Media massa telah lama diakui sebagai salah satu otoritas yang berperan penting dalam membentuk dan mengintervensi makna kebenaran. Fungsi media sebagai kontrol sosial tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawabnya untuk menyampaikan informasi yang akurat dan terpercaya.
Seiring dengan perkembangan zaman, kebenaran yang disampaikan media arus utama mulai dipertanyakan. Pada awalnya, media arus utama (mainstream) menjadi satu-satunya sumber informasi yang dipercaya oleh publik. Namun, dengan munculnya media sosial dalam dekade terakhir, kepercayaan publik terhadap media arus utama itu mulai tergeser.
Media sosial, kini menjadi platform yang tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga merasuk, bahkan mengintervensi makna kebenaran itu sendiri.
Dalam konteks ini, muncul pertanyaan, siapa yang layak disebut sebagai pembawa kebenaran di tengah dominasi media sosial yang semakin kuat? Siapa yang memiliki otoritas untuk mengintervensi kebenaran?
Dewan Pers juga terus berupaya mengembalikan marwah otoritas kebenaran kepada media arus utama, dengan memperketat regulasi dan menetapkan standar verifikasi yang ketat.
Beberapa persyaratan yang ditetapkan, mencakup keharusan bagi media untuk berbadan hukum, terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM, memiliki modal yang cukup, menggaji wartawan, serta berkomitmen pada Kode Etik Jurnalistik. Selain itu, media arus utama juga diwajibkan untuk melakukan verifikasi faktual terhadap berita yang disajikan kepada pembaca.
Untuk media daring, Dewan Pers menetapkan syarat tambahan, seperti kewajiban memiliki domain dan server sendiri, serta redaksi yang jelas. Langkah-langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap informasi yang disampaikan, memastikan bahwa berita yang beredar memenuhi standar jurnalistik dan etika yang akurat serta terpercaya.
Dengan demikian, diharapkan dapat mencegah penyebaran informasi hoaks dan berita bohong yang merugikan masyarakat, sehingga publik dapat memeroleh informasi yang sehat dan edukatif.
Hanya saja, realitas di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat tidak sepenuhnya melihat upaya ini sebagai solusi. Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar mengakui bahwa saat ini terdapat otoritas lain yang turut mengintervensi apa yang dimaksud dengan kebenaran. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan dalam menjaga kebenaran informasi masih sangat besar.
Tantangan ANTARA
Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA yang kini memasuki usia ke-87 menghadapi tantangan tersebut. Sejak didirikan oleh tokoh-tokoh republik ini, seperti Adam Malik, Soemanang, A.M. Sipahoetar, dan Pandoe Kartawigoena, ANTARA telah melewati berbagai era, mulai dari penggunaan mesin ketik, sistem satelit, hingga digitalisasi dengan URL dan media sosial.
Dalam perjalanan panjangnya, ANTARA telah beradaptasi dengan berbagai perubahan teknologi dan dinamika sosial. Di era digital saat ini, ANTARA tidak hanya berfungsi sebagai penyedia berita bagi media-media lain, tetapi juga sebagai platform yang menyediakan informasi yang mendidik dan memberdayakan masyarakat.
Dengan memanfaatkan teknologi terkini, ANTARA berusaha untuk menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda yang lebih aktif di media sosial.
Meskipun demikian, tantangan yang dihadapi ANTARA, saat ini, tidak dapat diatasi sendirian. Diperlukan peran aktif pemerintah dalam mereduksi dampak negatif serta melindungi informasi publik dari intervensi yang merugikan. Dalam konteks ini, kerja sama antara pemerintah dan media menjadi sangat penting.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024