Bekasi (Antara Megapolitan) - Dinas Sosial Kota Bekasi, Jawa Barat, mengungkapkan wilayahnya menjadi sasaran pengiriman gelandangan dan pengemis (gepeng) dari tiga wilayah provinsi di Indonesia menjelang Ramadan 1438H/2017.
"Para gepeng dan anak jalanan tersebut biasanya dikirim dari berbagai wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah, juga Lampung," kata Kepala Dinsos Kota Bekasi Junaedi di Bekasi, Rabu.
Menurut dia, masyarakat penyandang masalah sosial itu saat ini mulai menyebar di sejumlah ruas jalan protokol utama di Kota Bekasi dengan harapan mendapat belas kasihan warga.
Jalan protokol itu antara lain di Jalan Ahmad Yani, Jalan KH Noer Alie Kalimalang, Jalan M Hasibuan, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Ir H Djuanda, Jalan Cut Meutia, Jalan Kartini, dan Jalan Chairil Anwar.
Dikatakan Junaedi, pihaknya saat ini mulai mengintensifkan razia terhadap anak jalanan, gepeng, pengemis, dan waria jelang datangnya Ramadan 1438 Hijriah. Hal ini dilakukan demi mengantisipasi lonjakan kedatangan anak jalanan, gepeng, dan waria yang kerap terjadi setiap Ramadan.
"Sebagai wilayah yang paling dekat dengan ibukota Jakarta, Bekasi menjadi daerah strategis incaran mereka karena terlihat menonjol pertumbuhan ekonominya," katanya.
Namun demikian, dia tidak memungkiri bahwa tidak sedikit juga anak jalanan dan gepeng asal Kota Bekasi yang masih berkeliaran meskipun telah berulang kali ditangkap.
"Dari beberapa kali penindakan, terdata yang paling banyak beredar di Kota Bekasi adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial asal Lampung, sisanya dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kalau Kota Bekasi relatif sedikit," katanya.
Menurut Junaedi, upaya antisipasi itu dilakukan dengan melibatkan aparat Satuan Polisi Pamong Praja untuk menyisir mereka di sejumlah tempat mangkalnya.
Mereka yang terjaring akan ditampung di Lingkungan Pondok Sosial Kementerian Sosial di Bulak Kapal, Panti Penjaja Seks Komersial Pasar Rebo, atau di rumah singgah sebelum dipulangkan ke daerah asal.
"Yang agak sulit menindaklanjuti waria yang terjaring karena tidak ada tempat yang mau menampung," katanya.
Junaedi menambahkan, pengintensifan razia menjadi satu-satunya cara yang dapat dilakukan Dinsos untuk mengantisipasi meningkatnya keberadaan para PMKS selama Ramadan.
"Sebab jika harus menahan masuk kehadiran mereka di Kota Bekasi akan jauh lebih sulit. Kami tidak tahu di mana biasa diturunkan dan kapan waktunya," ujarnya.
Salah satu penyandang masalah sosial Suing (22), mengaku telah berprofesi sebagai pengamen jalanan sejak usia 5 tahun di Jalan M Hasibuan, Bekasi Selatan.
Namun seiring pria itu mulai tumbuh dewasa, sejumlah pengguna jalan mulai kehilangan rasa simpatiknya sehingga dia memutuskan untuk beralih propfesi sebagai penjual tissue.
"Saya sudah delapan kali kena razia Satpol PP dan dibina di Bulak Kapal selapa seminggu. Rasanya seperti dipenjara, tidak boleh kemana-mana dan hanya dapat makan tiga kali sehari," katanya.
Penyandang masalah sosial asal Kota Bekasi itu mengaku terpaksa berprofesi sebagai pengamen dan penjual tisssue di jalan karena belum pernah sekalipun merasakan dunia pendidikan.
"Saya belum lulus SD, susah nyari kerjanya. Saya bisanya cuma mengamen saja," katanya.
Dikatakan Suing, pengetatan aturan oleh Satpol PP mulai membuatnya mengubah pemikiran untuk berprofesi sebagai pemulung sampah plastik.
"Sekarang sudah tidak boleh lagi dagang di Jalan M Hasibuan. Saya takut ketangkap lagi. Makanya mau mulung sampah saja di stadion kalau lagi ada pertandingan sepakbola Liga 1. Uangnya sama saja dengan saya jualan dan mengamen," katanya.
