"Hidup kami berubah lebih cerah setelah mengenal kopi, kehidupan kami menjadi lebih baik."

Kalimat itu dicetuskan oleh Maman, pria berusia 48 tahun dengan empat anak, yang juga Ketua RT 03/RW 06, Kampung Cikoneng, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor.

Bersama empat warga Cikoneng lainnya, yang semuanya pemetik teh, Maman memelopori usaha kopi di kampungnya pada 2018.

Kini, sudah 54 orang atau lebih dari separuh dari total 93 kepala keluarga di Kampung Cikoneng yang mengusahakan kopi, dengan total areal kebun 39 hektare.

Mereka semua tergabung dalam Kelompok Tani Hutan, yang diketuai rekan sekampung Maman bernama Komar, lelaki berusia 53 tahun beranak tiga.

Sebenarnya perubahan di Kampung Cikoneng, juga Rawa Gede dan Cibulao, terjadi jauh sebelum itu, sekitar tahun 2000.

"Awalnya dari penindakan hukum," kata Kepala Desa Tugu Utara Asep Ma'mun Nawawi, kepada ANTARA via panggilan telepon, beberapa jam setelah ANTARA mengunjungi Maman dan rekan-rekannya di Cikoneng.

Tahun 2000 itu Asep masih menjabat Sekretaris Desa Tugu Utara, selain juga aktif menjaga lingkungan di desanya.

Asep mengenang sekitar tahun itu beberapa warga daerah di lereng gunung terjerat hukum akibat perambahan hutan secara liar.

"Ada pemain besar yang menjadi penadah, dan tentunya bukan warga sekitar," kata Asep.

Sejak itu, proses penyadaran mulai dilakukan kepada warga, bahwa perbuatan mereka itu salah, bukan hanya melanggar hukum, tapi juga merusak ekosistem, dan bahwa hutan itu penting bukan hanya untuk mereka, tapi juga bagi daerah-daerah lebih rendah, sampai nun jauh di Jakarta.

Perlahan, edukasi yang intensif, dengan melibatkan banyak pihak, termasuk akademisi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), warga tersadarkan.

Kebetulan, pada 2015, pemerintah mengenalkan program PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), yang adalah skema pengelolaan hutan yang memberi ruang kepada warga desa sekitar hutan sebagai pelaku utama.

Program ini juga mencapai Desa Tugu Utara, tepatnya areal perkebunan Perhutani yang diusahakan warga kampung-kampung dekat hutan, termasuk Cikoneng.

Pelan tapi pasti, edukasi dan program PHBM membuat warga lereng gunung, termasuk Cikoneng, berubah.

Mereka tak lagi merambah hutan, melainkan sibuk bertani di lahan Perhutani sambil tetap menjalankan profesi utama, memetik teh.

Awalnya, kata Asep, warga menanami sayuran dan pohon pinus. Tapi, karena bertanam sayuran bisa memicu erosi karena mengharuskan pembukaan lahan, dan pohon pinus tak terlalu menguntungkan secara ekonomi, maka perhatian dialihkan ke komoditas lain.

Kemudian, rekomendasi dari berbagai pihak, termasuk akademisi, menyimpulkan Cikoneng dan sekitarnya cocok ditanami kopi.

Maman, petani kopi sekaligus tokoh Kampung Cikoneng, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, di tengah kebun kopinya pada 16 November 2025. (ANTARA/Jafar Sidik)


Taraf hidup meningkat

Kopi memiliki akar yang kuat bisa mencegah erosi, sedangkan daunnya yang tebal dapat melindungi tanah dari hujan langsung sehingga erosi tercegah, sementara ampasnya menjadi kompos penyubur tanah.

Kopi juga memerlukan pohon pelindung agar tumbuh baik demi menghasilkan buah yang baik pula. Itu bisa lamtoro, dadap atau lainnya.

Dan inilah salah satu kelebihan kopi, karena syarat adanya pohon pelindung yang lebih tinggi dan besar, justru bagus untuk ekosistem.

Intinya, pohon kopi tak saja bernilai ekonomi, tetapi juga menawarkan cara elok dalam membuat lingkungan terjaga dengan baik.

Manfaat positif ganda ini cocok untuk Cikoneng yang merupakan salah satu hulu Sungai Ciliwung yang mengalir ke daerah-daerah di bawah Cisarua, sampai Jakarta. Sedangkan dari sisi ekonomi, bertani kopi membuat taraf hidup warga meningkat.

"Peningkatannya sampai 30 persen," kata Komar, menjawab pertanyaan ANTARA mengenai seberapa besar pengaruh bertani kopi dalam meningkatkan perekonomian warga Cikoneng.

Warga Cikoneng juga menjadi bertambah sibuk. "Pagi, dari jam 6 pagi sampai jam 12 siang kami di kebun teh, siang sampai sore merawat kebun kopi kami," kata Komar.

