Bogor (Antaranews Megapolitan) - Direktur Kajian Strategis Kebijakan Pertanian (KSKP) IPB Prof Dodik Ridho Nurrochmat mendukung petani bisa menjual beras secara `online` seperti yang disarankan Presiden Joko Widodo, karena petani bisa untung besar.
"Pasti untungnya lebih besar, karena memutus mata rantai penjualan dari petani langsung ke konsumen," kata Dodik di Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Presiden Joko Widodo mengajak petani untuk berinovasi tidak lagi menjual gabah hasil panen, tetapi mengolah gabahnya menjadi beras baru kemudian menjual.
Seba menjual beras lebih menguntungkan dari pada menjual gabah, sebab harga gabah Rp3.500 per kilogram. Sedangkan beras berada di kisaran Rp10 ribu - Rp11 ribu per kilogram.
Agar penjualan lebih menarik di kemas dengan merek yang baik. Penjualan dapat dilakukan secara online baik media sosial maupun "le-commerce"
Menurut Dodik, untuk bisa menjual beras "online" diperlukan kesiapan petani, juga dibantu penyiapannya, seperti sistim pemasaran, jaringan internet, serta distribusinya.
"Saran ini bagus, tapi memerlukan kesiapan baik SDM, maupun infrastruktur teknologinya. Apakah semua lahan pertanian sinyalnya cukup kuat," katanya.
Selain itu teknis pengiriman barangnya, misalnya ke distributor terdekat membutuhkan berapa jauh jaraknya juga perlu diperhatikan.
"Jangan-jangan sistem sudah online, tapi pengangkutan biayanya lebih besar, ini juga harus dilihat," katanya.
Dodik mengatakan KSKP IPB mendorong pertanian ke arah digitalisasi. Ke depan konsumen membeli produk pangan baik beras maupun lainnya ke petani terdekat, sehingga lebih efisien.
Prinsipnya jika dua ada pilihan membeli produk organik tetapi impor, atau membeli produk biasa dari tetangga terdekat lebih menguntungkan. Karena produk organik impor diangkut cukup jauh, emisi tinggi dan inefisiensi dalam transportasi tersebut.
"Alangkah baiknya membeli yang terdekat, kita dorong petani produksi produk organik non pestisida, konsumen membeli dengan cara online," katanya.
Menurutnya model bisnis ini akan disukai konsumen karena dapat mengetahui lokasi di mana, berapa ongkosnya, dan petani juga tau akan mengirim kemana produknya.
"Konsumen bisa memperkirakan mau beli di mana dan ke siapa," kata Dodik.
Penjualan beras secara online oleh petani akan lebih menarik lagi, mahasiswa IPB telah mengembangkan aplikasi "barcode" untuk pertanian. Barcode tersebut bisa discan di ponsel lalu dapat diketahui siapa petani dan di mana pertaniannya serta bagaimana mengelolanya.
"Dari barcode itu ada informasinya, sehingga konsumen membeli sedikit mahal tidak mengapa, akan puas yakin dengan petaninya, dan memperoleh harga yang baik," katanya.
Dodik menambahkan ke depan digitalisasi harus menyentuh sektor pertanian. Generasi millenial yang ingin bergerak di sektor pertanian tidak bisa lagi bermain dengan sistem konvensional.
"Anak muda lulusan IPB mau main dipertanian harus ada sentuhan digitalnya, karena lebih efisiensi," kata Dodik.
Sebagai contoh banyak anak muda di Amerika menjadi petani dan tren ini terus berlanjut. Pertanian sudah jadi kebanggan, bahkan di era selfie saat ini akan bangga selfie di tengah sawah miliknya.
"Dari pada bekerja kantoran berangkat pagi pulang petang, desak-desakan di kereta. Jadi petani bisa selfie di lapangan sambil panen, ini sesuatu yang membanggakan," kata Dodik.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018
"Pasti untungnya lebih besar, karena memutus mata rantai penjualan dari petani langsung ke konsumen," kata Dodik di Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Presiden Joko Widodo mengajak petani untuk berinovasi tidak lagi menjual gabah hasil panen, tetapi mengolah gabahnya menjadi beras baru kemudian menjual.
Seba menjual beras lebih menguntungkan dari pada menjual gabah, sebab harga gabah Rp3.500 per kilogram. Sedangkan beras berada di kisaran Rp10 ribu - Rp11 ribu per kilogram.
Agar penjualan lebih menarik di kemas dengan merek yang baik. Penjualan dapat dilakukan secara online baik media sosial maupun "le-commerce"
Menurut Dodik, untuk bisa menjual beras "online" diperlukan kesiapan petani, juga dibantu penyiapannya, seperti sistim pemasaran, jaringan internet, serta distribusinya.
"Saran ini bagus, tapi memerlukan kesiapan baik SDM, maupun infrastruktur teknologinya. Apakah semua lahan pertanian sinyalnya cukup kuat," katanya.
Selain itu teknis pengiriman barangnya, misalnya ke distributor terdekat membutuhkan berapa jauh jaraknya juga perlu diperhatikan.
"Jangan-jangan sistem sudah online, tapi pengangkutan biayanya lebih besar, ini juga harus dilihat," katanya.
Dodik mengatakan KSKP IPB mendorong pertanian ke arah digitalisasi. Ke depan konsumen membeli produk pangan baik beras maupun lainnya ke petani terdekat, sehingga lebih efisien.
Prinsipnya jika dua ada pilihan membeli produk organik tetapi impor, atau membeli produk biasa dari tetangga terdekat lebih menguntungkan. Karena produk organik impor diangkut cukup jauh, emisi tinggi dan inefisiensi dalam transportasi tersebut.
"Alangkah baiknya membeli yang terdekat, kita dorong petani produksi produk organik non pestisida, konsumen membeli dengan cara online," katanya.
Menurutnya model bisnis ini akan disukai konsumen karena dapat mengetahui lokasi di mana, berapa ongkosnya, dan petani juga tau akan mengirim kemana produknya.
"Konsumen bisa memperkirakan mau beli di mana dan ke siapa," kata Dodik.
Penjualan beras secara online oleh petani akan lebih menarik lagi, mahasiswa IPB telah mengembangkan aplikasi "barcode" untuk pertanian. Barcode tersebut bisa discan di ponsel lalu dapat diketahui siapa petani dan di mana pertaniannya serta bagaimana mengelolanya.
"Dari barcode itu ada informasinya, sehingga konsumen membeli sedikit mahal tidak mengapa, akan puas yakin dengan petaninya, dan memperoleh harga yang baik," katanya.
Dodik menambahkan ke depan digitalisasi harus menyentuh sektor pertanian. Generasi millenial yang ingin bergerak di sektor pertanian tidak bisa lagi bermain dengan sistem konvensional.
"Anak muda lulusan IPB mau main dipertanian harus ada sentuhan digitalnya, karena lebih efisiensi," kata Dodik.
Sebagai contoh banyak anak muda di Amerika menjadi petani dan tren ini terus berlanjut. Pertanian sudah jadi kebanggan, bahkan di era selfie saat ini akan bangga selfie di tengah sawah miliknya.
"Dari pada bekerja kantoran berangkat pagi pulang petang, desak-desakan di kereta. Jadi petani bisa selfie di lapangan sambil panen, ini sesuatu yang membanggakan," kata Dodik.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2018