Bogor (Antaranews Megapolitan) - Guru besar tetap Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, Prof Ahmad Sulaeman mengatakan, mengkonsumsi jajanan olahan keong sawah atau Tutut yang dijajakan pinggir jalan cukup beresiko, sebaiknya dikurangi agar terhindar dari potensi keracunan.

"Sekarang ini memang agak susah mendapatkan tutut, jangan sembarangan makan tutut, kalau bisa carilan tutut dari persawahan organik, dan airnya sudah terjaga sumbernya," kata Ahmad, kepada Antara, di Bogor, Minggu.

Peristiwa keracunan Tutut sempat heboh terjadi di Kota Bogor bulan Mei lalu, puluhan warga di Kecamatan Bogor Utara mengalami gejala keracunan, hingga Pemerintah setempat menetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).

Menyusul Juli lalu, warga di Kabupaten Sukabumi juga dilaporkan mengalami gejala keracunan usai mengkonsumsi tutut.

Menurut Ahmad, keracunan tersebut ada dua kemungkinan, bisa dikarenakan air yang tercemar bakteri, atau tercemar logam berat seperti resido pestisida tempat Tutut itu berasal.

Ia mengatakan, jika bakteri dapat diatasi dengan cara masak yang menggunakan api cukup. Sedangkan logam berat atau residu pestisida tidak bisa diatasi.

"Dengan proses memasak yang cukuppun residu tetap ada di situ," kata ahli Gizi ini.

Kandungan mangan yang terbukti ada di dalam sampel air Tutut yang dikonsumsi oleh warga di Kecamatan Bogor Utara, menurut Ahmad boleh dikonsumsi dengan batas maksimal, karena tidak esensial, sehingga jumlahnya tidak boleh banyak.

Hanya saja, lanjutnya, tutut yang hidup di areal sawah, tidak terbebas dari pestisida. Kalaupun bebas dari pestisida, sumber air tempat hidupnya juga belum terjamin sumbernya.

"Banyak pencemaran penyebabnya, jadi tutut tidak hanya sumber air yang digunakan memasaknya, tapi asal lingkungan tempat asalnya," katanya"

Menurutnya, agar aman mengkonsumsi pangan kaya protein itu, maka sebaiknya mencari tutut yang berasal dari persawahan organik. Dan sumber air yang terjaga.

Ia mencontohkan sawah-sawah yang ada di wilayah Leuwiliang, Kabupaten Bogor, masih bagus, karena lokasinya yang terisolir sehingga lingkungannya baik untuk tutut.

Jika sulit memperoleh tutut organik, lanjutnya, masyarakat dapat melakukan perlakukan seperti membeli tutut dalam keadaan hidup atau belum diolah. Sama seperti lele, yang hidup di daerah kotor, agar kotorannya tidak terbawa saat dikonsumsi, lele disimpan dulu selama beberpa hari di tempat yang bersih sebelum diolah.

"Jangan membeli tutut yang sudah matang, sebaiknya beli dalam kondisi mentah, lalu disimpan dulu di air yang bersih selama beberapa hari untuk mengeluarkan kotoran dan segala macamnya," kata dia.

Menurutnya, perlakuan ini juga bisa dilakukan kepada ayam yang akan dikonsumsi sebaiknya dipelihara dulu selama beberapa hari, maka selama proses itu, supaya mengeluarkan residu yang ada di dalam tubuhnya seperti antibiotik.

"Sama seperti kita makan sayuran yang bebas pestisda, atau ayam dikasih antibiotik, jadi ditunggu dulu sebelum dimasak, supaya beberapa lama akan keluar residunya," katanya.

Ahmad mengemukakan, mengonsumsi tutut sangat bagus, bahkan bisa mengobati penyakit berkaitan dengan pencernaan. Tutut atau keong sawah mengandung protein dan zat aktif lainnya.

"Tutut itu sumber protein yang bagus. Anak saya bertahun-tahun mengonsumsi tutut karena ada penyakit pencernaan, kita membuat jadi sate, dibakar, akhirnya sembuh," kata Ahmad.

Tidak hanya itu, lanjutnya, selama masa kuliah, ia memperoleh asupan protein dari mengonsumsi tutut serta belut.

"Kalau ngak makan tutut dan belut saya akan kekurangan protein. Bahkan mahasiswa saya penelitiannya membuat sosis dari tutut," kata Ahmad.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018