Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas. Perppu dibacakan Menkopolhukam Wiranto, di Jakarta, Rabu (12/7/2017).
Intisari larangan yang diatur dalam Perppu tersebut antara lain melakukan tindak permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan; Melakukan penistaan atau penodaan terhadap agama di Indonesia; Melakukan tindakan kekerasan yang mengganggu ketertiban umum dan merusak fasilitas umum; Melakukan kegiatan yang menjadi wewenang penegak hukum; Menggunakan simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; Melakukan kegiatan separatis yang mengancam NKRI; Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Keluarnya Perppu ini kemudian menimbulkan pro dan kontra, dimana kelompok kontra mengatakan Perppu ini menunjukkan pemerintah dicap berdarah otoriter, Perppu ini merupakan refleksi kemunduran total demokrasi dan bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan kelompok yang pro terhadap Perppu ini menilai aturan hukum ini sebagai bentuk kehadiran negara mengatasi permasalahan bangsa; Upaya pemerintah merawat pluralisme, multikulturalisme dan demokrasi serta upaya menjaga amanat konstitusi.
Bahkan, kelompok pro berargumen dengan prinsip contrarius actus adalah asas yang menyatakan badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga berwenang membatalkan.
Pro dan Kontra
Menurut Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, secara ketatanegaraan, Perppu merupakan jalan konstitusional bagi pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dalam persepktif pemerintah belum memiliki dasar hukum atau dasar hukum yang tersedia dianggap tidak memadai. Perppu ini langsung berlaku tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan DPR.
"Perihal keabsahan dikeluarkannya Perppu, kata Hendardi, pemerintah dengan aparat keamanan dan intelijen, adalah pihak yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan ancaman keberbahayaan dari suatu organisasi masyarakat berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki. Sepanjang alat bukti tersedia, maka ancaman keberbahayaan tersebut adalah yang paling valid menjadi landasan dikeluarkannya Perppu, karena ketentuan yang ada dalam UU 17/2013 dianggap tidak mampu menjangkau keberbahayaan itu secara cepat,†kata Ketua Setara Institute ini.
Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU, Robikin Emhas mengatakan, langkah Presiden Jokowi menandatangani Perppu No 2/2017 merupakan langkah cerdas dan konstitusional. PBNU mendukung penuh terbitnya Perppu tersebut karena akan mempercepat proses hukum penanganan Ormas radikal dan Ormas anti Pancasila, tanpa memberangus hak-hak konstitusional Ormas.
Menurut Syafii Ma'arif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Perppu No 2/2017 sebagai respons terhadap adanya ancaman Ormas-ormas radikal dan anti Pancasila.
Wapres Jusuf Kalla menyatakan, penerbitan Perppu itu dibutuhkan untuk kondisi saat ini, dan aturan ini merupakan hal yang biasa sebagaimana aturan-atursn lainnya. Dukungan senada terhadap Perppu juga dikemukakan Bambang Soesatyo (anggota DPR-RI dari Partai Golkar), Teuku Taufiqulhadi (anggota DPR-RI dari Partai Nasdem).
Sebaliknya sikap kontra terhadap kehadiran Perppu No 2/2017 dikemukakan dari kubu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selama ini gencar melakukan sosialisasi terkait penerapan sistem khilafah Islamiyah untuk menggantikan sistem Pancasila bahkan Ormas yang pertama kali lahir di Yordania ini juga tidak mempercayai mekanisme demokrasi di Indonesia.
Kuasa Hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan yang dikeluarkan pemerintah, karena menurutnya ada contrarius actus yang tidak bisa diterapkan.
"Pihaknya akan meminta kepada majelis hakim untuk mengeluarkan putusan sela. Sebelum putusan ini memiliki kekuatan hukum final, maka keputusan yang mencabut status badan hukum yang berakibat pembubaran kepada HTI, itu ditunda pelaksanaannya. Sampai ada keputusan Mahkamah Agung yang memiliki keputusan hukum tetap," jelasnya.
Sementara itu, Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto mengatakan, pihaknya akan memfokuskan diri terhadap pengajuan uji materiil terhadap Perppu di Mahkamah Konstitusi. Rencananya, melalui kuasa hukum HTI, gugatan itu akan diajukan Senin 17 Juli 2017.
