Jakarta (Antaranews Megapolitan) - Pengamat bidang intelijen yang juga kandidat doktor di Universitas Indonesia Stepi Anriani menawarkan pendekatan intelijen agar peserta pilkada tidak melakukan upaya instan dengan politik uang.

"Banyak calon-calon pemimpin berkualitas, berintegritas, seperti aktivis muda tidak bisa berpartipisasi karena mereka tidak punya uang akibat politik uang ini," kata pengajar Sekolah Manajemen Analisis Intelijen (SMAI) itu di Jakarta, Rabu.

Tawaran pendekatan intelijen itu disampaikan Stepi Anriani, yang pada Selasa (3/4) di Jakarta, meluncurkan buku berjudul "Intelijen & Pilkada: Pendekatan Strategis Dalam Menghadapi Pemilu".

Peluncuran sekaligus bedah buku itu menghadirkan tiga pembahas, yakni Menteri Pertahanan (Menhan) 2000-2001 Kabinet Persatuan Nasional pada pemerintahan Presiden Abdurrahman "Gus Dur" Wahid, dosen ilmu komunikasi Universitas Indonesia Effendi Ghazali dan komisioner KPU periode 2012-2017 Dr Ferry Kurnia Rizkiyansyah.

Biaya yang tinggi untuk mengikuti pilkada, menurut Stepi, membuat kalangan yang berpotensi menjadi pemimpin daerah yang berkualitas tidak bisa ikut berkompetisi.

"Jika tidak punya uang tidak mungkin bisa maju," katanya menegaskan.

Ia kemudian merujuk yang pernah disampaikan

Menteri Dalam Negeri 2009-2014 era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa pada pilkada di Jatim, satu orang kandidat sekurangnya harus mempunyai biaya Rp1 triliun.

Karena itulah, ia kemudian menawarkan pendekatan intelijen itu sebagai sebuah solusi agar kandidat dan tim suksesnya tidak memilih pendekatan politik.

"Itu memang tidak mudah, namun kita mesti melakukan upaya agar politik uang tidak dipilih," kata Sekjen Lembaga Penelitian dan Kajian Masalah Keamanan Nasional Democracy-Integrity and Peace (DIP) Centre itu.

Ia menawarkan pula dukungan politik -- agar tidak selalu menggunakan biaya tinggi -- bisa dilakukan dengan yang disebutnya "pendekatan jaringan" melalui "soft skill".

Ditegaskannya bahwa intelijen dan politik adalah hal yang tidak dapat dipisahkan.

Politik sebagai cara-cara mendapatkan kekuasaan, merebut atau mempertahankan kekuasaan, sementara intelijen merupakan rangkaian kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencapai dan merebut kekuasaan itu sendiri.

Pemikiran yang dicuatkan dalam bukunya itu mengenalkan intelijen tidak sebagai praktik yang dikenal masyrakat sebagai menakutkan, namun berupa produk informasi, pengetahuan, produk, kegiatan, proses, organisasi, dan profesi.

Mahfud MD dalam kesempatan diskusi menyatakan bahwa hampir tidak ada pelaksanaan pilkada yang tidak curang.

Karena itu, ia menyambut positif pendekatan yang ditawarkan Stepi Anriani itu sebagai upaya mengurangi politik uang dalam pilkada maupun pemilu lainnya.

Mahfud dalam komentar di dalam buku itu juga menukil bhawa orang awam kerap kali memandang kegiatan intelijen menakutkan karena sering dilihat dan diopinikan sebagai instrumen kekerasan politik oleh negara terhadap rakyatnya.

Padahal intelijen adalah instrumen negara untuk menjaga eksistensi dirinya agar beradaulat, aman, dan nyaman dihuni oleh rakyatnya.

Melalui buku ini, Stepi menyajikan kajian akademis-ilmiahnya bahwa intelijen bukanlah aktivitas kejahatan oleh alat negara, melainkan bidang ilmu yang bisa dimanfaatkan demi kebaikan oleh siapa pun.

Bahkan melalui buku intelijen dan pilkada ini Stepi menawarkan intelijen sebagai alat dan cara untuk memenangkan kontes dalam pilkada.

Stepi berhasi menulis buku ini dengan baik karena selain mempunyai latar belakang akademis yang kuat, ia juga kaya pengalaman di bidang intelijen.

Sedangkan Effendi Ghazali menambahkan bahwa pemikiran dalam buku itu memberikan pemahaman baru tentang dunia intelijen, berupa informasi yang bisa digunakan pada banyak hal, termasuk pilkada.

Ferry Kurnia Rizkiyansyah lebih menyorot tentang persoalan eksternal dalam pemilu, seperti bagaimana peran aparat sipil negara (ASN), TNI dan Polri agar bersikap netral.

(T.A035/B/F006/F006) 04-04-2018 08:37:06

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018