Bogor (Antaranews Megapolitan) - Fisikawan merupakan ilmuwan penting yang mengubah hidup manusia. Butuh 170 tahun riset untuk menghasilkan kalkulator. Dan dibutuhkan 200 tahun untuk menghasilkan laptop. Semua inovasi itu tidak bisa dilakukan oleh satu orang peneliti tapi gabungan riset dari banyak peneliti.
“Dari semua kecerdasan yang berhasil dilakukan oleh komputer, belum ada komputer yang bisa mengalahkan otak seekor tikus. Saat ini semua kemampuan komputer mengandalkan Artificial Intelligence (AI). AI setara dengan secuil kemampuan otak tikus,” ujar Prof. Dr. Andrivo Rusydi, Guru Besar bidang Material Maju dari National University of Singapore (NUS) saat menjadi narasumber Seminar Nasional Material Maju dan Biofotonika di IPB International Convention Center (IICC), Bogor, (3/9).
Dalam seminar yang digelar oleh Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, Prof. Andrivo mengatakan saat ini belum ada produk elektronik yang made in Indonesia. Itu karena secara histori, Indonesia tidak pernah melakukan riset mendalam tentang ini.
“Maka saya selalu menekankan riset. Bagaimana mengolah sumberdaya alam Indonesia diolah oleh sumberdaya manusia Indonesia. Yang mahal adalah knowledge. Teknologi yang akan kita hadapi adalah the interface. Teknologi ini akan berada pada dua benda yang berbeda, ukurannya nanometer. Semikonduktor yang digunakan pada laptop itu sudah mencapai limitnya sehingga teknologi yang sedang dikembangkan saat ini tidak lagi laptop dengan tampilan horisontal tetapi tampilan vertikal,” ujarnya.
Ia bertutur, di Singapura, kolaborasi antara industri dan perguruan tinggi cukup kuat. Pelaku industri selalu menggandeng ilmuwan dari perguruan tinggi untuk menghasilkan sebuah produk. Oleh karena itu, publikasi sangat penting bagi ilmuwan agar inovasinya mudah dilihat oleh pihak industri.
Senada dengan Prof. Andrivo, Ir. Sony Sulaksono, M.Bs selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Industri dan Kekayaan Intelektual Kementerian Perindustrian Republik Indonesia mendorong terbentuknya ekosistem inovasi. Menurutnya selama ini pemerintah dalam hal ini kementerian selalu fokus pada inovasinya, tidak pada ekosistem inovasinya.
“Kami di Puslitbang Teknologi Industri dan Kekayaan Intelektual senantiasa men-support Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang saat ini menjadi panglima dalam menciptakan inovasi. Penting untuk membangun ekosistem inovasi,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar FMIPA IPB, Prof. Husin Alatas menyampaikan bahwa tahun 1000 merupakan milestone dalam ilmu sains. Pada abad 10, Ibn Haytham melakukan scientific method. Setelah itu ada Newton dan J. Maxwell (abad 17), F. Hertz (abad 18), M. Planck dan A. Einstein (abad 19) dan T. Maiman (abad 20).
“Kita hidup di bawah lautan elektromagnetik. Kamera itu awalnya pakai prinsip yang diajukan oleh Ibn Haytham. Teodhore Maiman membuat invensi yaitu ditemukannya laser. Oleh karena itu, rasanya tidak berlebihan jika modern sains dipicu oleh riset tentang cahaya,” ujar Presiden The Indonesian Optical Society (Inos) ini.
Cahaya dalam fisika diperkenalkan pertama kali oleh Einstein yang dikenal dengan foton. Ada “on” karena cahaya yang kita lihat ini punya dua sifat yakni bisa bersifat seperti gelombang tapi juga bisa seperti kelereng atau partikel yang bisa bertumbukan. Foton ini bisa bertumbukan dengan partikel lain. Contohnya terjadi tumbukan antara cahaya (foton) dengan elektron. Hal ini mengubah wajah peradapan manusia dalam kurun waktu 100 tahun ini.
Manipulasi aliran foton dalam disiplin material saat ini lazim dinamakan sebagai fotonik. Posisi foton sama dengan elektron pada disiplin eletromagnetik. Interaksi foton dengan material biologi atau pemanfaatan foton dalam bidang biologi dan kedokteran, melahirkan disiplin biofotonika. Perkembangan biofotonik sangat pesat dalam beberapa dekade belakangan ini. Ini akibat berkembangnya teknologi laser dan pemandu gelombang berbasiskan material dielektrik.
Artificial photosynthesis, optical coherence tomography (OCT) dan fluorescence resonance energy transfer (FRET) merupakan contoh perkembangan terkini (bio)fotonik yang memiliki prospek pemanfaatan yang luas di berbagai bidang.