Kelompok kontra dengan kehadiran Perppu ini antara lain Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra, Fadli Zon, dan Wakil Ketua DPR-RI dari non fraksi, Fahri Hamzah, termasuk mantan Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas.
Langkah Cerdas dan Bentuk Kehadiran Negara
Kalau kita simak dengan cermat dan teliti, sebenarnya kelahiran Perppu No 2/2017 tidak salah, bahkan merupakan langkah cerdas dan merupakan bentuk kehadiran negara mengatasi permasalahan bangsa.
Langkah ini selaras dengan kutipan pendapat para pakar dunia seperti Mouirie Travali menyatakan "Teruslah bertanya supaya negara tetap terjaga", yang hakikatnya meminta setiap elemen bangsa untuk tidak membisukan diri saat menyaksikan ada segolongan pilar negara sedang kehilangan komitmen terhadap tugas dan kewajiban negara.
A leader is a dealer in hope (seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan), demikian petuah Napoleon Bonaparte.
Pemimpin besar pasti seorang yang memiliki karakter yang kuat, visi, inspiratif, dan mampu memberi harapan di tengah kesulitan yang mendera bangsanya. Langkah yang ditempuh Jokowi dengan Perppu ini untuk mencapai kemenangan atas beragam ancaman, karena kemenangan kata Jhon F Kennedy adalah victory has a thousand fathers, but defeat is an orphan. Indonesia ingin menjadi bangsa pemenang bukan pecundang.
Diakui atau tidak diakui, era reformasi dan demokrasi, masih ada beberapa kelompok yang menggunakan politik identitas dengan mengangkat isu permusuhan SARA untuk mencapai tujuan pragmatisnya; Masih adanya penodaan agama di berbagai Medsos, namun karena umumnya pelakunya bukan top figure maka tidak memanas seperti kasus Ahok; Masih ada aksi anarkis, gerakan separatis dan ancaman kebangkitan komunisme, termasuk kelompok yang ingin mengganti Pancasila.
Fakta menunjukkan, hasil Survei Nasional bertajuk "Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang digelar Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2016 menunjukan meski mayoritas umat Islam di Indonesia menolak radikalisme, namun ada sekitar 7,7% bersedia melakukan tindakan radikal jika ada kesempatan, dan 0,4% pernah melakukan tindakan radikal.
Selain itu, Survei juga menemukan bahwa 59,9% responden memiliki kebencian terhadap kelompok sosial tertentu, baik etnis, agama maupun ideologi politik. Kebencian itu juga diikuti dengan penolakan terhadap hak politik untuk duduk dalam pemerintahan, serta untuk berinteraksi secara sosial.
Temuan Wahid Foundation yang dirilis pada 2016 ini membuka mata kita bahwa intoleransi merupakan realitas faktual yang kian meningkat dan menjadi persemaian bagi berkembangnya paham dan tindakan radikal di Indonesia.
Negara dan hukum harus hadir di era demokrasi dan kebebasan saat ini agar demokrasi tidak merusak kepentingan orang lain atau kepentingan negara dan demokrasi tidak membawa bencana. Hal ini selaras dengan opini Edmund Burke dalam Reflections on the Revolution in France mengatakan, jika demokrasi diartikan dengan kebebasan, maka kebebasan tidak boleh mengganggu kebebasan orang lain, karena kepentingan orang lain adalah hak asasi. Sedangkan, VO Key dalam Public Opinion and American Democracy mengatakan, demokrasi yang menimbulkan bencana merupakan tanggung jawab elit kekuasaan bukan tanggung jawab massa.
Last but not least, upaya pemerintah menerbitkan dan mengesahkan Perppu No 2/2017 harus dilihat sebagai langkah fiat justitia ruat coeleum atau hukum harus tetap ditegakkan biarpun langit runtuh. Jadi tidak ada kata lain, kecuali kita sepakat mendukungnya.
