Bogor (Antaranews Megapolitan) - Komisi Nasional Pengendalian Tembakau menilai dukungan terhadap gerakan rokok harus mahal semakin menguat, baik dari kalangan masyarakat anti rokok, maupun perokok, dan juga birokrasi.

"Dukungan ini terus menguat, kita mendapat dukungan dari 1.000 perempuan yang mendukung kampanye rokok harus mahal bulan April lalu," kata Project Direktor Komnas PT, Tari Menayang di sela-sela diskusi publik di Kota Bogor, Jawa Barat, Senin.

Tidak hanya itu, lanjut Tari, dukungan berupa petisi melalui laman?changes.org yang dibuat oleh Komnas PT juga terus bertambah. Lebih dari 15 ribu dukungan, dan terus bertambah setiap harinya. Selain itu juga, 52 tokoh perempuan ikut mendukung gerakan tersebut.

Tari mengatakan, sejak awal tahun Komnas PT telah bergerak tidak hanya ke masyarakat, tetapi juga melalui pemangku kebijakan untuk meminta harga rokok dinaikkan secara signifikan.

Upaya tersebut direspon baik, dan rencana pemerintah menaikkan cukai serta harga rokok tahun 2017, walau kenaikannya tidak siginifikan hanya Rp 50 rupiah perbatang.

Selain gerakan massa, dan diskusi publik, lanjut Tari, Komnas PT juga sudah bertemu langsung dengan pengambil kebijakan, bertemu beberapa menteri, kepala staf kepresidenan, Menkes dan menteri PPPA.

"Pada dasarnya mereka menerima masukan-masukan dari kami dan akan diteruskan, tetapi kebijakan untuk menaikkan harga rokok ini juga harus diputuskan oleh menteri koordinatornya," kata Tari.

Menaikkan harga rokok menjadi tidak terjangkau, dinilai sebagai salah satu instrumen paling efektif dalam mengurangi jumlah perokok aktif, maupun perokok anak di Indonesia.

WHO menyatakan, prevalensi perokok di Indonesia sangat tinggi, diperkirakan 39 persen pada tahun 2015. Prevalensi perokok anak di Indonesia juga menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat.

"Berdasarkan data Sirkesnas 2016, dari 7,2 persen tahun 2013, menjadi 8,8 persen di tahun 2016," katanya.

Fakta lainnya, sebanyak 75,7 persen perokok mulai merokok sebelum usia mereka 19 tahun, jumlahnya mencapai 16,4 juta dan paling tinggi adalah kelompok usia 15 sampai 19 tahun.

"Namun, kecenderungan ini mulai bergeser ke usia lebih mudah yakni kelompok usia 10 sampai 14 tahun, dalam kurun waktu 10 tahun ini, trennya meningkat dua kali lipat," kata Tari.

Tari menambahkan, semakin menguatnya dukungan masyarakat, bahkan dari perokok terhadap kenaikan harga rokok, kebijakan ini tinggal menunggu `political will` dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Harga rokok harus naik sesuai undang-undang yakni 57 persen.

"Pemerintah jangan ragu-ragu, jangan galau. Harus langsung dan tegas, rokok harus mahal, naiknya jangan kecil, mentokkan sesuai undang-undang 57 persen, dan harus di atas inflasi supaya jadi tidak terjangkau," kata Tari.

Rendahnya harga rokok, menjadi terjangkau untuk anak. Bahkan 19,63 persen penduduk miskin Indonesia adalah perokok (penelitian UI tahun 2017).

Peneliti dari Pusat Kajian Jaminan Sosial Univesitas Indonesian (PKJS-UI), Renny Nurhasan memaparkan hasil penelitian terkait rokok pemicu stunting atau gagal tumbuh pada anak.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan, rata-rata, tinggi anak yang lahir pada keluarga perokok lebih rendah 0,34 cm dan berat badannya lebih rendah 1,5 kg dibandingkan keluarga non-perokok.

Menurutnya, hal ini disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor langsung konsumsi rokok yang dilakukan oleh orang tua anak stunting dan faktor tidak langsung akibat belanja rokok yang menyebabkan berkurangmya asupan gizi keluarga terutama pada anak yang sedang dalam masa pertumbuhan.?

"Hak-hak anak mendapat nutrisi bergizi sebagai kebutuhan dasar lainnya seperti investasi bidang pendidikan, dan kesehtan harus dipenuhi dan tidak boleh disubtitusi oleh pengeluaran rokok," kata Renny.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018