Siber telah menjadi bagian kehidupan sehari-hari masyarakat dunia, khususnya Indonesia. Seluruh lini kehidupan telah terkoneksi dalam ruang Siber, untuk itu penting RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) penting disahkan oleh DPR RI periode 2014-2019.

Direktur Proteksi Pemerintah Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Ronald Tumpal, dalam keterangan tertulisnya, Kamis mengatakan kedua RUU yang tengah digodok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) tersebut adalah “the series of cyberlaw yang seharusnya saling melengkapi.

Menurut survei data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018, penetrasi pengguna internet Indonesia mengalami pertumbuhan mencapai 27 juta jiwa dengan persentase peningkatan sebesar 10 persen daripada tahun 2017 sebanyak 143,26 juta. 

Akhir-akhir ini terjadi perdebatan mana yang lebih mendesak untuk segera disahkan apakah terkait RUU Keamanan dan Ketahanan Siber atau Perlindungan Data Pribadi. Lalu bagaimana perbandingan antara RUU KKS dengan Undang Undang dan Transaksi Elektronik yang sudah ada? 

"Kalau PDPnya baik, kesadaran masyarakatnya baik, tapi bagaimana mengatasi infrastruktur sibernya tidak baik sama aja. Akan terjadi leak [kebocoran] juga, akan terjadi serangan, saya melihat ini complementer sifatnya," ujar Ronald kepada wartawan disela-sela acara Diskusi Publik: "Meneropong Arah Kebijakan Keamanan Siber Indonesia” di Gedung Perpustakaan Nasional, di Jakarta, Rabu.

RUU KKS Penting Dikebut Tahun Ini

Menurut Ronald, program legislasi nasional terkait keamanan siber harus menjadi prioritas untuk disahkan tahun ini karena tingkat resiko dan ancaman terhadap penyalahgunaan teknologi, informasi dan komunikasi berbanding lurus dengan tingginya tingkat pemanfaatan hal tersebut di masyarakat. 

“Yang harus disinkronkan adalah batasan, garis demarkasi, dimana pengaturan RUU PDP, dimana RUU Kamsiber. Kita melihat ketahanan siber, atau resiliensi itu kan bagian dari outcome. Jadinya kita tahan diserang disini-sini dan juga pembangunan kapasitas untuk membangun resiliensi,” ujar Ronald.

Berdasarkan data serangan siber tahun 2018 dari Pusat Operasi Keamanan Siber Nasional BSSN, telah terjadi 232.401.725 (dua ratus tiga puluh dua juta empat ratus satu ribu tujuh ratus dua puluh lima) serangan siber sepanjang tahun 2018. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 13 persen dari jumlah serangan di tahun sebelumnya.

Dampak serangan siber dapat memengaruhi berbagai sektor dan merugikan hajat hidup orang banyak. 

Menurut data Norton Symantec, kerugian ekonomi Indonesia akibat dari serangan siber pada tahun 2017 sebesar 3,2 miliar dolar AS. Selanjutnya, menurut Frost and Sullivan yang diprakarsai oleh Microsoft, kerugian akibat dari insiden di ruang siber Indonesia mencapai 34,2 miliar AS. 

Kerugian dalam sektor ekonomi dari aktivitas yang negatif di ruang siber tersebut berpotensi membahayakan Indonesia, mulai dari sektor pemerintah, swasta, infrastruktur kritis nasional, dan lainnya. 

Sebelumnya, DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Keamanan dan Ketahanan Siber sebagai RUU usul inisiatif DPR RI. 

Persetujuan RUU tersebut dilaksanakan pada saat Rapat Paripurna DPR RI tanggal 4 Juli 2019 di Gedung Nusantara II, Komplek MPR/DPR. Saat ini pemerintah tengah menyusun Daftar Inventaris Masalah untuk pembahasan bersama DPR. 

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2019