Tradisi memberi parsel menjadi salah satu bentuk berbagi kebahagiaan yang umum dilakukan masyarakat Indonesia, termasuk menjelang perayaan Natal dan tahun baru. Bingkisan yang berisi bermacam makanan seperti kue, cokelat, makanan kaleng, sirup, dan minuman sering kali menjadi pilihan utama untuk diberikan kepada teman, keluarga, atau kerabat. Namun, di balik dari keindahan tradisi tersebut, ada sebuah fenomena yang kerap terlupakan, yaitu makanan kedaluwarsa yang terdapat dalam parsel.

Fenomena tersebut berpotensi membahayakan kesehatan penerima parsel. Oleh karena itu, inspeksi mendadak (sidak) terhadap makanan kedaluwarsa di swalayan menjadi sangat penting untuk memastikan konsumen mendapatkan produk yang aman dan berkualitas.

Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dinas terkait, dan lembaga lainnya gencar melakukan sidak di sejumlah daerah untuk memastikan tidak ada produk kedaluwarsa yang beredar di pasaran, terutama menjelang periode liburan seperti Natal dan tahun baru, ketika penjualan parsel dan paket makanan cenderung meningkat. Hal ini juga berlaku untuk produk-produk yang mungkin tidak berbahaya secara langsung, namun dari segi kualitas dan nilai gizi sudah menurun atau bahkan hilang karena masa simpan yang telah habis.

Selain berdampak terhadap kesehatan, fenomena makanan kedaluwarsa juga membawa dampak besar terhadap pemborosan makanan. Makanan yang mendekati tanggal kedaluwarsa sering kali tidak terjual di pasaran dan berakhir dibuang begitu saja.

Hal tersebut tentu menjadi masalah besar, mengingat bahwa sekitar sepertiga dari makanan yang diproduksi di dunia setiap tahunnya berakhir menjadi sampah, atau mencapai angka 630,96 juta ton/tahun, berdasarkan laporan United Nations Environment Programme (UNEP) tahun 2024.

Ironisnya, Indonesia menjadi salah satu negara penghasil sampah makanan terbesar di Asia Tenggara dan menduduki salah satu peringkat teratas negara dengan penghasil sampah makanan tertinggi di dunia. Merujuk pada laporan Food Waste Index Report 2024 yang dirilis oleh UNEP memperlihatkan bahwa Indonesia menghasilkan 20,93 juta ton per tahun.

Infografis kerugian ekonomi akibat pemborosan makanan berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tahun 2021. ANTARA/Keysha Anisa

Di sisi lain, pakar food loss dan keamanan pangan dari Institut Pertanian Bogor, Drajat Martianto, kepada ANTARA mengungkapkan bahwa satu dari sepuluh orang Indonesia mengalami kekurangan asupan pangan, atau hanya sekitar sepuluh persen saja masyarakat Indonesia yang asupan gizinya tercukupi. Di sisi lain, makanan yang diproduksi justru terbuang begitu saja sehingga menciptakan paradoks.

"Kami sedang melakukan beberapa kajian bersama Bappenas dan waste4change yang hasilnya besaran food loss and waste mulai dari tahun 2000 sampai 2019 angkanya cukup memprihatinkan, nilainya itu sangat besar dan kecenderungannya meningkat," kata Drajat.

Kerugian ekonomi yang ditimbulkan pun tak main-main. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mencatat sepanjang tahun 2000–2019 angka kerugian yang ditaksir dari jumlah tersebut mencapai Rp213--Rp551 triliun per tahun atau setara 4--5 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia per tahun.

Adapun dampak dari sisi sosial adalah kehilangan kandungan energi yang setara dengan porsi makan 61 hingga 125 juta orang atau 29--47 persen populasi Indonesia. Oleh karena itu, perlu upaya strategis untuk mengubah perilaku konsumsi di tingkat individu.

Upaya yang harus dilakukan yakni dengan memperbaiki penanganan pascapanen dan memperbaiki sistem distribusi logistik. Kalau logistik lebih efisien maka dapat mengurangi kehilangan itu atau sama artinya dengan meningkatkan ketersediaan.