(ADV/Humas Pemkot Bekasi).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
"Para gepeng dan anak jalanan tersebut biasanya dikirim dari berbagai wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah, juga Lampung," kata Kepala Dinsos Kota Bekasi Junaedi di Bekasi, Rabu.
Menurut dia, masyarakat penyandang masalah sosial itu saat ini mulai menyebar di sejumlah ruas jalan protokol utama di Kota Bekasi dengan harapan mendapat belas kasihan warga.
Jalan protokol itu antara lain di Jalan Ahmad Yani, Jalan KH Noer Alie Kalimalang, Jalan M Hasibuan, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Ir H Djuanda, Jalan Cut Meutia, Jalan Kartini, dan Jalan Chairil Anwar.
Dikatakan Junaedi, pihaknya saat ini mulai mengintensifkan razia terhadap anak jalanan, gepeng, pengemis, dan waria jelang datangnya Ramadan 1438 Hijriah. Hal ini dilakukan demi mengantisipasi lonjakan kedatangan anak jalanan, gepeng, dan waria yang kerap terjadi setiap Ramadan.
"Sebagai wilayah yang paling dekat dengan ibukota Jakarta, Bekasi menjadi daerah strategis incaran mereka karena terlihat menonjol pertumbuhan ekonominya," katanya.
Namun demikian, dia tidak memungkiri bahwa tidak sedikit juga anak jalanan dan gepeng asal Kota Bekasi yang masih berkeliaran meskipun telah berulang kali ditangkap.
"Dari beberapa kali penindakan, terdata yang paling banyak beredar di Kota Bekasi adalah penyandang masalah kesejahteraan sosial asal Lampung, sisanya dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kalau Kota Bekasi relatif sedikit," katanya.
Menurut Junaedi, upaya antisipasi itu dilakukan dengan melibatkan aparat Satuan Polisi Pamong Praja untuk menyisir mereka di sejumlah tempat mangkalnya.
Mereka yang terjaring akan ditampung di Lingkungan Pondok Sosial Kementerian Sosial di Bulak Kapal, Panti Penjaja Seks Komersial Pasar Rebo, atau di rumah singgah sebelum dipulangkan ke daerah asal.
"Yang agak sulit menindaklanjuti waria yang terjaring karena tidak ada tempat yang mau menampung," katanya.
Junaedi menambahkan, pengintensifan razia menjadi satu-satunya cara yang dapat dilakukan Dinsos untuk mengantisipasi meningkatnya keberadaan para PMKS selama Ramadan.
"Sebab jika harus menahan masuk kehadiran mereka di Kota Bekasi akan jauh lebih sulit. Kami tidak tahu di mana biasa diturunkan dan kapan waktunya," ujarnya.
Salah satu penyandang masalah sosial Suing (22), mengaku telah berprofesi sebagai pengamen jalanan sejak usia 5 tahun di Jalan M Hasibuan, Bekasi Selatan.
Namun seiring pria itu mulai tumbuh dewasa, sejumlah pengguna jalan mulai kehilangan rasa simpatiknya sehingga dia memutuskan untuk beralih propfesi sebagai penjual tissue.
"Saya sudah delapan kali kena razia Satpol PP dan dibina di Bulak Kapal selapa seminggu. Rasanya seperti dipenjara, tidak boleh kemana-mana dan hanya dapat makan tiga kali sehari," katanya.
Penyandang masalah sosial asal Kota Bekasi itu mengaku terpaksa berprofesi sebagai pengamen dan penjual tisssue di jalan karena belum pernah sekalipun merasakan dunia pendidikan.
"Saya belum lulus SD, susah nyari kerjanya. Saya bisanya cuma mengamen saja," katanya.
Dikatakan Suing, pengetatan aturan oleh Satpol PP mulai membuatnya mengubah pemikiran untuk berprofesi sebagai pemulung sampah plastik.
"Sekarang sudah tidak boleh lagi dagang di Jalan M Hasibuan. Saya takut ketangkap lagi. Makanya mau mulung sampah saja di stadion kalau lagi ada pertandingan sepakbola Liga 1. Uangnya sama saja dengan saya jualan dan mengamen," katanya.
(ADV/Humas Pemkot Bekasi).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017