Isu kesehatan mental menjadi kian biasa di tengah tekanan kehidupan modern yang rentan memicu gangguan mental.
Gangguan mental sendiri bisa timbul akibat faktor stres dan tuntutan kehidupan sehari-hari yang berlebihan hingga membuat seseorang kerap merasa berlari tanpa arah, mengejar tujuan tanpa jeda, dan menumpuk tekanan tanpa sadar.
Dalam kesibukan itu, banyak orang lupa bahwa kesehatan mental adalah fondasi dari seluruh keseimbangan hidup.
Kesehatan mental bukan kemewahan, bukan pula hak istimewa bagi segelintir orang, melainkan kebutuhan dasar setiap manusia untuk bisa merasa utuh dan berdaya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan mental sebagai kondisi ketika seseorang mampu menyadari potensi dirinya, menghadapi tekanan hidup yang wajar, bekerja dengan produktif, dan memberi kontribusi bagi lingkungannya.
Namun, definisi itu masih jauh dari realitas sehari-hari. Banyak orang bahkan belum mampu mengenali tanda-tanda bahwa dirinya sedang tidak baik-baik saja.
Rasa cemas yang berlarut, kelelahan emosional yang disembunyikan, atau kehilangan semangat yang dianggap wajar menjadi bagian dari keseharian yang terus diabaikan.
Kondisi semacam ini bisa menimpa siapa saja bahkan anak-anak yang terbebani ekspektasi, remaja yang kehilangan arah di dunia digital, orang dewasa yang terhimpit tuntutan ekonomi, hingga lansia yang bergulat dengan kesepian.
Gangguan mental tidak mengenal status sosial atau profesi. Karena itu, menjaga kesehatan mental bukan sekadar reaksi terhadap krisis, tetapi bentuk kesadaran untuk terus merawat diri agar tetap mampu menjalani hidup dengan utuh.
Merawat pikiran seharusnya dipandang sama pentingnya dengan merawat tubuh. Seperti tubuh yang butuh istirahat, pikiran pun memerlukan ruang untuk bernafas dan memulihkan diri.
Konseling psikologis, meditasi, atau sekadar berbagi cerita dengan orang yang aman dipercaya bisa menjadi bentuk pemulihan yang sederhana namun bermakna.
Dukungan psikologis yang tepat membantu seseorang memahami dirinya, menata kembali cara berpikir, dan menemukan makna di tengah tekanan.
Dalam bidang pendidikan, psikolog bisa bekerja bersama siswa, guru, dan orang tua untuk mengenali potensi anak sekaligus mengatasi masalah belajar yang kerap berakar dari faktor emosional.
Di sektor profesional, pendekatan psikologi diterapkan untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi, tempat karyawan bisa berkembang tanpa kehilangan keseimbangan pribadi.
Menurut Arnita, pendekatan ini bukan sekadar membantu orang bertahan dari tekanan, melainkan menuntun mereka untuk tumbuh lebih kuat dan sadar akan dirinya.
Proses pendampingan dilakukan dengan langkah yang terstruktur mulai dari sesi asesmen, konsultasi, hingga intervensi dan evaluasi lanjutan. Semua dijalankan dengan menjunjung kerahasiaan dan etika profesi.
“Tujuan utama dari langkah ini adalah membantu klien memahami diri secara lebih baik, mengelola emosi, menyelesaikan masalah, dan mengoptimalkan potensinya. Pendekatan ini memastikan setiap klien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan kebutuhannya,” kata Arnita.
Baca juga: Sehat mental bukan berarti selalu bahagia
Baca juga: Hari Kesehatan Mental Sedunia dan kondisi anak remaja
Editor :
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025