Bogor (Antara Megapolitan) - Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengharapkan jajaran humas dan perhumas dapat mendukung langkah-langkah kepolisian untuk merekatkan bangsa melalui pemberitaan yang meminimalisir isu perpecahan dan menyejukkan masyarakat.

"Saya minta humas dapat menyaring isu-isu mana yang naik kalau isu perpecahan supaya dinetralisi agar tetap dingin. Sebaliknya isu-isu bagus untuk diangkat, tolong dieksploitasi semaksimal mungkin," kata Tito saat menjadi pembicara kunci dalam penutupan Konvensi Nasional Humas (KNH) 2017 di Kota Bogor, Jawa Barat, Selasa.

Tito mengatakan Indonesia telah menghadapi lompatan baru era keterbukaan informasi publik yang didukung oleh teknologi informasi.

Sebagaimana yang telah diprediks oleh Alvin Toffler dalam bukunya berjudul "Gelombang Ketiga" dimana teknologi informasi merupakan gelombang ketiga yang saat ini terjadi.

Teknologi informasi sudah mengubah semua dunia, karena globalisasi didorong oleh teknologi informasi salah satunya, selain transportasi dan komunikasi.

"Karena teknologi informasi semua jadi lebih mudah, bahkan diistilahkan dunia ada digenggaman kita melalui gawai," katanya.

Gelombang ketiga ini, lanjut Tito, memunculkan istilah generasi millenia dan generasi z. Lompatan yang luar biasa saat ini menjadi iklim transparansi di publik yang dapat menguatkan.

Menurut Tito, media atau pers tidak lagi dipandang sebagai suplemen dalam demokrasi, tetapi pilar keempat demokrasi setelah yudikatif, legislatif dan eksekutif.

"Sebagai pilar keempat pers mampu membentuk opini publik," katanya.

Pers di era saat ini berkembang menjadi industri, yang mengalami kompetisi sangat tinggi. Sebagai industri, pers mencaari provit dengan cara mencari berita ekslusif.

Dari semua fenomena itu, lanjut Tito, dengan adanya teknologi infomasi saat ini media yang tadinya didominasi oleh media konvensional mulai bergeser menjadi media sosial.

"Media konvensional yang tadinya dapat medikte publik, kini bergeser, opini publik yang tadinya dibentuk oleh siapa yang punya media yang jumlahnya bisa dihitung, sekarang siapapun punya media," kata Tito.

Dengan adanya sosial media saat ini lanjut Tito, dapat terlihat opini publik sudah mulai berubah dipengaruhi oleh media sosial.

Tantangannya media sosil jauh lebih sulit untuk dikontrol karena setiap orang memiliki akses terhadap sosial media apapun kontennya, sekaligus menjadi viralis, yang kini disebut "netizen journalism".

"Sedemikian kuatnya kekuatan media sosial dibantu teknologi informasi diperkirakan dapat melampaui media konvensional dalam membentuk opini publik," kata Tito.

Menurut Tito, ada kabar baik dan buruknya dengan keterbukaan informasi publik yang didukun teknologi infomasi tersebut.

Kabar baiknya, kemajuan dan perubahan pada media sosial membuat peran masyarakat dalam iklim demokras menjadi menguat. Untuk mengawas pemerintah agar tidak otoriter menentukan jalannya sendiri. Mengawal aparatur dan mengawasi segmen, saling koreksi diinternalnya.

"Sistem pemerintahan jadi kuat, bukan pemerintahannya, yang stabil sistemnya siapapun pemerintahannya. Media sosial berperan sebagai penyeimbang dari pemerintah," katanya.

Kabar buruknya lanjut Tito, akibat demokrasi ditambah dengan kekuatan media sosial dalam membentuk opini publik yang tidak terkontrol, kalau seandainya sistem demokrasi tersebut dan keterbukaan yang luas diimplan kepada masyarakat dengan pola demografi kelas menengah tidak jadi masalah.

"Kita mungkin bisa meminimalisir dampak negatif dari kebebasan untuk berbicara dan kekuatan media sosial maupun media," katanya.

Hal ini dikarenakan masyarakat kelas menengah termasuk dewasa untuk mencerna segala sesuatu yang masuk melalui ruang publik. Lebih stabil, terdidik, terlatih dan cukup secara ekonomi, sehingga rasional dalam menerima informasi.

Tetapi kalau diimplan kepada masyarakat yang didominasi oleh ekonomi kelas bawah sangat beresiko dan membahayakan. Karena masyarakat didominasi oleh kurang terdidik, yang mungkin tidak puas terhadap keadaan saat ini karena ekonomi yang kurang, dan menginginkan perubahan secara instan.

"Nantinya masyarakat ini bisa terdikte dengan mudah oleh media yang muncul dan tidak dicerna secara rasional," katanya.

Situasi tersebut dapat membuat terjadinya polarisasi di masyarakat, sistem pemerintahan melemah, justru pecah belah, dan sedikit ada isu suku, agama dan ras, akan mengental dan terjadi penolakan.

"Dikhawatirkan adanya kelompok profesional yang memanfaatkan itu memesan yang bisa tergantung pesanannya mau dibuat apa opini publik ini makin membahayakan," kata Tito.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Andi Firdaus


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017