“Kita tidak sadar bahwa hidup kita sudah tergantung optik dan fotonik. Ada wireless charging tanpa kabel. All magical thing. Intinya adalah pada manipulasi cahaya dengan material. Jika orang-orang jaman dulu bisa melihat teknologi saat ini, mungkin mereka akan menyebut ini adalah “sihir”, ” ujarnya.
Menurutnya pesatnya perkembangan ilmu optik dan fotonik belum diimbangi dengan pertumbuhan jumlah ilmuwannya. Sebagai contoh, saat ini hanya 80 anggota yang tergabung dalam Inos. “Jumlah ini amat sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah ilmuwan serupa di Singapura dan Jerman,” ujarnya.
Indonesia saat ini masih menjadi follower dan akan selalu menjadi follower karena negara belum menjadikan riset dasar sebagai prioritas. Menurutnya Indonesia akan kehilangan most talented young scientist yang akan pergi ke negara lain.
Seminar ini menjadi forum bagi 200 peserta dalam menyampaikan perkembangan riset bidang material maju dan biofotonika dalam mempercepat tumbuhnya inovasi teknologi. Inovasi riset yang aplikatif dan terapan serta strategis harus mendapatkan perhatian khusus.
Penggunaan serat alami untuk rekayasa material komposit mendapatkan perhatian besar dalam dekade terakhir. Salah satu contohnya adalah penelitian Biokomposit Helm (GC Helmet) yang dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDKS). GC Helmet ini di scale up oleh PT. Interstisi Material Maju (IMM) untuk proses market. Produk GC Helmet adalah helm yang ramah lingkungan dan baru pertama kali ada di Indonesia. GC Helmet mampu menyerap energi tumbukan, tahan benturan dan ringan. GC Helmet ini merupakan inovasi Dr. Siti Nikmatin, peneliti dari Departemen Fisika FMIPA IPB.
Dr. Siti Nikmatin memanfaatkan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) menjadi serat dengan berbagai macam ukuran (panjang, pendek, mikro dan makro). Serat ini menjadi bahan baku filler polimer pembuatan helm.
Inovasi ini berhasil mendapatkan penghargaan berupa Anugerah Inovasi Jawa Barat 2016 dan Gubernur Jawa Barat tingkat Provinsi kategori Lingkungan Hidup, 108 Inovasi Indonesia 2016 dari Business Innovation Center (BIC) tingkat nasional kategori Material Maju, Juara I Gelar Inovasi Daerah Kabupaten Bogor 2017, 10 Start Up Unggulan Terobosan Inovasi Indonesia 2017 Kemenristekdikti dan Awardee UN Environment’s Asia Pasific Low Carbon Lifestyle Challenge. (Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
“Dari semua kecerdasan yang berhasil dilakukan oleh komputer, belum ada komputer yang bisa mengalahkan otak seekor tikus. Saat ini semua kemampuan komputer mengandalkan Artificial Intelligence (AI). AI setara dengan secuil kemampuan otak tikus,” ujar Prof. Dr. Andrivo Rusydi, Guru Besar bidang Material Maju dari National University of Singapore (NUS) saat menjadi narasumber Seminar Nasional Material Maju dan Biofotonika di IPB International Convention Center (IICC), Bogor, (3/9).
Dalam seminar yang digelar oleh Departemen Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Pertanian Bogor (IPB) ini, Prof. Andrivo mengatakan saat ini belum ada produk elektronik yang made in Indonesia. Itu karena secara histori, Indonesia tidak pernah melakukan riset mendalam tentang ini.
“Maka saya selalu menekankan riset. Bagaimana mengolah sumberdaya alam Indonesia diolah oleh sumberdaya manusia Indonesia. Yang mahal adalah knowledge. Teknologi yang akan kita hadapi adalah the interface. Teknologi ini akan berada pada dua benda yang berbeda, ukurannya nanometer. Semikonduktor yang digunakan pada laptop itu sudah mencapai limitnya sehingga teknologi yang sedang dikembangkan saat ini tidak lagi laptop dengan tampilan horisontal tetapi tampilan vertikal,” ujarnya.
Ia bertutur, di Singapura, kolaborasi antara industri dan perguruan tinggi cukup kuat. Pelaku industri selalu menggandeng ilmuwan dari perguruan tinggi untuk menghasilkan sebuah produk. Oleh karena itu, publikasi sangat penting bagi ilmuwan agar inovasinya mudah dilihat oleh pihak industri.
Senada dengan Prof. Andrivo, Ir. Sony Sulaksono, M.Bs selaku Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Industri dan Kekayaan Intelektual Kementerian Perindustrian Republik Indonesia mendorong terbentuknya ekosistem inovasi. Menurutnya selama ini pemerintah dalam hal ini kementerian selalu fokus pada inovasinya, tidak pada ekosistem inovasinya.
“Kami di Puslitbang Teknologi Industri dan Kekayaan Intelektual senantiasa men-support Kementerian Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang saat ini menjadi panglima dalam menciptakan inovasi. Penting untuk membangun ekosistem inovasi,” ujarnya.
