Bogor (Antaranews Megapolitan) - Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) menggelar Focus Group Discussion (FGD) “Membedah Tata Kelola Produksi Pangan Indonesia”. FGD yang bekerja sama dengan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) ini berlangsung di IPB International Convention Center (IICC), Bogor (26/2). Acara yang dibuka secara resmi oleh Wakil Rektor Bidang Sistem Informasi IPB, Prof. Dr. Dodik Ridho Nurrochmat ini dihadiri oleh sejumlah pakar, praktisi, mahasiswa, dan juga unsur pemerintah.
Hadir sejumlah panelis dalam FGD yaitu Guru Besar IPB Prof. Dr. Dwi Andreas Santosa yang memaparkan teknologi produksi dan penanganan pascapanen; Pakar Ekonomi Pertanian dan Wakil Ketua Umum Perhepi, Prof. Dr. Bustanul Arifin yang membahas data beras; serta Guru Besar IPB, Prof. Dr. Muhammad Firdaus, yang berbicara tentang kelembagaan produksi beras.
Prof Dodik menyampaikan, terkait dengan pelaksanaan tata kelola produksi pangan butuh upaya yang lebih, terutama dalam hal perbaikan data. Secara teknis harus diperbaiki bersama metode yang digunakan, siapa yang akan mengambil data. Kedua, implikasi dari kebijakan. Dalam berbagai diskusi masalah perbaikan data tidak mudah implikasinya.
“Data kita memang tidak benar, masalah kebenaran data harus sama-sama kita tegakkan. Kekeliruan data khususnya pangan ini sudah terjadi sejak tahun 1990-an. Saat ini semakin meningkat eksponensial. Kita tidak perlu saling menyalahkan, akan tetapi harus bersinergis sehingga akan semakin baik ke depannya, saling mengisi dan melengkapi. Tujuan untuk kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa Indonesia,” imbuhnya.
Dalam presentasinya, Prof Andreas menyampaikan bahwa saat ini 76,6 persen petani di Indonesia termasuk petani gurem, yaitu petani kecil dengan luas lahan yang kecil. Kesejahteraan petani selama 16 tahun terakhir ini cenderung menurun. Indonesia mengalami stagnasi produksi beras dari tahun ke tahun.
“Tiga urutan teknologi yang paling penting menurut persepsi petani yaitu benih dan teknologi benih, pupuk dan sistem presisi, serta teknologi pengendalian hama dan penyakit. Solusi yang diusulkan yaitu gerakan daulat benih, teknologi pupuk dan pertanian presisi, serta rumah teknologi petani. Gerakan rakyat untuk kedaulatan pangan yaitu mencoba masuk pada segi pemasaran untuk memangkas rantai produksi, yang menjual produk petani kecil,” ujar Prof. Andreas.
Sementara itu, Prof Firdaus menjelaskan, kenaikan harga pangan di Indonesia secara dominan masih disebabkan oleh "kelangkaan persediaan". Untuk banyak kasus, pada bulan-bulan tertentu produksi mengalami kelangkaan termasuk beras (Desember-Januari).
"Persoalan tata niaga beras yaitu jalur distribusi beras masih relatif panjang. Variasi harga di petani masih besar dengan bargaining position yang lemah. Struktur biaya produksi sudah menunjukkan adanya keuntungan dalam berusaha tani padi meskipun tinggi. Struktur biaya distribusi beras menunjukkan marjin yang tidak merata di antara pelaku pasar. Marjin tertinggi ada pada pedagang pengecer. Integrasi pasar antara produsen dengan grosir lebih sehat dibandingkan produsen dengan pengecer. Salah satu masalah yang paling penting di beras yaitu gap harga yang semakin besar," tutur Prof Firdaus.
Karena itu, Prof Firdaus memberikan pandangan perlunya perbaikan dari sisi kelembagaan beras. Salah satu pasal dalam Undang-undang (UU) No. 18/2012: pasal 126 yang berbunyi "Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden."
“Seharusnya sudah terbentuk Badan Pangan untuk Beras pada bulan November 2015. Namun sayang hingga saat ini belum terbentuk,” ujar Prof Firdaus.
