Pada 21 Agustus 2025, gempa berkekuatan 4,9 SR mengguncang wilayah Bekasi dan sekitarnya. Meski tergolong dangkal dan tidak menimbulkan korban jiwa, guncangannya terasa nyata di rumah-rumah, memicu kepanikan, dan sempat menghentikan layanan transportasi.
Hanya berselang 10 hari kemudian, gempa berkekuatan 6,0 SR melanda Afghanistan, menewaskan lebih dari 1.400 orang dan melukai ribuan lainnya.
Kedua peristiwa ini mengingatkan bahwa gempa datang tanpa peringatan. Dampaknya sangat bergantung pada kesiapsiagaan masyarakat serta kualitas infrastruktur.
Gempa bukan sekadar besaran angka magnitudo. Gempa wujud ujian terhadap sistem peringatan dini, respons kolektif, dan ketangguhan sosial.
Di Indonesia, ribuan gempa terjadi setiap tahun. Pertanyaan yang mendesak bukan lagi “apakah akan terjadi gempa?” melainkan “apakah kita siap saat gempa terjadi?”
Kajian dari Pusat Studi Gempa Nasional (PUSGEN) mengidentifikasi lebih dari 295 sesar aktif di seluruh Indonesia, termasuk yang melintas di wilayah urban seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Dalam Webinar Talk to Scientists (4 April, 2024), BRIN menyatakan telah ditemukan lebih dari 100 sesar baru sehingga total patahan aktif di Indonesia menjadi 400 lebih. Temuan ini menegaskan bahwa ancaman gempa tidak hanya dari zona megathrust di laut, tetapi juga dari patahan darat yang dekat dengan permukiman. Sistem peringatan dini gempa semestinya mampu menjangkau skenario gempa lokal yang memiliki waktu respons jauh lebih pendek.
Ketika gempa besar mengguncang Mexico City, sirine peringatan berbunyi hingga 60 detik sebelum guncangan utama tiba, memungkinkan evakuasi massal di sekolah dan gedung tinggi. Amerika Serikat juga mengembangkan sistem ShakeAlert di wilayah rawan gempa seperti California dan Oregon. Sistem ini terintegrasi dengan aplikasi ponsel dan sistem transportasi, dan terus diperluas cakupannya.
Kini, Indonesia, merealisasikan langkah tersebut melalui Program Pengembangan E2E EEWRS SATREPS 2025 sd 2030.
Gempa adalah fenomena alam yang tak bisa dicegah. Ia terjadi karena pergerakan lempeng bumi yang berada jauh di bawah kendali manusia. Dampak kerusakan, korban jiwa, kepanikan massal tak terelakkan. Namun demikian, dampak itu bisa dikurangi, bahkan dicegah, jika tahu lebih awal dan harus berbuat apa.
Sistem ini bekerja dengan memanfaatkan dua karakteristik fisik gelombang gempa. Pertama, Gelombang Primer (P-wave), karena kecepatannya tinggi (sekitar 6-8 km/detik), tiba lebih awal, dan tidak merusak. Yang kedua, Gelombang Sekunder (S-wave), merambat dengan kecepatan lebih lambat (sekitar 3-4 km/detik), namun merusak.
Selisih waktu antara kedua gelombang ini berkisar antara 5 hingga 30 detik, tergantung jarak dari pusat gempa, dikenal sebagai golden period. Periode waktu emas (golden period) inilah yang dimanfaatkan oleh sistem peringatan dini untuk mengirim sinyal peringatan dini ke masyarakat sebelum guncangan yang merusak tiba dan dirasakan dalam bentuk guncangan yang merusak.
Kepala BMKG, dalam beberapa kesempatan, mengatakan: “Gempa tidak membunuh dan melukai. Justru, bangunanlah yang membunuh dan melukai manusia.” Pernyataan ini mengingatkan bahwa korban jiwa bukan semata akibat guncangan, melainkan akibat runtuhnya bangunan yang tidak tahan gempa. Sementara. respon manusia tidak siap. Ketidaktahuan, kepanikan, dan minimnya edukasi membuat dampak gempa jauh lebih besar dari seharusnya.
Namun, implementasinya masih belum merata, terutama di wilayah padat penduduk dan zona rawan. Sistem peringatan dini hanya efektif jika bangunan mampu memberi waktu dan ruang untuk evakuasi. Tanpa struktur yang dirancang untuk menahan guncangan, peringatan dini bisa menjadi informasi tanpa perlindungan.
Dengan demikian, secara prinsip terdapat dua hal yang sangat menentukan dampak gempa, terutama jumlah korban dan kerusakan.
Pertama, respon individu yang sadar dan terlatih. Peringatan dini hanya berguna jika individu tahu apa yang harus dilakukan. Berlindung di bawah meja, menjauh dari jendela, mematikan kompor, atau keluar dari bangunan jika memungkinkan, semua ini harus dilakukan secara refleks dan cepat.
Tanpa latihan dan edukasi, waktu emas bisa terbuang dalam kepanikan. Oleh karenanya keselamatan bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal kesiapan mental dan kebiasaan yang terbangun.
Kedua, perlindungan fisik dari infrastruktur yang tahan-gempa. Bangunan yang dirancang dengan prinsip tahan-gempa tidak hanya mencegah runtuhnya struktur, tetapi juga memberi “perlindungan ruang dan waktu” bagi individu di dalamnya.
Bahkan jika pun bangunan mengalami kerusakan, desain yang baik memungkinkan struktur tetap berdiri cukup lama untuk memungkinkan evakuasi. Gempa tidak membunuh, tetapi bangunan yang runtuh dan perilaku yang tidak siap berkontribusi besar terhadap jumlah korban jiwa.
Andi Eka Sakya *) adalah periset pada Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Editor :
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2025