Bogor (Antara Megapolitan-Bogor) - Wakil Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid mengajak generasi muda serta para cendekiawan kampus untuk menggali makna empat pilar dari sisi bagaimana relasi antara Kesialaman dan ke-Indonesia-an, sehingga dapat mengisi kemerdekaan Republik Indonesia dengan cara yang baik dan benar.

"Jadi bagi kaum muda, terutama kaum terpelajar (mahasiswa) memandang Indonesia sebagai warisan perjuangan para ulama, laskar hasbullah, politisi Islam, untuk kemudian kita jaga supaya tidak keluar dari fitrahnya," kata Hidayat dalam sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Universitas Ibnu Khaldun, Kota Bogor, Jawa Barat, Kamis.

Hidayat menceritakan bagaimana empat pilar, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI terbentuk tidak lepas dari peran para ulama serta politisi Islam. Seperti yang dikatakan tokoh Indonesia, Mohammad Natsir yang menegaskan bahwa sejarah adalah pengulangan. Sebagaimana dahulu para ulama berjuang di Indonesia dan berhasil memenangkan dan menjaga Indonesia, begitu pula ke depan.

"Sekarangpun juga bisa begitu, tapi juga bisa sebaliknya, kalau umat Islam tidak bisa menjadi penjaga, maka Indonesia ini hancur," kata Hidayat.

.

Dimulai dari perumusan dasar negara oleh anggota BPUPKI. Dasar negara diperlukan untuk menyatakan Indonesia merdeka. Ada saran yang menyarankan dasar Indonesia haruslah Islam karena mayoritas beragam Islam, tapi karena adanya kemajemukan, dasar negara, masing-masing tokoh menyampaikan pendapatnya.

Hingga 1 Juni 1945 Bung Karno merangkum semua usulan, dan menyampaikan terminalogi yang diusulkan menjadi dasar negara adalah Pancasila. Kenapa panca (lima) karena masyarakat Indonesia suka dengan bilangan lima.

"Ada bintang lima, dan orang Islam juga punya rukum Islam lima, dan shalat sehari semalam lima rakaat, inilah Indonesia," katanya.

Ia menyebutkan, usulan pertama Pancasila, menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada sila kelima. Lalu setelah dibentuk panitia kecil bernama panitia sembilan, yang terdiri atas empat tokoh Islam, dan satu orang nasionalisme non Islam, serta empat dari kalangan nasionalisme Islam seperti Muhammadiyah, NU, Agus Salim, dan lainnya.

Disepakati lima butir Pancasila yang disebut Piagam Jakarta yang dibacakan pada Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sila-silanya yakni pertama Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Perubahan terhadap Pancasila terjadi pada 18 Agustus ketika perwakilan kelompok Indonsia Timur menyatakan keberatan dan merasa adanya diskriminasi pada sila pertama, dan menyatakan akan keluar dari Indonesia.

Menurutnya, seandainya umat Islam kala itu kepentingannya sempit untuk golongan tidak mempertimbangkan bangsa dan negara lain, seadainya untuk kepentingan jangka pendek, maka akan tetap menggunakan Pancasila versi pertama.

"Tetapi karena para tokoh Islam dan ulama memahami kemerdekaan salah satu yang besar, mereka menerima usulan demi menjaga keutuhan Indonesia, menjaga kelangsungan proklamasi, maka diterimalah usulan itu dan mengganti sila pertama dengan Ketuhanan Yang Maha Esa," kata Hidayat.

Mengisi Kemerdekaan Dengan Cara Yang Baik dan Benar.

Hidayat mengatakan pula bahwa fakta sejarah bagaimana umat Islam menjaga agar Indonesia tetap merdeka, bersatu dan berdaulat, dan diakui oleh bangsa-bangsa di dunia. Jadi tidak aneh pada tanggal 22 Oktober 1945, ketika Belanda ke Indonesia dengan mendompleng Sekutu, ingin mengusai Indonesia melalui Surabaya. Pergerakan para ulama dengan lahirnya Resolusi Jihat dari Kh Hasyim Ashari.

"Resolusi jihad inilah yang melahirkan Bung Tomo, menggerakkan santri dan pemuda hingga terjadi perang di Surabaya pada 10 November," katanya.

Peran ulama dan juga politisi Islam juga ada dalam mengembalikan NKRI, sesuai yang disepkati pada 18 Agustus 1945 dalam Bab 1, Pasal 1 dan Ayat 1 UUD 1945. Dalam sejaranya, ketika Belanda menguasai Batavia, Sultan Yogyakarta mengundang Soekarno-Hatta untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta. Sistem negara tidak stabil, bahkan NKRI tidak utuh, hingga adanya Konverensi Meja Bundar (KMB) Belanda mengakui Indonesia sebagai Republik yang terdiri atas 16 negara serikat.

Tapi kemudian, ada manuver dari tokoh Islam, Fraksi Masyumi, Mohammad Natsir yang melobi parlemen untuk memahami cita-cita kemerdekaan, sejalan dengan itu adanya realitas politik yang berkembang dengan lahirnya pemberontakan PKI, yang ingin menjadikan Indonesia negara komunis, banyak tangan lainnya yang ingin mengubah arah negara, hingga akhirnya NKRI bisa kembali dideklarasikan pada tahun 1950.

"Kalau saja umat Islam apatis, acuh tak acuh terhadap Indonesia, mungkin kita tidak mengenal lagi namanya NKRI, tapi republik serikat," katanya.

Tidak hanya itu, perjuangan Jenderal Soedirman yang bergerilya di hutan untuk membuktikan eksistensi Bangsa Indonesia di mata dunia, setelah Belanda menahan Soekarno dan Hatta. Soedirman adalah tokoh pejuang kemerdekaan yang awalnya seorang guru madrasah di Muhammadiyah.

"Termasuk lambang Garuda Pancasila itu dirancang oleh seorang Sultan dari Kesultanan di Pontianak, yang memenangkan sayembara. Sebenarnya Pancasila itu lambang dari Kesultanan Samudera Pasai yang awalnya kaligrafi Bismillah dan Syahadat," kata Hidayat.

Hidayat berharap melalui Empat Pilar MPR RI ini para cendekiawan di kampus menggali sisi bagaimana relasi ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an. Sehingga dapat mengisi kemerdekaan dengan cara yang baik dan benar.

"Sebagaimana semangat yang telah diwariskan para pahlawan bangsa, Soedirman, Budi Utomo, Mohammad Natsir," kata Hidayat. (Ant).
 

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017