutuhkan udara atau campuran hidrogen dan tidak memerlukan tekanan tinggi, kemudian asam klorida (HCl) yang terbentuk sebagai sebuah produk dapat diperoleh kembali sebagai bahan baku, polutan-polutan dan pengotor menjadi terkonsentrasi sebagai residu padatan.
Selain itu, pirolisis dilakukan pada sistem tertutup maka tidak ada polutan yang keluar.
Kepala BBKK Wiwik Pudjiastuti menjelaskan, reaktor pirolisis untuk mengubah bahan baku limbah plastik menjadi crude oil terdiri dari tabung reaktor tegak dilengkapi dengan inlet katalis untuk memasukkan katalis ke reaktor, inlet bahan baku untuk memasukkan bahan baku ke reactor, dan pencampur mekanis untuk menghasilkan campuran yang homogen dan memperluas permukaan sampel sehingga mudah menguap.
Selanjutnya, dilengkapi pula pemanas elektrik yang dapat diatur suhunya sesuai dengan kebutuhan sifat fasa gas yang terbentuk selama proses, kondensor untuk mengubah fasa gas menjadi fasa cair serta dilengkapi dengan tipe single tube untuk memastikan semua fasa gas terkondensasi sempurna.
Baca juga: Sampah menumpuk di sungai, Pemkab Bekasi bentuk FPSS
Berikutnya, terdapat saluran gas yang tidak terkondensasi dapat ditampung untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar gas, saluran residu pada bagian bawah tabung reaktor untuk mengeluarkan sisa padatan, serta adanya penampung crude oil di ujung bawah kondensor.
Produk yang dihasilkan oleh alat pirolisis hasil rekayasa BBKK ini memiliki karakteristik lebih tinggi dibandingkan BBM, sehingga direkomendasikan oleh Lemigas untuk dijadikan pelarut, ungkapnya.
Berdasarkan uji laboratorium yang telah dilakukan, didapatkan spesifikasi pelarut mendekati jenis pelarut produksi PT Pertamina. Jenis pelarut tersebut, yaitu Pertasol (10 persen), Minasol (10 persen), dan Low Aromatic White Spirites (30 persen) serta solar (40 persen) dengan cetane number sebesar 58 sesuai spesifikasi Euro 4.
Selain keempat pelarut itu, hasil samping yang potensial juga bisa dimanfaatkan adalah gas yang jika diproses lebih lanjut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar gas.
Gas yang dihasilkan melalui proses pirolisis, yaitu gas hidrogen 9,1 persen, metana 4,7 persen, etana 4,6 persen dan propana 12,2 persen dengan nilai kalor 1209,25 British Thermal Unit (BTU) per ft3.
Jika dibandingkan dengan nilai kalor gas alam yang sudah diolah (924 BTU per ft3 sampai 1027 BTU per ft3) dan nilai kalor gas pipa (950 BTU per ft3 sampai 1250 BTU per ft3) dengan pengotor H2S maksimum16 ppm, gas hasil proses pirolisis memiliki kandungan nilai kalor lebih tinggi sehingga mutunya lebih bagus sebagai bahan bakar serta tidak mengandung zat yang bersifat korosif.
Gas yang sudah dipurifikasi dapat dimasukkan ke dalam tabung. Pengemasan dalam tabung akan memudahkan dalam penyimpanan dan aplikasi di lapangan. Gas hasil pirolisis juga telah terbukti dapat diaplikasikan pada kompor gas, burner proses pirolisis serta genset, kata Wiwik.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019
Langkah strategis yang dilakukannya adalah dengan mengubah limbah plastik menjadi senyawa lainnya yang lebih bermanfaat melalui proses pirolisis.
Pada proses pirolisis, limbah plastik akan diubah menjadi fasa cair, residu bahan padat, dan fasa gas. Gas yang tidak terkondensasi juga diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar, kata Kepala BPPI Kemenperin Ngakan Timur Antara di Jakarta, Kamis.
Ngakan berharap, hasil litbang tersebut dapat membantu upaya pemerintah dalam penanggulangan masalah sampah plastik.
Baca juga: FOA 2019, mahasiswa IPB berhasil kumpulkan 10.000 sampah botol plastik di Bogor
Laporan Bank Dunia tentang What a Waste 2.0 yang diterbitkan pada 2018 menyebutkan Indonesia menghasilkan sampah cukup besar di dunia dengan volume mencapai 3,22 juta metrik ton per tahun.
