Bogor (Antara Megapolitan) - Biorefineri untuk mengubah biomasa menjadi bahan bakar hayati (biofuel) dan produk kimia lainnya saat ini sedang dalam tahap pembahasan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Kerja Sama Internasional Jepang atau JICA bagi energi alternatif.

Pembahasan itu dilakukan kedua pihak dalam simposium internasional yang berlangsung di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati mengatakan urgensi biorefineri bagi produksi energi alternatif Indonesia sebagai pengingat karena penelitian terkait pemanfaatan biomasa non-pati sudah cukup banyak dikembangkan para peneliti di Tanah Air.

"Sayangnya pengembangan itu masih bersifat parsial sehingga implementasinya belum terlaksana secara baik," kata Enny.

Ia mengatakan dalam pengembangan Biorefineri untuk mengubah biomasa menjadi bahan bakar hayati (biofuel) dan produk kimia lainnya, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan.

"Pertama, perlu pengembangan teknologi "pretreatment" biomasa untuk menghilangkan bagian yang tidak diperlukan," katanya.

Yang kedua lanjutnya, perlu pengembangan teknologi produksi biokatalis/enzim yang efisien, karena biokatalis merupakan produk impor sehingga harganya tinggi.

Dan yang ketiga, perlu pengembangan teknologi fermentasi atau reaksi yang terpadu agar proses menjadi lebih efisien.

Menurutnya jika ketiga teknologi ini dipadukan dengan tepat, dengan komposisi sumber daya lokal yang digunakan, maka diprediksi akan menghasilkan proses yang lebih efisien dan menurunkan biaya produksi.

"Dengan demikian lanjutnya, produksi energi alternatig bisa berbiaya murah dan terjangkau digunakan oleh masyarakat," katanya.

Enny mengharapkan melalui simposium internasional "4th Internastional Symposium on Innovative Bioproduction Indonesia" atau ISIBio 2017 mampu memberikan solusi bagi pengembangan biomasa agar secara terimplementasi menjadi energi alternatif bagi Indonesia lewat teknologi biorefineri.

Karena dalam pemanfaatan sumber daya hayati untuk pemanfaatan berkelanjutan, biorefineri merupakan salah satu teknologi kunci yang mampu menggantikan posisi energi minyak berbasis fosil di masa depan.

"Biorefineri akan menjadi alternatif baru dan sesuai untuk dikembangkan di Indonesia," katanya.

Peneliti Puslit Bioteknologi LIPI yang juga Manajer Proyek Biorefineri Yopi Sunarya mengatakan untuk mewujudkan produksi energi alternatif dari biomasa yang lebih murah dan efisien, para peneliti LIPI telah bekerja sama dalam konsorsium peneliti bioproses untuk melaksanakan riset biorefineri terpadu.

Konsorsium ini terdiri dari LIPI melalui Puslit Bioteknologi, Pusat Penelitian Biologi, Pusat Penelitian Biomaterial, dan Pusat Penelitian Kimia. Ditambah kerja sama Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia.

Dana riset dari konsorsium ini melalui proyek pendanaan dari Jepang yakni program JST-JICA SATREPS Project.

"Salah satu tokus riset yang dikerjakan saat ini adalah pengembangan biorefineri terpadu dengan dasar pemanfaatan biomasa dari industri kelapa sawit dan tebu untuk produksi bioethanol dan bioplastik dengan menggunakan mikroba dan kode etik genetiknya," kata Yopi.

Yopi menambahkan dari hasil riset terpadu konsorsium tersebut Puslit Bioteknologi LIPI mendapat sertifikat sebagai Pusat Unggulan Iptek Biorefineri dari Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi.

"Sebagai pusat unggulan Iptek diharapkan teknologi biorefineri terus berkembang ke depan melalui jalinan kerja sama riset yang lebih luas," katanya.

Simposium internasional biorefineri juga dilangsungkan pula penandatangan nota kesepahaman implementasi hasil riset biorefineri terpadu antara dua perusahaan yakni Bioenergy Corporation Jepang dan PT Agricinal Indonesia dari Bengkulu, disaksikan oleh pihak LIPI dan JICA.

Kerja sama ini terkait pemanfaatan kelapa sawit untuk produksi "biofuel" atau bahan bakar hayati.

"Kami berharap implementasi tersebut membawa percepatan dalam pembuatan energi alternatif yang lebih efisien di Indonesia," kata Yopi.

Turut hadir dalam simposium tersebut perwakilan JICA Harada Tetauya, Kepala Badan Standarisasi Nasional Indonesia, Prof Bambang Prasetya, Dr Yoshiaki Hirano dari Universitas Kobe, dan Shinji Hama dari Bioenergy Corporation Jepang.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Andi Firdaus


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017