Menginjak usinya yang ke-71, kinerja Polri banyak dipuji berbagai kalangan karena dengan loyalitas, berdedikasi, serta berintegritas dalam mewujudkan situasi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) yang kondusif. Situasi yang kondusif sangat penting dalam menunjang pembangunan nasional dan pemerataan ekonomi yang berkeadilan di Indonesia.

Dalam sambutannya di upacara HUT Bhayangkara ke 71, Presiden Joko Widodo mengecam keras adanya kejahatan terorisme, perdagangan narkoba, manusia, dan penyelundupan senjata. Jokowi meminta Polri untuk menghancurkan kejahatan tersebut. Fenomena globalisasi, demokratisasi dan kemajuan teknologi informasi pasti mempengaruhi situasi keamanan dan ketertiban masyarakat. Seperti meningkatnya kejahatan transnasional khususnya terorisme yang menjadi benalu bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

"Polri mampu menunjukkan situasi kamtibmas yang kondusif, Polri sukses melakukan pencegahan konflik, penjagaan demonstrasi, penanganan terorisme, pemberantasan narkoba, menekan angka kejahatan konvensional seperti premanisme dan kejahatan jalanan. Serta mewujudkan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas," kata Jokowi saat menjadi Irup HUT Ke-71 Bhayangkara di Monas, Jakarta, Senin (10/7/2017).

Selain terorisme, perdagangan Narkoba, perdagangan manusia, penyelundupan senjata dan kejahatan siber juga merusak dan mengancam masa depan bangsa Indonesia.
 
Selain itu mengingatkan soal potensi konflik horizontal maupun konflik vertikal dengan isu-isu primordial, seperti masalah suku, agama dan ras keturunan juga akan meningkat. Polri perlu melakukan langkah-langkah antisipasi dini agar situasi Kamtibmas stabil dan energi bangsa kita tidak habis untuk hal-hal yang tidak produktif, seperti ujaran kebencian fitnah dan provokasi.

Polri juga perlu mempersiapkan diri untuk mengamankan Pilkada Serentak tahun 2018 dan Pemilu Legislatif serta Pilpres serentak tahun 2019 agar potensi kerawanan yang ada tidak berkembang menjadi konflik sosial yang meluas.

Di tengah serangan terhadap Polri yang terjadi belakangan ini, Polri harus terus menjaga nilai-nilai ke-Bhinneka-an yang sudah menjadi kodrat bangsa Indonesia. Polri harus terus menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Lima Instruksi Presiden

Ada lima instruksi Presiden Jokowi untuk Polri. Pertama, Jokowi berpesan Polri memperbaiki manajemen internal Polri. Hal itu bertujuan menekan budaya-budaya negatif di Polri, seperti korupsi, penggunaan kekerasan, penyalahgunaan wewenang, dan suap.
 
Kedua, Jokowi menginstruksikan Polri memantapkan soliditas internal dan profesionalisme. Hal itu merupakan tindak lanjut dari instruksi pertama.

Ketiga, optimalkan modernisasi Polri guna mendukung terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Modernisasi juga bagian dari antisipasi ancaman di masa depan.
 
Keempat, Polri harus meningkatkan kesiapsiagaan operasional melalui upaya deteksi dini dan deteksi aksi dengan strategi profesional proaktif. Dengan begitu, Polri tetap dapat lincah bertindak menghadapi perkembangan situasi yang meningkat secara cepat.
 
Adapun instruksi terakhir adalah Polri diminta meningkatkan kerja sama koordinasi dan komunikasi dengan semua elemen, baik pemerintah maupun masyarakat, di Indonesia, juga di negara lain.

Terorisme dan Narkoba

Di antara berbagai tantangan sekaligus ancaman yang serius bagi Polri ke depan adalah memerangi terorisme dan memberantas jaringan/bandar Narkoba yang semakin eksis di Indonesia.