*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI), dan alumnus Fisipol Universitas Jember (Unej), Jawa Timur.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Intisari larangan yang diatur dalam Perppu tersebut antara lain melakukan tindak permusuhan terhadap suku, agama, ras dan golongan; Melakukan penistaan atau penodaan terhadap agama di Indonesia; Melakukan tindakan kekerasan yang mengganggu ketertiban umum dan merusak fasilitas umum; Melakukan kegiatan yang menjadi wewenang penegak hukum; Menggunakan simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang; Melakukan kegiatan separatis yang mengancam NKRI; Menganut, mengembangkan, serta menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Keluarnya Perppu ini kemudian menimbulkan pro dan kontra, dimana kelompok kontra mengatakan Perppu ini menunjukkan pemerintah dicap berdarah otoriter, Perppu ini merupakan refleksi kemunduran total demokrasi dan bertentangan dengan UUD 1945, sedangkan kelompok yang pro terhadap Perppu ini menilai aturan hukum ini sebagai bentuk kehadiran negara mengatasi permasalahan bangsa; Upaya pemerintah merawat pluralisme, multikulturalisme dan demokrasi serta upaya menjaga amanat konstitusi.
Bahkan, kelompok pro berargumen dengan prinsip contrarius actus adalah asas yang menyatakan badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga berwenang membatalkan.
Pro dan Kontra
Menurut Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi, secara ketatanegaraan, Perppu merupakan jalan konstitusional bagi pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dalam persepktif pemerintah belum memiliki dasar hukum atau dasar hukum yang tersedia dianggap tidak memadai. Perppu ini langsung berlaku tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan DPR.
"Perihal keabsahan dikeluarkannya Perppu, kata Hendardi, pemerintah dengan aparat keamanan dan intelijen, adalah pihak yang memiliki otoritas untuk mendefinisikan ancaman keberbahayaan dari suatu organisasi masyarakat berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki. Sepanjang alat bukti tersedia, maka ancaman keberbahayaan tersebut adalah yang paling valid menjadi landasan dikeluarkannya Perppu, karena ketentuan yang ada dalam UU 17/2013 dianggap tidak mampu menjangkau keberbahayaan itu secara cepat,†kata Ketua Setara Institute ini.
Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU, Robikin Emhas mengatakan, langkah Presiden Jokowi menandatangani Perppu No 2/2017 merupakan langkah cerdas dan konstitusional. PBNU mendukung penuh terbitnya Perppu tersebut karena akan mempercepat proses hukum penanganan Ormas radikal dan Ormas anti Pancasila, tanpa memberangus hak-hak konstitusional Ormas.
Menurut Syafii Ma'arif, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Perppu No 2/2017 sebagai respons terhadap adanya ancaman Ormas-ormas radikal dan anti Pancasila.
Wapres Jusuf Kalla menyatakan, penerbitan Perppu itu dibutuhkan untuk kondisi saat ini, dan aturan ini merupakan hal yang biasa sebagaimana aturan-atursn lainnya. Dukungan senada terhadap Perppu juga dikemukakan Bambang Soesatyo (anggota DPR-RI dari Partai Golkar), Teuku Taufiqulhadi (anggota DPR-RI dari Partai Nasdem).
Sebaliknya sikap kontra terhadap kehadiran Perppu No 2/2017 dikemukakan dari kubu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang selama ini gencar melakukan sosialisasi terkait penerapan sistem khilafah Islamiyah untuk menggantikan sistem Pancasila bahkan Ormas yang pertama kali lahir di Yordania ini juga tidak mempercayai mekanisme demokrasi di Indonesia.
Kuasa Hukum HTI, Yusril Ihza Mahendra menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang perubahan atas UU nomor 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan yang dikeluarkan pemerintah, karena menurutnya ada contrarius actus yang tidak bisa diterapkan.
"Pihaknya akan meminta kepada majelis hakim untuk mengeluarkan putusan sela. Sebelum putusan ini memiliki kekuatan hukum final, maka keputusan yang mencabut status badan hukum yang berakibat pembubaran kepada HTI, itu ditunda pelaksanaannya. Sampai ada keputusan Mahkamah Agung yang memiliki keputusan hukum tetap," jelasnya.