Setiap hari Minggu, Maman, Komar dan semua dari ke-54 petani kopi Cikoneng, akan seharian merawat tanaman kopi, yang memang membutuhkan ketelatenan.

Walau hanya panen satu kali dalam setahun, petani harus rajin merawat tanaman kopi. Dan rajin adalah faktor penting bagi naiknya perekonomian.

"Siapa yang rajin merawat kopinya, dialah yang mendapatkan hasil kopi yang baik dan banyak," kata Maman.

Maman membuktikan ucapannya dengan hasil panen yang diperolehnya pertengahan tahun ini ketika dua hektare kebun kopi yang dia kelola menghasilkan empat ton buah kopi.

Dengan memakai perbandingan 7 kg buah kopi untuk 1 kg biji kering kopi, Maman mendapatkan sekitar setengah ton biji kopi kering tahun itu.

Maman tak sekadar petani kopi, karena dia juga tahu bagaimana memilih kopi yang bagus dan mengemasnya untuk dijual kepada para penyuka kopi.

Kemasan 250 gram kopi arabika yang ditawarkan kepada ANTARA, dia hargai dengan Rp50.000.

Kalikan harga itu dengan 500 kg biji kopi kering yang dihasilkan Maman, maka totalnya bisa sangat besar, mencapai seratusan juta rupiah.

Tapi itu masih hitungan kotor. Yang pasti, gambaran ini memperlihatkan warga Cikoneng mendapatkan insentif besar dari bertani kopi.

Dan dampaknya merembet ke mana-mana, termasuk kesadaran berpendidikan.

Dua dekade silam, berdasarkan penuturan Maman, rata-rata warga Cikoneng adalah lulusan sekolah dasar, tapi kini mereka rata-rata lulusan SMA, lewat Paket C. 


Berkat kolaborasi

Tapi semua itu mustahil terjadi jika cita rasa kopi Cikoneng tak layak pasar.

"Kopi Cikoneng memiliki kualitas tinggi dengan cita rasa khas dan aroma yang kuat," kata Bismo Abiyoso dari Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), kepada ANTARA, sehari setelah ANTARA menyambangi para petani kopi Cikoneng.

Bismo tak sedang beriklan karena faktanya kopi Cikoneng memang nikmat, mungkin karena ditanam di ketinggian yang cocok dan dirawat dengan komponen yang hampir serba organik.

Saat ditawari Maman mencicipi kopi produksinya, ANTARA agak ragu mencicipinya karena ada riwayat asam lambung.

Ternyata, kopi ini memang nikmat. Tak ada efek samping bagi orang-orang yang memiliki keluhan penyakit tertentu.

Cita rasanya memang khas, seperti disebut Bismo dari AEKI.

Kiprah Bismo dan AEKI di Cikoneng dimulai setelah pada 2022 AEKI DKI menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan pada Pemerintah Kabupaten Bogor, dan Astra Internasional. Sasarannya, mengembangkan produk unggulan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Tugu Utara.

Tahun itu Astra menjadikan Tugu Utara sebagai Desa Sejahtera Astra, yang merupakan program kontribusi sosial berkelanjutan dari raksasa otomotif nasional ini dalam bidang kewirausahaan berbasis kawasan.

Tujuannya, mendorong warga desa mandiri secara ekonomi, dengan mengembangkan potensi dan produk unggulan lokal.

Lewat program ini, warga desa mendapatkan pendampingan, mulai pelatihan keterampilan, penguatan kelembagaan, bantuan prasarana, hingga fasilitasi akses permodalan dan pemasaran produk.

Dan semua hal itu tengah dinikmati para petani kopi Cikoneng, juga Rawa Gede, termasuk bantuan pupuk, sejak 2022, di mana AEKI DKI menjadi fasilitatornya.

Harapannya, pendampingan semacam itu membuat desa menjadi mandiri secara ekonomi dan memiliki daya saing yang tinggi.

Dan Cikoneng sudah membuktikan diri mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi, dengan sukses menembus pasar ekspor.

"Kopi arabika Cikoneng, Tugu Utara, berhasil menembus pasar internasional, termasuk Taiwan, Aljazair, dan Turki," kata Bismo Abiyoso.

Bagi sebuah kampung yang untuk mencapainya harus melalui jalan berbatu sepanjang sekitar lima kilometer yang bahkan lebih cepat mencapainya dengan berjalan kaki ketimbang berkendara roda empat, prestasi memasarkan produk ke luar negeri, adalah membanggakan dan layak diapresiasi banyak pihak.

Cikoneng juga menjadi bukti keefektifan model pengembangan desa dan konservasi alam yang menitikberatkan kolaborasi antara pemerintah daerah, swasta, akademisi, asosiasi bisnis, dan warga, yang layak ditiru desa-desa lain di Indonesia.

Pewarta: Jafar M Sidik

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025