Sementara itu, Guru Besar FMIPA IPB, Prof. Husin Alatas menyampaikan bahwa tahun 1000 merupakan milestone dalam ilmu sains. Pada abad 10, Ibn Haytham melakukan scientific method. Setelah itu ada Newton dan J. Maxwell (abad 17), F. Hertz (abad 18), M. Planck dan A. Einstein (abad 19) dan T. Maiman (abad 20).
“Kita hidup di bawah lautan elektromagnetik. Kamera itu awalnya pakai prinsip yang diajukan oleh Ibn Haytham. Teodhore Maiman membuat invensi yaitu ditemukannya laser. Oleh karena itu, rasanya tidak berlebihan jika modern sains dipicu oleh riset tentang cahaya,” ujar Presiden The Indonesian Optical Society (Inos) ini.
Cahaya dalam fisika diperkenalkan pertama kali oleh Einstein yang dikenal dengan foton. Ada “on” karena cahaya yang kita lihat ini punya dua sifat yakni bisa bersifat seperti gelombang tapi juga bisa seperti kelereng atau partikel yang bisa bertumbukan. Foton ini bisa bertumbukan dengan partikel lain. Contohnya terjadi tumbukan antara cahaya (foton) dengan elektron. Hal ini mengubah wajah peradapan manusia dalam kurun waktu 100 tahun ini.
Manipulasi aliran foton dalam disiplin material saat ini lazim dinamakan sebagai fotonik. Posisi foton sama dengan elektron pada disiplin eletromagnetik. Interaksi foton dengan material biologi atau pemanfaatan foton dalam bidang biologi dan kedokteran, melahirkan disiplin biofotonika. Perkembangan biofotonik sangat pesat dalam beberapa dekade belakangan ini. Ini akibat berkembangnya teknologi laser dan pemandu gelombang berbasiskan material dielektrik.
Artificial photosynthesis, optical coherence tomography (OCT) dan fluorescence resonance energy transfer (FRET) merupakan contoh perkembangan terkini (bio)fotonik yang memiliki prospek pemanfaatan yang luas di berbagai bidang.
“Kita tidak sadar bahwa hidup kita sudah tergantung optik dan fotonik. Ada wireless charging tanpa kabel. All magical thing. Intinya adalah pada manipulasi cahaya dengan material. Jika orang-orang jaman dulu bisa melihat teknologi saat ini, mungkin mereka akan menyebut ini adalah “sihir”, ” ujarnya.
Menurutnya pesatnya perkembangan ilmu optik dan fotonik belum diimbangi dengan pertumbuhan jumlah ilmuwannya. Sebagai contoh, saat ini hanya 80 anggota yang tergabung dalam Inos. “Jumlah ini amat sangat minim jika dibandingkan dengan jumlah ilmuwan serupa di Singapura dan Jerman,” ujarnya.
Indonesia saat ini masih menjadi follower dan akan selalu menjadi follower karena negara belum menjadikan riset dasar sebagai prioritas. Menurutnya Indonesia akan kehilangan most talented young scientist yang akan pergi ke negara lain.
Seminar ini menjadi forum bagi 200 peserta dalam menyampaikan perkembangan riset bidang material maju dan biofotonika dalam mempercepat tumbuhnya inovasi teknologi. Inovasi riset yang aplikatif dan terapan serta strategis harus mendapatkan perhatian khusus.
Penggunaan serat alami untuk rekayasa material komposit mendapatkan perhatian besar dalam dekade terakhir. Salah satu contohnya adalah penelitian Biokomposit Helm (GC Helmet) yang dibiayai oleh Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDKS). GC Helmet ini di scale up oleh PT. Interstisi Material Maju (IMM) untuk proses market. Produk GC Helmet adalah helm yang ramah lingkungan dan baru pertama kali ada di Indonesia. GC Helmet mampu menyerap energi tumbukan, tahan benturan dan ringan. GC Helmet ini merupakan inovasi Dr. Siti Nikmatin, peneliti dari Departemen Fisika FMIPA IPB.
Dr. Siti Nikmatin memanfaatkan Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) menjadi serat dengan berbagai macam ukuran (panjang, pendek, mikro dan makro). Serat ini menjadi bahan baku filler polimer pembuatan helm.
Inovasi ini berhasil mendapatkan penghargaan berupa Anugerah Inovasi Jawa Barat 2016 dan Gubernur Jawa Barat tingkat Provinsi kategori Lingkungan Hidup, 108 Inovasi Indonesia 2016 dari Business Innovation Center (BIC) tingkat nasional kategori Material Maju, Juara I Gelar Inovasi Daerah Kabupaten Bogor 2017, 10 Start Up Unggulan Terobosan Inovasi Indonesia 2017 Kemenristekdikti dan Awardee UN Environment’s Asia Pasific Low Carbon Lifestyle Challenge. (Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018