Oleh karena itu, pemerintah menargetkan untuk mengurangi sampah plastik hingga 70 persen pada 2025.
Ngakan memaparkan, untuk menyelesaikan permasalahan sampah plastik, banyak yang berpikir bahwa cara termudah adalah melalui proses pembakaran.
Padahal cara tersebut adalah tidak benar. Sampah plastik yang dibakar, mengandung gas rumah kaca bahkan zat dioksin dan furan, yang oleh World Health Organization (WHO) sudah ditetapkan sebagai gas yang memicu kanker pada manusia (karsinogenik), katanya.
Baca juga: Leonardo DiCaprio menyoroti kondisi TPST Bantargebang
Oleh karena itu, menurut Ngakan, beberapa keuntungan dari metode pirolisis untuk pembakaran limbah plastik, antara lain beroperasi tanpa membutuhkan udara atau campuran hidrogen dan tidak memerlukan tekanan tinggi, kemudian asam klorida (HCl) yang terbentuk sebagai sebuah produk dapat diperoleh kembali sebagai bahan baku, polutan-polutan dan pengotor menjadi terkonsentrasi sebagai residu padatan.
Selain itu, pirolisis dilakukan pada sistem tertutup maka tidak ada polutan yang keluar.
Kepala BBKK Wiwik Pudjiastuti menjelaskan, reaktor pirolisis untuk mengubah bahan baku limbah plastik menjadi crude oil terdiri dari tabung reaktor tegak dilengkapi dengan inlet katalis untuk memasukkan katalis ke reaktor, inlet bahan baku untuk memasukkan bahan baku ke reactor, dan pencampur mekanis untuk menghasilkan campuran yang homogen dan memperluas permukaan sampel sehingga mudah menguap.
Selanjutnya, dilengkapi pula pemanas elektrik yang dapat diatur suhunya sesuai dengan kebutuhan sifat fasa gas yang terbentuk selama proses, kondensor untuk mengubah fasa gas menjadi fasa cair serta dilengkapi dengan tipe single tube untuk memastikan semua fasa gas terkondensasi sempurna.
Baca juga: Sampah menumpuk di sungai, Pemkab Bekasi bentuk FPSS
Berikutnya, terdapat saluran gas yang tidak terkondensasi dapat ditampung untuk dimanfaatkan sebagai bahan bakar gas, saluran residu pada bagian bawah tabung reaktor untuk mengeluarkan sisa padatan, serta adanya penampung crude oil di ujung bawah kondensor.
Produk yang dihasilkan oleh alat pirolisis hasil rekayasa BBKK ini memiliki karakteristik lebih tinggi dibandingkan BBM, sehingga direkomendasikan oleh Lemigas untuk dijadikan pelarut, ungkapnya.
Berdasarkan uji laboratorium yang telah dilakukan, didapatkan spesifikasi pelarut mendekati jenis pelarut produksi PT Pertamina. Jenis pelarut tersebut, yaitu Pertasol (10 persen), Minasol (10 persen), dan Low Aromatic White Spirites (30 persen) serta solar (40 persen) dengan cetane number sebesar 58 sesuai spesifikasi Euro 4.
Selain keempat pelarut itu, hasil samping yang potensial juga bisa dimanfaatkan adalah gas yang jika diproses lebih lanjut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar gas.
Gas yang dihasilkan melalui proses pirolisis, yaitu gas hidrogen 9,1 persen, metana 4,7 persen, etana 4,6 persen dan propana 12,2 persen dengan nilai kalor 1209,25 British Thermal Unit (BTU) per ft3.
Jika dibandingkan dengan nilai kalor gas alam yang sudah diolah (924 BTU per ft3 sampai 1027 BTU per ft3) dan nilai kalor gas pipa (950 BTU per ft3 sampai 1250 BTU per ft3) dengan pengotor H2S maksimum16 ppm, gas hasil proses pirolisis memiliki kandungan nilai kalor lebih tinggi sehingga mutunya lebih bagus sebagai bahan bakar serta tidak mengandung zat yang bersifat korosif.
Gas yang sudah dipurifikasi dapat dimasukkan ke dalam tabung. Pengemasan dalam tabung akan memudahkan dalam penyimpanan dan aplikasi di lapangan. Gas hasil pirolisis juga telah terbukti dapat diaplikasikan pada kompor gas, burner proses pirolisis serta genset, kata Wiwik.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019