Bogor (Antaranews Megapolitan) - Tiga unit kerja di Institut Pertanian Bogor (IPB) yaitu, Direktorat Program Internasional, Departemen Geofisika dan Meteorologi, serta Center for Transdisciplinary & Sustainability Sciences (CTSS)  menggelar The 11th IPB Talks on Complexity and Sustainability Sciences dengan tema “Land Use Change, Water, And Drought”. Bertempat di Gedung Sekolah Pascasarjana Kampus IPB Dramaga, Bogor (10/7), seminar ini dihadiri oleh sekira 25 audiens dengan latar belakang keilmuan yang beragam.

Hadir sebagai narasumber Dr. Henny A.J Van Lanen yang merupakan Associate Professor dari Wageningen University and Research (WUR) dan Dr. Suria Darma Tarigan yang merupakan Associate Professor Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB dan juga perwakilan dari IPB CTSS serta moderator Dr. Tania June yang merupakan Associate Professor dari Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB.

Bertujuan untuk menyadarkan dampak yang diakibatkan oleh kekeringan, Dr. Henny memaparkan tentang betapa seriusnya ancaman kekeringan yang sedang melanda bumi.

“Kekeringan merupakan bencana multi-bahaya. Krisis air merupakan ancaman serius yang menempati peringkat kedua untuk sepuluh risiko global dalam hal bencana yang paling memungkinkan untuk terjadi dan peringkat pertama dalam daftar sepuluh risiko global terkait dampak yang diakibatkan”, ujar Dr. Henny.

Dr. Henny menambahkan permasalahan kekeringan kini ditanggapi serius oleh pemerintah di banyak negara melebihi isu senjata nuklir, penyakit global, siklus banjir dan polusi air. Cape Town, salah satu kota di Afrika Selatan mengalami bencana kekeringan yang dibuktikan dengan menurunnya persediaan air secara drastis tiap tahunnya. Data terakhir bulan Januari 2018 menyatakan bahwa Cape Town hanya memiliki sekitar 300 Giga Liter air.

“Kekeringan yang diproyeksikan pada tahun 2100 oleh Wander et al (ESD, 2015) memperlihatkan akan semakin buruknya dampak yang diakibatkan jika tidak ada tindakan adaptasi dan mitigasi sebelum seluruh benua akan mengalami kekeringan. Tidak hanya dampak secara ekologi lingkungan yang dihasilkan, namun juga aktivitas manusia akan sangat terganggu dengan adanya bencana ini,” kata Dr Henny.

Hal yang sama disampaikan oleh Dr. Suria, sebagai salah satu negara tropis dengan luasnya wilayah hutan dan keanekaragaman hayati, tidak selamanya menjadikan Indonesia aman dari ancaman kekeringan. Fenomena krisis air di beberapa wilayah di Indonesia khususnya Pulau Jawa setiap tahun semakin meningkat. Hal ini ditunjukkan dari semakin tingginya penggunaan air yang tidak sejalan dengan persediaan yang ada.

“Beberapa daerah yang terkategori rawan krisis yaitu Bengawan Solo, Kali Brantas, Karimun dan beberapa wilayah lainnya. Tingkat rawan kekeringan pulau Jawa sudah berada pada tahap garis merah atau indeks penggunaan airnya telah melebihi 50 persen. Hal ini tentu menjadi sangat mengkhawatirkan,” kata Dr. Suria.

Ia menambahkan tidak hanya berdampak buruk terhadap menipisnya persediaan air bagi manusia, kekeringan juga mengakibatkan keringnya lahan-lahan pertanian dan penampungan air untuk pembangkit listrik tenaga air yang berada di daerah-daerah. Hal ini secara tidak langsung berdampak kepada hilangnya pasokan pangan dan listrik bagi masyarakat luas.

Dr. Suria berharap pengelolaan sumber daya air di masa depan harus lebih menekankan pada pendekatan transdisipliner seperti pengetahuan lokal, pengetahuan yang mengaitkan ilmu sains dengan masyarakat dan lain-lain. Diskusi ini kian kaya dengan pemaparan para narasumber laninnya. (FI/Zul)

Pewarta: Oleh: Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018