Bogor (Antara Megapolitan-Bogor) - Dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda sejumlah Wiratani Muda Indonesia berkumpul di Kota Bogor, Jawa Barat, Sabtu, berbagi cerita dan pengalamannya dalam mengembangkan usaha bidang agribisnis.
Bincang wiratani muda digagas oleh Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Majalah Trubus, Yayasan Suligar, dan Himpunan Alumni Sosial Ekonomi (Sosek) bertujuan untuk mendorong minat pemuda menjadi wirausaha muda pertanian.
Pengamat pertanian Bayu Krisnamurti menilai fakta hasil Sensus Pertanian 2013 yang menunjukkan komposisi petani Indonesia yang berumur 35 tahun hanya 12 persen, petani yang berumur 35-45 tahun sebesar 26 persen dan petani berumur 45 tahun sebesar 62 persen, menunjukkan insentif di pertanian tidak menarik bagi kaum muda.
"Insentif itu bukan berupa upah, meski upah menjadi indikator utama. Insentif berupa non upah jauh lebih penting," kata Bayu.
Bayu mengatakan sarjana yang dikirim ke sebuah desa saat ini menanyakan apakah di desa tersebut ada akses internet, sinyal ponsel dan listrik.
Setelah mendengar paparan sejumlah wiratani muda Indonesia yang bergelut di sektor bisnis pertanian, Bayu mengatakan pemuda yang kini terjun di agribisnis adalah mereka yang berani melawan arus, dan sektor pertanian tetap keren untuk digeluti.
Aang Permana alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatan IPB memilih menjadi wiratani muda mengembangkan olahan ikan di wilayah Cianjur.
Sebelumnya Aang bekerja sebagai tim survei untuk lokasi tambang, setelah menikah dan punya anak. Ketika anaknya sakit karena sibuk bekerja, termasuk istri juga bekerja membuat waktu untuk keluarga hilang.
"Titik balik saya memiliki berwirausaha ketika anak saya sakit, saya dan istri sibuk kerja, anak jadi kurang perhatian. Mulai saat itu saya putuskan berhenti bekerja dan memilih wirausaha," katanya.
Bermodal pengalaman berkeliling Indonesia selama menjadi tenaga survei lapangan, Aang melihat potensi ikan di Indonesia yang bisa dikembangkan.
"Karena saya sarjana perikanan, saya mencoba mengabdikan keilmuan saya, saya lihat potensi ikan-ikan lokal Indonesia potensial dikembangkan," kata Aang.
Kisah sukses lainnya datang dari Riza Fareza, petani jeruk di Garut Jawa Barat, ada juga Sutarjo yang mengembangkan usaha buah naga di Bogor.
Uniknya cerita Nia yang mengembangkan Cukbi atau Rendang Puncuk Ubi yang awalnya makanan tradisional dari Sijunjung Sumatera Barat tidak dilirik kini mulai digemari banyak orang di kota.
Niatan awal Nia mengembangkan bisnis Cukbi karena ingin mengenalkan nama kampung halamannya Sijunjung yang tidak dikenal banyak orang. Potensi bisnis ia lihat selama menjadi mahasiswa.
"Selama kuliah saya sering dikirimkan makanan rendang pucuk ubi oleh ibu saya, karena anak kosan, bagi saya rendang pucuk ubi ini makanan kelas rendahan, dimakan oleh masyarakat yang punya kemampuan ekonomi pas-pasan," katanya.
Selama berkuliah, Nia mengenalkan rendang pucuk ubi ke teman-temannya, responnya sangat positif banyak yang menyukainya, bahkan banyak yang memesan untuk dibuatkan. Melihat hal tersebut, ia tergerak untuk mengembangkan usaha rendang pucuk ubi.
Tahun 2015 inovasi rendang pucuk ubi menang lomba kewirausahaan di tingkat Kementerian Pertanian, hingga akhir 2016 Nia memutuskan untuk memperluas produksi dan pemasaran rendang pucuk ubik bermodal hadiah lomba.
"Karena rendang pucuk ubi dinilai sangat menjanjikan, apalagi singkong tidak butuh perlakuan khusus menanamnya," kata Nia.
