Bogor (Antara Megapolitan) Tanaman Tacca atau dikenal dengan nama ilmiah 'Tacca chantrieri' adalah tanaman hias langka yang memiliki potensi sebagai bahan obat anti kanker.
Tacca banyak digunakan sebagai obat tradisional di negara-negara Asia tropis. Masyarakat China dan Thailand telah lama menggunakan Rizhoma-nya sebagai obat tradisional.
Kandungan chantriolida, evelynin dan taccalonolida yang bisa digunakan dalam terapi penyembuhan kanker karena bersifat toksik terhadap sel kanker.
Bunga tanaman ini memiliki mahkota bunga yang lebar dan 'filiform' panjang yang menggantung di bawah bunga. Mahkota bunga ini berwarna marun hingga hitam serta berbentuk unik seperti kelelawar membuatnya diminati sebagai tanaman hias.
Secara umum, tanaman ini diperbanyak menggunakan benih, pemisahan anakan dan stek batang. Namun, tanaman dan benihnya ini sudah sangat sulit ditemukan akibat kerusakan habitat, pembukaan lahan dan fragmentasi hutan.
Selain itu, daya kecambah benih yang rendah (12 persen) dan anakan tanaman yang sedikit serta waktu berkembangbiakannya yang lama menjadi kendala dalam konservasi dan pengembangannya.
Rahayu, Rezky, Nikko dan Rizkiya, mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian (Faperta) Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan cara mengatasi permasalahan tersebut.
Mereka yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) melakukan penelitian yang berjudul ''Konservasi 'In Vitro Tacca Chantrieri' Andre Aksesi Kalimantan sebagai Penghasil Zat Anti Kanker''.
Rahayu Ning Janati mengatakan, dalam penelitian ini mereka akan mempelajari metode optimal perbanyakan tanaman secara 'In Vitro' (skala laboratorium) untuk menghasilkan bibit banyak dan seragam dalam waktu singkat.
''Kami juga akan melakukan analisis kandungan bahan obat anti kanker chantriolida, evelynin, saponin dan taccalonida pada tanaman tersebut,'' ujarnya.
Ia mengatakan bahwa kultur secara 'In Vitro' dianggap teknik yang cepat yang bisa menghasilkan tanaman Tacca dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Mereka melakukan penelitian ini di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
''Perbanyakan tanaman Tacca di laboratorium dilakukan pada dua jenis benih yaitu benih muda dan benih tua
menggunakan metode kultur jaringan. Setelah didapatkan benih hasil kultur jaringan maka dilakukan penanaman pada media yang telah diatur nutrisinya. Selanjutnya dilakukan pengamatan selama tiga bulan,'' kata Rahayu, Ketua PKM.
Hingga saat ini Rahayu dan tim masih dalam tahap penyelesaian dan melakukan analisis senyawa anti kanker pada tanaman Tacca.
''Semoga dengan adanya penelitian ini akan diperoleh produksi bibit tanaman Tacca dan diperoleh informasi kandungan zat anti kanker dalam tanaman tersebut,'' ungkap Rahayu dengan semangat. (AT/NM).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Tacca banyak digunakan sebagai obat tradisional di negara-negara Asia tropis. Masyarakat China dan Thailand telah lama menggunakan Rizhoma-nya sebagai obat tradisional.
Kandungan chantriolida, evelynin dan taccalonolida yang bisa digunakan dalam terapi penyembuhan kanker karena bersifat toksik terhadap sel kanker.
Bunga tanaman ini memiliki mahkota bunga yang lebar dan 'filiform' panjang yang menggantung di bawah bunga. Mahkota bunga ini berwarna marun hingga hitam serta berbentuk unik seperti kelelawar membuatnya diminati sebagai tanaman hias.
Secara umum, tanaman ini diperbanyak menggunakan benih, pemisahan anakan dan stek batang. Namun, tanaman dan benihnya ini sudah sangat sulit ditemukan akibat kerusakan habitat, pembukaan lahan dan fragmentasi hutan.
Selain itu, daya kecambah benih yang rendah (12 persen) dan anakan tanaman yang sedikit serta waktu berkembangbiakannya yang lama menjadi kendala dalam konservasi dan pengembangannya.
Rahayu, Rezky, Nikko dan Rizkiya, mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian (Faperta) Institut Pertanian Bogor (IPB) menemukan cara mengatasi permasalahan tersebut.
Mereka yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) melakukan penelitian yang berjudul ''Konservasi 'In Vitro Tacca Chantrieri' Andre Aksesi Kalimantan sebagai Penghasil Zat Anti Kanker''.
Rahayu Ning Janati mengatakan, dalam penelitian ini mereka akan mempelajari metode optimal perbanyakan tanaman secara 'In Vitro' (skala laboratorium) untuk menghasilkan bibit banyak dan seragam dalam waktu singkat.
''Kami juga akan melakukan analisis kandungan bahan obat anti kanker chantriolida, evelynin, saponin dan taccalonida pada tanaman tersebut,'' ujarnya.
Ia mengatakan bahwa kultur secara 'In Vitro' dianggap teknik yang cepat yang bisa menghasilkan tanaman Tacca dalam jumlah banyak dalam waktu singkat. Mereka melakukan penelitian ini di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB.
''Perbanyakan tanaman Tacca di laboratorium dilakukan pada dua jenis benih yaitu benih muda dan benih tua
menggunakan metode kultur jaringan. Setelah didapatkan benih hasil kultur jaringan maka dilakukan penanaman pada media yang telah diatur nutrisinya. Selanjutnya dilakukan pengamatan selama tiga bulan,'' kata Rahayu, Ketua PKM.
Hingga saat ini Rahayu dan tim masih dalam tahap penyelesaian dan melakukan analisis senyawa anti kanker pada tanaman Tacca.
''Semoga dengan adanya penelitian ini akan diperoleh produksi bibit tanaman Tacca dan diperoleh informasi kandungan zat anti kanker dalam tanaman tersebut,'' ungkap Rahayu dengan semangat. (AT/NM).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017