Bogor (Antaranews Megapolitan) - Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia Prof KH Didin Hafidhuddin mengatakan "Bogor Message" (Pesan Bogor), yang akan dihasilkan dalam Konsultasi Tingkat Tinggi tentang Islam Wasathiyah dapat menjadikan Indonesia sebagai rujukan  keberagaman.

"Indonesia menggaungkan Islam Wasathiyah, karena ada contoh praktik keberagaman yang terjadi di Indonesia. Di Negara lain agak susah itu Kristen berdampingan dengan Islam. Hanya ada di Indonesia," kata Didin kepada Antara di Bogor, Selasa.

Praktik keberagaman terlihat, walau Indonesia tidak terlalu menonjol dibanding negara di Timur Tengah dalam hal mazhab. Tetapi konsep Islam Wasathiyah tersebut ada di Indonesia.

Contohnya, walau sebagian besar mazhab yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah mazhab Syafi'i, tetapi dalam hal ibadah di masjid, ada yang melaksanakan shalat subuh dengan qunut dan ada juga yang tidak. Bahkan ketika Shalat Taraweh, ada yang mengerjakan delapan rakaat ada juga lebih dari 11 rakaat.

"Indonesia embrio sebuah bangsa moderat (wasathiyah) yang teorinya diperkuat dari jalan yang didapat dalam Alquran dan Hadist," kata mantan Ketua Umum Baznas ini.

Baca: 100 Ulama bahas Islam "wasathiyah" di Bogor
Baca: KH Didin: Indonesia embrio kelahiran bangsa moderat

Menurut Didin, Islam Wasathiyah adalah Islam yang moderat mengedepankan toleransi (Tasamuh), mengedepankan aspek-aspek keberagaman, kejamaah, yang dapat dirasakan oleh semua umat.

"Saya lihat arahnya ke situ Islam wasathiyah itu tidak keras, menaungi semua kelompok, dan itu yang digaungkan oleh Indonesia melalui MUI," kata Didin yang kini menjabat Direktur Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun (UIKA) Bogor.  

Islam wasathiyah juga dijelaskan dalam Alquran Surah Albaqarah ayat 143. Bahwa umat Islam sebagai umat pertengahan yang keberadaannya dibutuhkan supaya tidak terjadi konflik. Konflik yang disebabkan oleh paham radikalisme, baik radikalisme agama, maupun radikalisme sekuler.

Faham radikalisme agama dan sekuler, menurut Didin, sama-sama berbahaya karena menyebabkan tidak terciptanya persatuan dan kesatuan di dunia. Radikalisme agama menghadirkan kekerasan atas nama agama, sedangkan radikalisme sekuler menghadirkan kekerasan supaya agama tidak berperan dalam kehidupan.

Ulama dan cendekiawan asal Bogor ini mengatakan, Indonesia diharapkan oleh sejumlah negara-negara Islam menjadi pemimpin dalam menyiarkan Islam Wasathiyah, termasuk menjadi harapan bagi Palestina. Hal ini dibahas dalam pertemuan di Istambul, Turky.

"Indonesia diharapkan jadi pemimpin Islam Wasathiyah, menjadi harapan untuk Palestina, walau peyelesaian Palestina dengan segala macam pendekatan belum selesai juga," kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB).

Baca: Tidak ada negara Palestina tanpa Jalur Gaza

Menggaungkan Islam wasathiyah lanjutnya, Indonesia dapat menjadi rujukan masalah keberagaman di dunia.

"Indonesia sudah memperlihatkan itu masyarakat yang sudah terbiasa berbeda, dan saling menghargai. Ini tradisi yang dianggap luar biasa oleh negara-negara luar," kata Didin.

Didin menambahkan toleransi yang dimaksudkan dalam konsep Islam Wasathiya bukan mempersatukan perbedaan, tetapi menghargai perbedaan. Terutama dalam urusan ibadah, dan akidah tidak boleh disatukan. Tetapi bagaimana perbedaan tersebut ada harus dihargai.

KTT Islam Wasathiyah dihadiri sekitar 100 tokoh, ulama dan cendekiawan muslim dunia. Mereka yang hadir tidak hanya dari negara-negara anggota OKI tetapi juga berbagai negara lainnya, seperti Australia, Amerika, Kanada, Jepang, presiden dari Korea Muslim Federation, dan presiden China Islam Assosiation (CIA).

Pertemuan ini akan menghasilkan satu pesan "Bogor Message" yang akan disepakati oleh ratusan tokoh ulama, dan cendekiawan dari berbagai negara yang hadir di KTT Islam Wasathiyah. 

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : M.Ali Khumaini


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018