Peran swalayan kurangi pemborosan makanan

Swalayan dan supermarket memegang peranan penting dalam mengurangi pemborosan makanan, terutama dalam mengelola produk yang mendekati kedaluwarsa. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah supermarket besar di Indonesia mulai mengambil langkah-langkah konkret untuk mengurangi food waste dan mendistribusikan makanan yang mendekati kedaluwarsa kepada mereka yang membutuhkan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan berkolaborasi dengan lembaga sosial seperti Foodbank of Indonesia untuk menyalurkan produk-produk yang masih layak konsumsi tetapi sudah tidak dapat lagi dijual.

Program ini bertujuan untuk mengurangi pemborosan makanan yang seharusnya bisa dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan, alih-alih berakhir di tempat pembuangan sampah.

"Memang kalau di food retailer itu kami harus mengikuti peraturan pemerintah untuk metode pemajangan. Jadi, setiap produk makanan yang mendekati masa expiry date-nya itu tidak boleh lagi dipajang. Padahal sebenarnya masih ada gap waktu seminggu, 2 minggu, sebulan atau bahkan 3 bulan. Ini yang berisiko akan menjadi sampah makanan,” kata Department Head of Corporate Communication and sustainability PT Lion Super Indo, Yuvlinda.

Untuk memastikan makanan-makanan tersebut tidak terbuang percuma, supermarket pun memanfaatkan jaringan dengan sebuah organisasi sosial yang membantu mengatasi kesenjangan pangan di masyarakat sejak 2015 tersebut.

“Setelah produk kami tarik kembali, kemudian Foodbank of Indonesia akan menjemput dan mengaudit produk-produk tersebut. Kami memberikan gratis (tanpa charge),” terang Yuvlinda kepada ANTARA.

Setelah diterima oleh Foodbank of Indonesia, maka produk benar-benar diverifikasi kelayakan lalu diolah menjadi hidangan dan menyalurkannya kepada keluarga pra-sejahtera.

“Kami sudah menyalurkan lebih dari 3.300 ton makanan kepada ibu hamil, ibu menyusui, PAUD, dan masyarakat pra-sejahtera yang telah kami petakan,” kata Hendro Utomo, pendiri Foodbank of Indonesia.

Produk-produk tersebut diperolehnya dari beberapa industri yang menyumbangkan secara sukarela dengan kriteria beberapa bulan mendekati masa kedaluwarsa atau produk berlabel cacat namun masih sangat layak konsumsi.

"Barang itu, misalnya, labelnya cacat sedikit itu disumbangkan kepada kami. Lalu ada juga roti, misalnya, yang hari ini tidak terjual, besoknya kami ambil kemudian kami bagikan kepada kelompok rentan,” ujar Hendro kepada ANTARA.

Direktur Kewaspadaan Pangan dan Gizi Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nita Yulianis kepada ANTARA mengungkapkan kolaborasi di berbagai lintas sektor semakin diperlukan agar dapat menciptakan budaya konsumsi yang lebih bijaksana.

Indonesia dinilai sangat berkomitmen untuk melakukan ini sehingga pihaknya bermitra dengan berbagai pihak termasuk PAUD agar memahami pentingnya penyelamatan pangan sejak dini.

Edukasi stop boros pangan sejak dini

Sebagai bagian dari gerakan ini, Putri Indonesia 2024, Harashta Haifa Zahra, juga mulai berperan aktif dalam menyebarkan pesan penting tentang pengelolaan makanan yang bijaksana. Sebagai pemengaruh, Harashta mengunjungi berbagai sekolah untuk mengedukasi anak-anak tentang pentingnya mengurangi pemborosan makanan dan cara-cara sederhana yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan makanan.

“Saya membuat platform ini untuk menggaungkan mengenai stop boros pangan. seperti tadi anak-anak sekolah internasional di sini yang kerap membawa bekal makan siang supaya mereka menghabiskan makanannya,” kata Putri Indonesia asal Jawa Barat tersebut.

Dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan makanan yang bijak, setiap individu dapat meminimalkan dampak negatif dari pemborosan pangan, memperkuat ketahanan pangan, dan menciptakan budaya berbagi yang lebih peduli terhadap sesama.

Terutama saat merayakan momen-momen istimewa seperti Natal dan tahun baru, parsel tidak sekadar hadiah, tetapi juga bisa menjadi sarana berbagi yang lebih bermakna dan bertanggung jawab.

Editor: Achmad Zaenal M

Pewarta: Nabila Anisya Charisty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024