Terkait dengan ancaman terorisme, banyak kalangan menilai berbagai serangan teror yang "gagal" akhir-akhir ini antara lain penusukan anggota Brimob di Sumut dan Jakarta, penangkapan terduga teroris di Jawa Barat dan Muara Enim (Sumsel), serta kasus-kasus penempelan bendera dan surat ancaman ISIS di Mapolsek Kebayoran, Jakarta dan sebelumnya penempelan surat ancaman ISIS di mobil Polantas di Banten sebagai "smoke-screen strategy" atau strategi melemparkan asap dengan tujuan agar perhatian Polisi terhadap kemungkinan adanya ancaman teror yang jauh lebih besar dan mematikan menjadi berkurang dan menciptakan "gap security" yang menyebabkan kelompok teror memiliki kesempatan melancarkan serangan, apalagi dengan adanya pemberitaan media massa terkait aksi-aksi teroris "kecil" akhir-akhir ini dikhawatirkan akan membuat masyarakat jengah dan bosan dengan berita terorisme, yang menyebabkan kewaspadaan mereka akan menurun. Dari rangkaian puzzle serangan dan "smoke-screen strategy", kita harus waspada bahwa aksi-aksi amaliah akan terus terjadi bahkan diperkirakan dalam waktu dekat.

Di tingkat yang lebih strategis, terutama dalam pembahasan RUU Anti Terorisme masih terjadi "sengkarut" pemikiran terkait keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme, karena banyak pihak menilai pemberantasan teroris harus mengacu kepada criminal justice system, walaupun ide ini ditolak oleh kelompok-kelompok yang pro TNI dalam pemberantasan teroris atau kelompok yang memandang teroris sebagai ancaman terhadap keamanan negara menyebutkan bahwa jika perang melawan teroris dilakukan dengan kerangka criminal justice system, maka kita akan kecolongan terus menerus, karena sistem ini tidak mengantisipasi rencana teror atau sistem ini berlaku jika sudah ada bukti atau jika aksi teror sudah terjadi alias terlambat.
 
Sengkarut ini juga akan membuat kelompok teror semakin berani melakukan serangan baik secara "lone-wolf" ataupun "systematic terror attack". Apalagi strategi kelompok teror saat ini mengutamakan serangan terhadap "near enemy" terlebih dahulu dibandingkan serangan terhadap "far-enemy".

Tugas dan tantangan berat lainnya bagi kalangan Polri adalah memberantas Narkoba, bahkan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian pernah mengadakan jumpa pers di depan kamar jenazah sebuah rumh sakit (17/1/2017) dengan tujuan untuk mengirim pesan kepada para pengedar Narkoba.

"Kepada para bandar, kalau masih melakukan, meracuni anak bangsa dan berani melawan saat ditangkap maka ya akan berakhir sama, di tempat ini juga di kamar jenazah. Akan diotopsi juga nantinya, dibelah-belah. Polri tidak pernah main-main," kata Tito.

Tito bahkan mengancam akan mencopot Direktur Reserse Narkoba di 33 Polda di Indonesia jika wilayahnya banyak peredaran narkoba tetapi mereka tak banyak bekerja. Penyalahgunaan dan peredaran narkotika menjadi salah satu kasus transnasional menonjol yang ditangani Polri setelah terorisme.

Sepanjang tahun 2016, kasus yang ditangani Polri terkait kejahatan narkotika sebanyak 41.025 kasus dengan 51.840 tersangka. Belum lagi Badan Narkotika Nasional (BNN) yang selama 2016 telah mengindentifikasi narkoba jenis baru atau new psychoactive substances (NPS). Jaringan asal Malaysia yang kemarin diungkap itu dipercaya hanya satu dari sekian banyak jaringan peredaran Narkotika lainnya.

Keberhasilan Polri memerangi teror dan memberantas Narkoba jelas harus didukung semua pihak dan bekerja sama dengan lembaga terkait lainnya, termasuk masyarakat. Semoga.

*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia (UI).

Pewarta: Toni Ervianto *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017