Karawang (Antara Megapolitan) - Ancaman terberat sektor pertanian di daerah lumbung padi Jawa Barat, Kabupaten Karawang, sebenarnya tidak hanya organisme pengganggu tanaman atau hama yang menyerang areal sawah.

Tingginya serangan hama sangat memungkinkan bisa diantisipasi dengan optimalisasi kinerja penyuluh pertanian di lapangan, penggunaan varietas yang kuat terhadap serangan hama, tertib pola tanam, perlakuan tanaman yang ekstra, dan lain-lain.

Lagi pula, para petani di Karawang sudah berpuluh-puluh tahun "nyawah", sehingga serangan hama sebenarnya bisa mereka atasi dengan "sentuhan" pengetahuan dari para penyuluh pertanian di lapangan.

Kolaborasi yang baik antara petani dengan penyuluh pertanian di lapangan tersebut menjadi kunci dalam mengatasi tingginya serangan hama. Sehingga permasalahan merosotnya produktivitas padi bisa diantisipasi akibat serangan hama itu.

Ancaman sektor pertanian di Karawang saat ini tidak sekadar hama yang mengancam produktivitas padi. Ada yang jauh lebih dahsyat dari tingginya serangan hama tersebut, yakni alih fungsi lahan pertanian.

Karawang, sebagai salah satu daerah lumbung padi di Jawa Barat kini mendapat tantangan berat untuk mempertahankan areal pertanian dari alih fungsi lahan.

Daerah ini terus berkembang, ditandai dengan semakin majunya sektor industri yang diikuti dengan maraknya pembangunan kawasan perumahan, pemukiman, perkantoran, dan lain-lain yang sangat rawan menggunakan lahan pertanian.

Pada tahun 2017 ini, Karawang dihebohkan peristiwa alih fungsi lahan pertanian untuk pembangunan pabrik di areal sawah teknis di daerah sekitar Kecamatan Jatisari.

PT Jatisari Lestari Makmur membangun areal pabrik seluas 35 hektare di daerah itu, diduga menggunakan izin palsu yang kemudian proyek pembangunannya dihentikan oleh Pemkab Karawang.

Tapi kini, nasib areal sawah yang dialihfungsikan tersebut tidak jelas, tidak ada tindakan tegas dari pemkab setelah aksi penyegelan proyek pembangunan pabrik. Padahal saat kegiatan penyegelan, areal sawah itu sudah tertanam besi dan beton.

Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana sempat mendesak agar areal sawah yang telah tertanam besi dan beton tersebut segera dikembalikan fungsinya sebagai areal sawah. Tetapi desakan itu tidak dibarengi dengan aksi nyata.

Tindaklanjut dari aksi penghentian pembangunan pabrik di areal sawah itu seakan tenggelam. Padahal penghentian proyek pembangunan pabrik di atas areal sawah itu melanggar Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Peraturan Daerah tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B).

Alih fungsi lahan pertanian lainnya juga dilakukan salah satu pengembang perumahan di Desa Lemahmulya, Kecamatan Majalaya.

Anehnya, pengembang Perumahan Lemahmulya Indah itu mengantongi izin dari pemkab untuk membangun perumahan di atas lahan pertanian seluas 4,6 hektare.

Pengembang itu lolos hingga bisa mengantongi izin pembangunan perumahan di atas lahan sawah teknis, meski akhirnya mendapat teguran dari Wakil Bupati Karawang Ahmad Zamakhsyari.

Tetapi kenyataannya masih banyak pengembang perumahan yang tidak tertegur bisa membangun kawasan perumahan di atas areal sawah teknis. Bahkan umumnya, pembangunan perumahan di Karawang dibangun atas areal sawah, seperti yang terjadi di wilayah Kecamatan Karawang Timur, Karawang Barat, Telukjambe Timur, dan lain-lain.

Wakil Bupati Karawang Ahmad Zamakhsyari mengakui pembangunan perumahan di daerahnya tidak terkontrol. Kondisi itu terjadi karena Pemkab Karawang belum memiliki Rencana Detil Tata Ruang (RDTR).

Selama ini para pengembang perumahan bisa seenaknya menggunakan areal sawah teknis untuk dibangun perumahan. Meski ada aturan dilarang melakukan alih fungsi lahan, tetap saja alih fungsi lahan bisa terjadi karena diduga ada oknum yang bermain dalam proses perizinan.

Peraturan Daerah tentang RTRW yang sudah bertahun-tahun disahkan seharusnya segera diikuti dengan terbitnya RDTR. Tetapi yang terjadi, Pemkab seakan-akan terus "mengulur-ulur" untuk merancang RDTR.

Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) setempat menyatakan hingga kini pihaknya masih melakukan pembahasan seputar RDTR. Tetapi tidak bisa dijelaskan secara rinci progres dari pembahasan pembentukan RDTR yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.

Upaya "mengulur-ulur" pembentukan RDTR yang dilakukan pemkab tersebut sangat mengancam terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. Karena ketiadaan RDTR membuat si-pemberi izin hanya mengacu Perda RTRW dalam mengeluarkan izin pembangunan di daerah tersebut.