Sementara itu, Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto mengatakan, pihaknya akan memfokuskan diri terhadap pengajuan uji materiil terhadap Perppu di Mahkamah Konstitusi. Rencananya, melalui kuasa hukum HTI, gugatan itu akan diajukan Senin 17 Juli 2017.
Kelompok kontra dengan kehadiran Perppu ini antara lain Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra, Fadli Zon, dan Wakil Ketua DPR-RI dari non fraksi, Fahri Hamzah, termasuk mantan Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas.
Langkah Cerdas dan Bentuk Kehadiran Negara
Kalau kita simak dengan cermat dan teliti, sebenarnya kelahiran Perppu No 2/2017 tidak salah, bahkan merupakan langkah cerdas dan merupakan bentuk kehadiran negara mengatasi permasalahan bangsa.
Langkah ini selaras dengan kutipan pendapat para pakar dunia seperti Mouirie Travali menyatakan "Teruslah bertanya supaya negara tetap terjaga", yang hakikatnya meminta setiap elemen bangsa untuk tidak membisukan diri saat menyaksikan ada segolongan pilar negara sedang kehilangan komitmen terhadap tugas dan kewajiban negara.
A leader is a dealer in hope (seorang pemimpin adalah penjual sekaligus pembeli harapan), demikian petuah Napoleon Bonaparte.
Pemimpin besar pasti seorang yang memiliki karakter yang kuat, visi, inspiratif, dan mampu memberi harapan di tengah kesulitan yang mendera bangsanya. Langkah yang ditempuh Jokowi dengan Perppu ini untuk mencapai kemenangan atas beragam ancaman, karena kemenangan kata Jhon F Kennedy adalah victory has a thousand fathers, but defeat is an orphan. Indonesia ingin menjadi bangsa pemenang bukan pecundang.
Diakui atau tidak diakui, era reformasi dan demokrasi, masih ada beberapa kelompok yang menggunakan politik identitas dengan mengangkat isu permusuhan SARA untuk mencapai tujuan pragmatisnya; Masih adanya penodaan agama di berbagai Medsos, namun karena umumnya pelakunya bukan top figure maka tidak memanas seperti kasus Ahok; Masih ada aksi anarkis, gerakan separatis dan ancaman kebangkitan komunisme, termasuk kelompok yang ingin mengganti Pancasila.
Fakta menunjukkan, hasil Survei Nasional bertajuk "Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang digelar Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2016 menunjukan meski mayoritas umat Islam di Indonesia menolak radikalisme, namun ada sekitar 7,7% bersedia melakukan tindakan radikal jika ada kesempatan, dan 0,4% pernah melakukan tindakan radikal.
Selain itu, Survei juga menemukan bahwa 59,9% responden memiliki kebencian terhadap kelompok sosial tertentu, baik etnis, agama maupun ideologi politik. Kebencian itu juga diikuti dengan penolakan terhadap hak politik untuk duduk dalam pemerintahan, serta untuk berinteraksi secara sosial.
Temuan Wahid Foundation yang dirilis pada 2016 ini membuka mata kita bahwa intoleransi merupakan realitas faktual yang kian meningkat dan menjadi persemaian bagi berkembangnya paham dan tindakan radikal di Indonesia.
Negara dan hukum harus hadir di era demokrasi dan kebebasan saat ini agar demokrasi tidak merusak kepentingan orang lain atau kepentingan negara dan demokrasi tidak membawa bencana. Hal ini selaras dengan opini Edmund Burke dalam Reflections on the Revolution in France mengatakan, jika demokrasi diartikan dengan kebebasan, maka kebebasan tidak boleh mengganggu kebebasan orang lain, karena kepentingan orang lain adalah hak asasi. Sedangkan, VO Key dalam Public Opinion and American Democracy mengatakan, demokrasi yang menimbulkan bencana merupakan tanggung jawab elit kekuasaan bukan tanggung jawab massa.
Last but not least, upaya pemerintah menerbitkan dan mengesahkan Perppu No 2/2017 harus dilihat sebagai langkah fiat justitia ruat coeleum atau hukum harus tetap ditegakkan biarpun langit runtuh. Jadi tidak ada kata lain, kecuali kita sepakat mendukungnya.
*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI), dan alumnus Fisipol Universitas Jember (Unej), Jawa Timur.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017