Dikatakannya, tugas awal Badan Pangan untuk beras adalah menetapkan angka produksi, konsumsi beras Indonesia; memformulasikan strategi pengelolaan cadangan beras di masyarakat, pemerintah pusat, daerah, dan swasta; menyusun perangkat sistem informasi beras; dan membuat dash-board ketahanan pangan, karena sampai saat ini Indonesia belum mempunyai dash-board ketahanan pangan; mengelola sistem distribusi beras yang berkeadilan; serta regulasi ekspor dan impor. (RJ/nm)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
Hadir sejumlah panelis dalam FGD yaitu Guru Besar IPB Prof. Dr. Dwi Andreas Santosa yang memaparkan teknologi produksi dan penanganan pascapanen; Pakar Ekonomi Pertanian dan Wakil Ketua Umum Perhepi, Prof. Dr. Bustanul Arifin yang membahas data beras; serta Guru Besar IPB, Prof. Dr. Muhammad Firdaus, yang berbicara tentang kelembagaan produksi beras.
Prof Dodik menyampaikan, terkait dengan pelaksanaan tata kelola produksi pangan butuh upaya yang lebih, terutama dalam hal perbaikan data. Secara teknis harus diperbaiki bersama metode yang digunakan, siapa yang akan mengambil data. Kedua, implikasi dari kebijakan. Dalam berbagai diskusi masalah perbaikan data tidak mudah implikasinya.
“Data kita memang tidak benar, masalah kebenaran data harus sama-sama kita tegakkan. Kekeliruan data khususnya pangan ini sudah terjadi sejak tahun 1990-an. Saat ini semakin meningkat eksponensial. Kita tidak perlu saling menyalahkan, akan tetapi harus bersinergis sehingga akan semakin baik ke depannya, saling mengisi dan melengkapi. Tujuan untuk kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran bangsa Indonesia,” imbuhnya.
Dalam presentasinya, Prof Andreas menyampaikan bahwa saat ini 76,6 persen petani di Indonesia termasuk petani gurem, yaitu petani kecil dengan luas lahan yang kecil. Kesejahteraan petani selama 16 tahun terakhir ini cenderung menurun. Indonesia mengalami stagnasi produksi beras dari tahun ke tahun.
“Tiga urutan teknologi yang paling penting menurut persepsi petani yaitu benih dan teknologi benih, pupuk dan sistem presisi, serta teknologi pengendalian hama dan penyakit. Solusi yang diusulkan yaitu gerakan daulat benih, teknologi pupuk dan pertanian presisi, serta rumah teknologi petani. Gerakan rakyat untuk kedaulatan pangan yaitu mencoba masuk pada segi pemasaran untuk memangkas rantai produksi, yang menjual produk petani kecil,” ujar Prof. Andreas.
Sementara itu, Prof Firdaus menjelaskan, kenaikan harga pangan di Indonesia secara dominan masih disebabkan oleh "kelangkaan persediaan". Untuk banyak kasus, pada bulan-bulan tertentu produksi mengalami kelangkaan termasuk beras (Desember-Januari).
"Persoalan tata niaga beras yaitu jalur distribusi beras masih relatif panjang. Variasi harga di petani masih besar dengan bargaining position yang lemah. Struktur biaya produksi sudah menunjukkan adanya keuntungan dalam berusaha tani padi meskipun tinggi. Struktur biaya distribusi beras menunjukkan marjin yang tidak merata di antara pelaku pasar. Marjin tertinggi ada pada pedagang pengecer. Integrasi pasar antara produsen dengan grosir lebih sehat dibandingkan produsen dengan pengecer. Salah satu masalah yang paling penting di beras yaitu gap harga yang semakin besar," tutur Prof Firdaus.
Karena itu, Prof Firdaus memberikan pandangan perlunya perbaikan dari sisi kelembagaan beras. Salah satu pasal dalam Undang-undang (UU) No. 18/2012: pasal 126 yang berbunyi "Dalam hal mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden."
“Seharusnya sudah terbentuk Badan Pangan untuk Beras pada bulan November 2015. Namun sayang hingga saat ini belum terbentuk,” ujar Prof Firdaus.
Dikatakannya, tugas awal Badan Pangan untuk beras adalah menetapkan angka produksi, konsumsi beras Indonesia; memformulasikan strategi pengelolaan cadangan beras di masyarakat, pemerintah pusat, daerah, dan swasta; menyusun perangkat sistem informasi beras; dan membuat dash-board ketahanan pangan, karena sampai saat ini Indonesia belum mempunyai dash-board ketahanan pangan; mengelola sistem distribusi beras yang berkeadilan; serta regulasi ekspor dan impor. (RJ/nm)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018