Naypyidaw (Antaranews Megapolitan/Reuters) - Myanmar akan menindak ternataranya yang terlibat dalam pembunuhan warga Rohingya.
Tindakan akan diambil terhadap 10 anggota pasukan keamanan Myanmar, yang terlibat dalam pembunuhan sejumlah warga Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, kata juru bicara pemerintah setempat pada Minggu.
Pada Jumat, Reuters menyiarkan laporan, yang menjelaskan rangkaian peristiwa terkait pembunuhan terhadap 10 pria Rohingya di desa Inn Din, Rakhine utara, yang jasadnya ditanam di kuburan massal.
Juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, mengatakan bahwa "tindakan berdasarkan atas hukum" akan diambil terhadap tujuh tentara dan tiga polisi serta enam penduduk desa sebagai bagian dari penyelidikan, yang dimulai sebelum laporan Reuters muncul.
"Penangkapan itu terjadi tidak karena berita Reuters. penyelidikan dilakukan sebelum berita tersebut muncul," kata Zaw Htay, yang tidak menjelaskan tindakan yang akan diambil terhadap 16 orang tersebut.
Pada 10 Januari, militer mengatakan bahwa 10 korban Rohingya itu merupakan bagian kelompok beranggotakan 200 "teroris" yang memulai serangan terhadap pasukan keamanan.
Sebagian penduduk desa kemudian menyerang sebagian korban dengan parang sementara tentara menembak korban lainnya.
Versi militer itu berbeda dengan keterangan sejumlah saksi Reuters, baik yang beragama Buddha maupun Islam.
Penduduk desa Buddha mengatakan tidak ada serangan oleh gerilyawan Rohingya terhadap pasukan keamanan di Inn Din. Sementara saksi dari Rohingya mengatakan, kepada Reuters, bahwa para tentara mengambil begitu saja 10 orang dari ratusan pria, perempuan, dan anak-anak yang tengah berlindung mencari aman di pantai terdekat.
Hampir 690.000 warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh sejak Agustus tahun lalu, saat militer melakukan operasi besar untuk memburu pelaku serangan terhadap sejumlah pos penjagaan.
PBB menduga operasi militer itu sebagai genosida.
Penyelidikan Reuters terkait pembunuhan di Inn Din membuat dua wartawan kantor berita tersebut ditangkap.
Wartawan bernama Wa Lone dan Kyaw Soe Oo itu ditahan pada 12 Desember lalu karena diduga mendapatkan dokumen rahasia. Keduanya akan didakwa dengan Undang-Undang Rahasia Negara dengan ancaman hukuman maksimal 14 tahun penjara.
Saat ditanya terkait bukti yang diungkap Reuters, Zaw Htay pada Kamis lalu mengatakan bahwa "kami tidak membantah dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia."
Jika ada "bukti utama yang kuat dan terpercaya" terkait pelanggaran hak asasi manusia, maka pemerintah akan menyelidikinya, kata dia.
Hingga kini pemerintah tidak mengeluarkan pernyataan resmi terkait penyelidikan Reuters.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, mengaku membicarakan penahanan dua wartawan Reuters saat bertemu dengan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, pada Minggu ini.
"Baru saja membicarakan arti penting penyelidikan terhadap kekerasan di Rakhine dengan pejabat Burma dan kepentingan menciptakan keadaan tepat bagi pengungsi Rohingya kembali ke rumah mereka di Rakhine," kata Johnson melalui media gaulnya.
Penerjemah: GM.N.Lintang/B. Soekapdjo.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
Tindakan akan diambil terhadap 10 anggota pasukan keamanan Myanmar, yang terlibat dalam pembunuhan sejumlah warga Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine, kata juru bicara pemerintah setempat pada Minggu.
Pada Jumat, Reuters menyiarkan laporan, yang menjelaskan rangkaian peristiwa terkait pembunuhan terhadap 10 pria Rohingya di desa Inn Din, Rakhine utara, yang jasadnya ditanam di kuburan massal.
Juru bicara pemerintah Myanmar, Zaw Htay, mengatakan bahwa "tindakan berdasarkan atas hukum" akan diambil terhadap tujuh tentara dan tiga polisi serta enam penduduk desa sebagai bagian dari penyelidikan, yang dimulai sebelum laporan Reuters muncul.
"Penangkapan itu terjadi tidak karena berita Reuters. penyelidikan dilakukan sebelum berita tersebut muncul," kata Zaw Htay, yang tidak menjelaskan tindakan yang akan diambil terhadap 16 orang tersebut.
Pada 10 Januari, militer mengatakan bahwa 10 korban Rohingya itu merupakan bagian kelompok beranggotakan 200 "teroris" yang memulai serangan terhadap pasukan keamanan.
Sebagian penduduk desa kemudian menyerang sebagian korban dengan parang sementara tentara menembak korban lainnya.
Versi militer itu berbeda dengan keterangan sejumlah saksi Reuters, baik yang beragama Buddha maupun Islam.
Penduduk desa Buddha mengatakan tidak ada serangan oleh gerilyawan Rohingya terhadap pasukan keamanan di Inn Din. Sementara saksi dari Rohingya mengatakan, kepada Reuters, bahwa para tentara mengambil begitu saja 10 orang dari ratusan pria, perempuan, dan anak-anak yang tengah berlindung mencari aman di pantai terdekat.
Hampir 690.000 warga Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh sejak Agustus tahun lalu, saat militer melakukan operasi besar untuk memburu pelaku serangan terhadap sejumlah pos penjagaan.
PBB menduga operasi militer itu sebagai genosida.
Penyelidikan Reuters terkait pembunuhan di Inn Din membuat dua wartawan kantor berita tersebut ditangkap.
Wartawan bernama Wa Lone dan Kyaw Soe Oo itu ditahan pada 12 Desember lalu karena diduga mendapatkan dokumen rahasia. Keduanya akan didakwa dengan Undang-Undang Rahasia Negara dengan ancaman hukuman maksimal 14 tahun penjara.
Saat ditanya terkait bukti yang diungkap Reuters, Zaw Htay pada Kamis lalu mengatakan bahwa "kami tidak membantah dugaan adanya pelanggaran hak asasi manusia."
Jika ada "bukti utama yang kuat dan terpercaya" terkait pelanggaran hak asasi manusia, maka pemerintah akan menyelidikinya, kata dia.
Hingga kini pemerintah tidak mengeluarkan pernyataan resmi terkait penyelidikan Reuters.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris, Boris Johnson, mengaku membicarakan penahanan dua wartawan Reuters saat bertemu dengan pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, pada Minggu ini.
"Baru saja membicarakan arti penting penyelidikan terhadap kekerasan di Rakhine dengan pejabat Burma dan kepentingan menciptakan keadaan tepat bagi pengungsi Rohingya kembali ke rumah mereka di Rakhine," kata Johnson melalui media gaulnya.
Penerjemah: GM.N.Lintang/B. Soekapdjo.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018