Kehadiran petani muda berusia kurang dari 30 tahun berdampak bagi masyarakat, antara lain menggerakkan perekonimian, menciptakan lapangan pekerjaan, atau menjadi sumber inspirasi. (ANT/BPJ).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Bincang wiratani muda digagas oleh Departemen Agribisnis Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan Majalah Trubus, Yayasan Suligar, dan Himpunan Alumni Sosial Ekonomi (Sosek) bertujuan untuk mendorong minat pemuda menjadi wirausaha muda pertanian.
Pengamat pertanian Bayu Krisnamurti menilai fakta hasil Sensus Pertanian 2013 yang menunjukkan komposisi petani Indonesia yang berumur 35 tahun hanya 12 persen, petani yang berumur 35-45 tahun sebesar 26 persen dan petani berumur 45 tahun sebesar 62 persen, menunjukkan insentif di pertanian tidak menarik bagi kaum muda.
"Insentif itu bukan berupa upah, meski upah menjadi indikator utama. Insentif berupa non upah jauh lebih penting," kata Bayu.
Bayu mengatakan sarjana yang dikirim ke sebuah desa saat ini menanyakan apakah di desa tersebut ada akses internet, sinyal ponsel dan listrik.
Setelah mendengar paparan sejumlah wiratani muda Indonesia yang bergelut di sektor bisnis pertanian, Bayu mengatakan pemuda yang kini terjun di agribisnis adalah mereka yang berani melawan arus, dan sektor pertanian tetap keren untuk digeluti.
Aang Permana alumni Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelauatan IPB memilih menjadi wiratani muda mengembangkan olahan ikan di wilayah Cianjur.
Sebelumnya Aang bekerja sebagai tim survei untuk lokasi tambang, setelah menikah dan punya anak. Ketika anaknya sakit karena sibuk bekerja, termasuk istri juga bekerja membuat waktu untuk keluarga hilang.
"Titik balik saya memiliki berwirausaha ketika anak saya sakit, saya dan istri sibuk kerja, anak jadi kurang perhatian. Mulai saat itu saya putuskan berhenti bekerja dan memilih wirausaha," katanya.
Bermodal pengalaman berkeliling Indonesia selama menjadi tenaga survei lapangan, Aang melihat potensi ikan di Indonesia yang bisa dikembangkan.
"Karena saya sarjana perikanan, saya mencoba mengabdikan keilmuan saya, saya lihat potensi ikan-ikan lokal Indonesia potensial dikembangkan," kata Aang.
Kisah sukses lainnya datang dari Riza Fareza, petani jeruk di Garut Jawa Barat, ada juga Sutarjo yang mengembangkan usaha buah naga di Bogor.
Uniknya cerita Nia yang mengembangkan Cukbi atau Rendang Puncuk Ubi yang awalnya makanan tradisional dari Sijunjung Sumatera Barat tidak dilirik kini mulai digemari banyak orang di kota.
Niatan awal Nia mengembangkan bisnis Cukbi karena ingin mengenalkan nama kampung halamannya Sijunjung yang tidak dikenal banyak orang. Potensi bisnis ia lihat selama menjadi mahasiswa.
"Selama kuliah saya sering dikirimkan makanan rendang pucuk ubi oleh ibu saya, karena anak kosan, bagi saya rendang pucuk ubi ini makanan kelas rendahan, dimakan oleh masyarakat yang punya kemampuan ekonomi pas-pasan," katanya.
Selama berkuliah, Nia mengenalkan rendang pucuk ubi ke teman-temannya, responnya sangat positif banyak yang menyukainya, bahkan banyak yang memesan untuk dibuatkan. Melihat hal tersebut, ia tergerak untuk mengembangkan usaha rendang pucuk ubi.
Tahun 2015 inovasi rendang pucuk ubi menang lomba kewirausahaan di tingkat Kementerian Pertanian, hingga akhir 2016 Nia memutuskan untuk memperluas produksi dan pemasaran rendang pucuk ubik bermodal hadiah lomba.
"Karena rendang pucuk ubi dinilai sangat menjanjikan, apalagi singkong tidak butuh perlakuan khusus menanamnya," kata Nia.
Kehadiran petani muda berusia kurang dari 30 tahun berdampak bagi masyarakat, antara lain menggerakkan perekonimian, menciptakan lapangan pekerjaan, atau menjadi sumber inspirasi. (ANT/BPJ).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017