Perda RTRW sendiri tidak mengatur secara detail, sehingga perda itu tidak bisa "mengunci" alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. Dengan begitu, bisa dikatakan kalau upaya pemkab melindungi lahan pertanian selama ini masih "setengah hati".

Ketua Umum Serikat Tani Karawang (Setakar) Deden Sofian menyatakan potensi alih fungsi lahan pertanian di Karawang sebenarnya sangat tinggi, karena Peraturan Daerah tentang RTRW tidak mampu "mengunci" pembangunan di atas lahan pertanian.

Perda Nomor 22 tahun 2011 tentang RTRW yang diharapkan menjadi "kuncian" dalam mempertahankan lahan pertanian di Karawang, ternyata tidak bisa diandalkan. Tidak ada hal yang tegas mengenai larangan alih lahan.

Di antara isi Perda RTRW itu ternyata membiarkan ribuan hektare lahan pertanian beralihfungsi. Lahan pertanian yang tersebar di tujuh kecamatan tersebut tidak dipertahankan, sesuai dengan Perda tentang RTRW.

Tujuh kecamatan itu di antaranya Kecamatan Lemahabang yang memiliki luas pertanian 4.274,03 hektare, Pangkalan dengan luas lahan pertanian seluas 1.783,57 hektare, serta Kecamatan Tegalwaru dengan luas lahan pertanian 1.492,60 hektare.

Selain itu, juga Kecamatan Telukjambe Timur yang memiliki luas lahan pertanian seluas 308,78 hektare, Telukjambe Barat dengan luas lahan pertaniannya seluas 308,78 hektare, Kecamatan Klari yang memiliki luas lahan pertanian 282,97 hektare, serta Kecamatan Purwasari dengan lahan pertanian seluas 267,73 hektare.

Sementara di wilayah Karawang, keberadaan areal persawahan hampir merata dan tersebar di 30 kecamatan sekitar Karawang.

"Ternyata terungkap, isi dari Perda RTRW ini sarat pesanan pengusaha. Artinya, lahan pertanian di tujuh kecamatan itu kemungkinan sudah dipesan oleh investor untuk membangun perumahan atau untuk pembangunan lainnya.

Atas kondisi itu, ia mendesak agar Perda RTRW yang tidak propertanian itu direvisi dan harus dipertanggungjawabkan oleh para anggota DPRD Karawang yang beberapa tahun lalu menjadi Pansus Raperda RTRW.

Kepala Bappeda Karawang Eka Sanatha mengaku akan melakukan revisi Perda RTRW pada 2018. Tetapi revisi itu akan dilakukan tidak berkaitan dengan alih fungsi lahan pertanian, tetapi direvisi untuk mendukung beberapa proyek strategis nasional yang dilakukan di Karawang.


"Kesaktian" Perda LP2B

Ada harapan baru bagi Pemkab Karawang untuk menyelamatkan areal sawah dari alih fungsi lahan pertanian setelah Perda RTRW tidak bisa sendirian menahan laju alih fungsi lahan.

Perda Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang baru ditetapkan pada pertengahan 2017 ini diklaim akan mampu menahan laju alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian. Karena dalam peraturan daerah itu, pemilik sawah tidak bisa sembarangan menjual sawahnya.

Sekretaris Dinas Pertanian Karawang, Muhroji Suroji mengatakan, sebagai salah satu daerah lumbung padi nasional, Karawang berusaha mempertahankan luas lahan persawahan.

Usaha itu dilakukan dengan memasukan sebanyak 85 ribu hektare sawah sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan. Sedangkan total areal sawah Karawang mencapai sekitar 97 ribu hektare.

Di antara isi Perda LP2B yang cukup menarik perhatian itu, warga pemilik sawah masih bisa mengalihfungsikan lahannya, tetapi harus diganti tiga kali lipat dari luas lahan yang dialihfungsikan.

Jika tidak ada penggantian lahan, maka akan disanksi berupa denda Rp1 miliar atau bangunannya dibongkar.

Terbitnya Perda LP2B seharusnya benar-benar membawa harapan baru untuk menjaga lahan pertanian dari alih fungsi. Denda Rp1 miliar itu berat memang bagi masyarakat, tapi tidak bagi pengusaha yang menanamkan investasinya di Karawang hingga triliunan.

Cukup bijak kiranya kalau Pemkab Karawang mengalokasikan anggaran khusus untuk menampung keinginan masyarakatnya yang ingin menjual sawahnya. Itu perlu dilakukan agar mereka tidak menjual sawahnya sembarangan, hingga sampai ke "tangan" pengusaha.

Sawah yang dijual ke pengusaha rawan dialihfungsikan ke nonpertanian. Karena itu, pemkab bisa menampung dengan membeli sawah bagi warganya yang ingin menjual awahnya. Dengan begitu, areal sawah itu bisa terselamatkan dari alih fungsi lahan pertanian selama sawah itu dimiliki pemkab.

Selama ini banyak ungkapan di kalangan petani di Karawang, "sawah, sawah uing (sawah, sawah milik saya). Rek dijual atanapi henteu, da kumaha uing (mau dijual atau tidak, terserah saya)".

Pewarta: M. Ali Khumaini

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017