Bogor (Antara Megapolitan) - Sejumlah pakar lingkungan hidup Institut Pertanian Bogor (IPB) menilai keluarnya Amerika Serikat dari Perjanjian Paris, yang merupakan kesepakatan global bersejarah dalam memerangi perubahan iklim sebagai sikap yang tidak adil.

"Sebenarnya tidak masalah Amerika keluar dari Perjanjian Paris, tapi jadinya tidak adil," kata Guru Besar Perlindungan Hutan, Divisi Perlindungan Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB, Prof Bambang Hero Saharjo, dalam jumpa wartawan di Kampus IPB Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Minggu.

Bambang mengatakan, Amerika merupakan negara industri terbesar yang menghasilkan cukup besar emisi dari sektor industrinya.

"Tetapi, kita sepakat dengan Prancis yang tetap akan memperjuangan upaya pengendalian pemanasan global tanpa ada Amerika," katanya.

Menurutnya, keluarnya Amerika dari Perjanjian Paris sangat tidak beretika, karena sebagai negara penyumbang emisi terbesar harusnya bertanggungjawab.

"Kita tidak tau proses penanganan global warming seperti apa, apakah ada perubahan, sehingga upaya pengendalian pemanasan global bisa terus berjalan," kata Bambang.

Sementara itu, Prof Cecep Kusmana, dari Fakultas Kehutanan IPB berpendapat, Indonesia dapat memainkan undang-undang dalam upaya penyelamatan lingkungan mencegah pemanasan global pascakeluarnya Amerika.

"Undang-undang Indonesia sudah ada, yang mengatur hak atas lingkungan yang baik. Jadi Amerika mau keluar silahkan saja," kata Cecep.

Menurut Cecep, Amerika memiliki hak karena perjanjian tersebut tidak mengikat. Dan keputusan Presiden Donald Trump menarik Amerika dari Perjanjian Paris tidak akan mempengaruhi pendanaan dalam upaya penyelamatan lingkungan di negara berkembang termasuk di Indonesia.

"Dana Indonesia cukup banyak. Tinggal mau untuk menerapkannya, kita harus mampu mengupayaannya, dan Indonesia sangat mampu," katanya.

Tanggapan serupa juga disampaikan, Guru Besar Bidang Ekologi dan Manajemen Lanskap IPB, Prof Hadi Susilo Arifin.

"Harusnya Amerika ikut mengawal Perjanjian Paris, karena saat ini sudah masuk dalam iklim global, dan negara industri besar harusnya memiliki kepedulian lebih," katanya.

Apalagi lanjutnya, Indonesia menjadi paru-paru dunia seperti Brazil yang diharapkan bagi negara-negara industri untuk mendinginkan bumi.

"Padahal di Indonesia tidak terlalu besar menyumbang emisi, tetapi kita punya tanggungjawab menjadi paru-paru dunia," kata Hadi.

Wakil Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Brian McFeesters, membenarkan negaranya telah keluar dari Perjanjian Iklim Global yang disepakati di Paris, Prancis sejak Desember 2015.

"Benar bahwa Presiden Trump telah menyebutkan hal itu. Kebijakan itu masih terlalu baru untuk saya ungkapkan," kata Brian.

Perjanjian Paris soal perubahan iklim disetujui oleh hampir semua negara di dunia pada 2015 setelah melalui perundingan panjang.

Perjanjian dibuat untuk menanggapai perubahan iklim dengan mengurangi pembuangan gas rumah kaca serta menetapkan suatu target global untuk menjaga kenaikan temperatur rata-rata lebih dari dua derajat Celcius di atas tingkat praindustri.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017