Bogor (Antara Megapolitan) - Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan mengatakan, kebiasaan merokok telah mempengaruhi kualitas gizi rumah tangga di Indonesia.

"Masalah gizi terkait lintas sektor, penyebab tidak langsung kurang gizi di Indonesia adalah salah satunya persediaan pangan terutama pada daya beli ekonomi keluaga pembeli rokok," kata Abdillah, dalam workshop "Mendorong Pelarangan Iklan, Promosi, Sponsor Rokok untuk Melindungi Anak Indonesia" yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, di Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu.

Menurut Abdillah, Indonesia saat ini darurat gizi, terjadi masalah gizi kurang (kurang energi protein, anemia, kurang vitamin A, dan gangguan akibat kurang yodium) dan masalah gizi lebih (overweight dan obesitas).

Selain itu, Indonesia juga menghadapi permasalahan kesehatan yakni penyakit menular (TBC,ISPA, penyakit infeksi lainnya), dan penyakit tidak menular (hipertensi, DM, stroke, dan PJK).

"Di negara maju sudah tidak ada lagi masalah gizi kurang, yang ada kelebihan gizi, dan tren lainnya penyakit menular berkurang, penyakit tidak menular meningkat," katanya.

Posisi masalah gizi di Indonesia cukup komplek, lanjutnya, memenuhi semua kategori yakni kategori A (kurus/pendek), kategori B (kurang vitamin A, dan zat besi) dan kategori c (overweight atau kelebihan berat badan).

Hasil studi dari tahun 2007 sampai 2013 menunjukkan, masalah gizi pada balita terus meningkat. Seperti gizi buruk tahun 2007 sebesar 5,4 pada tahun 2013 naik menjadi 5.7. Prevalensi balita dan wanita dengan gizi kurang juga meningkat, ada 37,2 persen balita pendek, dan 37,1 persen wanita hamil dengan anemia di tahun 2013.

"Indonesia salah satu dari 17 negara yang memiliki permasalahan kesehatan masyarakat, adanya stunting, dan kelebihan berat badan," katanya.

Abdillah mengaitkan persoalan gizi dengan daya beli masyarakat terhadap persediaan pangan. Kebiasaan merokok 12 batang per hari, jika disederhanakan dengan belanja telur, nominal tersebut dapat membeli kurang lebih setengah kilogram telur. Telur pangan yang baik untuk anak dalam meningkatkan gizinya.

Berdasarkan data BPS dari 258 juta penduduk Indonesia, jumlah penduduk miskin sekitar 27,76 juta jiwa atau 10,70 persen. Rokok kretek filter salah satu komoditi yang memberikan pengaruh besar terhadap garis kemiskinan (September 2015, BPS) yakni sebesar 8,08 persen di perkotaan, dan 7,68 persen di kawasan perdesaan. Rokok menempati psisinya nomor kedua setelah beras.

"Tahun 2016 rokok memberikan sumbangan kedua terbesar terhadap garis kemiskinan di perkotaan sebesar setelah beras 18,31 persen, yaitu sebesar 10,70 persen," katanya.

Sedangkan di perdesaan, rokok memberikan sumbangan kedua terbesar terhadap garis kemiskinan setelah beras 25,35 persen yaitu sebesar 10,70 persen.

Ia menyebutkan, pada kuintil I yang merupakan 20 persen rumah tangga dengan pengeluaran perkapika sebulan terendah, pengeluaran untuk rokok sebesar 12,94 persen, tertinggi ketiga setelah pengaluaran untuk padi-padian (25,94 persen) dan makanan serta minuman jadi 19,32 persen.

Menurut dia, uang untuk merokok yang digunakan masyarakat miskin tidak dapat untuk memenuhi gizi ibu hamil. Untuk pemeriksaan dokter.

"Beban untuk rokok di kalangan rumah tangga miskin cukup parah," katanya.

Fakta lainnya, hampir 80 persen orang miskin merokok di rumah tangga. Kebiasaan merokok tidak hanya membuat anggaran untuk gizi anak dan ibu hamil berkurang. Kebiasaan merokok di rumah, berdampak asapnya mengganggu rumah tangga lainnya.

"Sudah alokasi untuk belanja rumah tangga berkurang, dipengaruhi pula asap rokok," kata Abdillah.

Pewarta: Laily Rahmawaty

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017