Berkat kegigihannya melakukan advokasi mengelola sampah plastik, Komang Anik Sugiani, pegiat lingkungan dari Desa Mengening, Kabupaten Buleleng, Bali, menyabet penghargaan Kalpataru pada peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Jakarta, 5 Juni 2024.

Wanita berusia 34 tahun itu tak menyangka bisa membawa pulang penghargaan bergengsi dari pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk kategori perintis lingkungan, bersama tiga tokoh lainnya dari Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Jawa Tengah.

Sejak 2016, ibu dua anak itu mempelopori upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan di desanya dengan mendirikan Yayasan Project Jyoti Bali.

Sesuai dengan namanya, Jyoti dari bahasa Sansekerta yang berarti sinar. Yayasan itu bergerak mengedukasi masyarakat terkait lingkungan, pendidikan, sosial budaya, hingga ekonomi.

Kegiatan utamanya adalah memilah, mengelola, dan mengolah sampah plastik menjadi barang bernilai ekonomi melalui bank sampah Sahabat Jyoti.

Selain itu, dosen salah satu kampus teknologi informatika swasta di Kabupaten Buleleng, Bali, itu juga merintis ecoenzym untuk pertanian dan wisata tanpa sampah plastik di ekowisata air terjun Kebo Iwa di Desa Mengening.

Desa Mengening memiliki hawa sejuk karena berada di ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.

Dari Denpasar, desa itu berjarak sekitar 75 kilometer yang dapat ditempuh melalui perjalanan darat dengan waktu sekitar 2,5 jam.


Pegiat lingkungan Komang Anik Sugiani memberi les matematika dalam program belajar berbayar sampah plastik di Yayasan Project Jyothi Bali di Desa Mengening, Kabupaten Buleleng, Bali, Minggu (9/6/2024) ANTARA/Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

Belajar berbayar sampah plastik

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mencatat pada 2020 total produksi sampah secara nasional diperkirakan mencapai sekitar 67,8 juta ton atau naik dibandingkan 2018 mencapai 64 juta ton.

Dengan produksi sampah tersebut, diperkirakan rata-rata per hari sekitar 186 ribu ton sampah dihasilkan oleh sekitar 270 juta penduduk atau per orang diperkirakan menghasilkan sekitar 0,68 kilogram sampah setiap hari.

Tidak terbayangkan jika sampah yang sebagian besar adalah sampah plastik, akan terus menggunung jika tanpa campur tangan dan inovasi dalam menanganinya.

Belum lagi perilaku masyarakat masih ada yang membuang sampah sembarangan, misalnya di pinggir jalan hingga di sungai, yang sudah tentu mencemari estetika dan alam/lingkungan karena sifat plastik yang lama baru bisa terurai.

Selain itu, ada juga cara konvensional dengan membakar sampah yang seakan menjadi kebiasaan, namun menimbulkan emisi karbon kepada lingkungan.

Atas keprihatinan itu, Komang Anik melakukan edukasi kepada masyarakat di desa setempat, dimulai dari anak usia dini di taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah menengah atas/kejuruan (SMA/SMK).

Setiap hari Minggu mulai pukul 09.00 hingga 10.30 Wita, anak-anak TK dan pelajar sekolah dasar (SD), serta pukul 11.00 hingga 13.00 Wita, pelajar SMP hingga SMA mengikuti les atau belajar tambahan.

Mata pelajaran yang diberikan dalam les itu adalah matematika, bahasa Bali, dan bahasa Inggris secara gratis.

Selain itu, ada juga pengembangan karakter anak-anak, yakni setiap Senin latihan seni tari oleh sanggar tari, kemudian Selasa ada kelas yoga dari salah satu perguruan tinggi di Buleleng.

Selanjutnya setiap Rabu ada kelas lingkungan dan kebersihan, Kamis-Jumat ada kegiatan karate dan Sabtu diisi kegiatan seni budaya dan Minggu kelas belajar tersebut.

Lokasi belajar itu dilakukan di bangunan sederhana di halaman belakang kediamannya yang berbatasan dengan kawasan perkebunan cengkih.

Para pelajar itu cukup “membayar” menggunakan sampah plastik, misalnya kantong plastik hingga plastik bekas kemasan makanan, untuk mengikuti belajar tambahan itu.

Materi pelajaran diberikan oleh Komang Anik sendiri dan juga didukung oleh relawan hingga mahasiswa.

Total ada 74 pelajar yang mengikuti belajar berbayar dengan sampah plastik itu, di antaranya Luh Sri Devi (pelajar kelas II di SMA Negeri 1 Kubutambahan) dan Kadek Bayu Setiawan (siswa kelas III di SD Negeri 1 Mengening).

Keduanya mengaku tak gengsi untuk ikut mengelola sampah plastik, sekaligus bisa mempengaruhi teman sebayanya menjaga lingkungan.

Selain dibawa langsung anak-anak, sampah plastik juga dibawa oleh warga setempat, mulai dari para ibu di PKK, pemuda pemudi di karang taruna, hingga warga lanjut usia.

Dalam periode tertentu, yayasan itu juga menjemput sampah plastik langsung di rumah warga desa atau kegiatan gerebek sampah.

Plastik tak bernilai yang dibawa pelajar dan warga kemudian ditimbang dan dicatat oleh petugas yayasan, kemudian uangnya dijadikan tabungan oleh warga.

Harga per kilogram di bank sampah itu bervariasi menyesuaikan ukuran dan kebersihan, mulai Rp200 hingga Rp2.500.
 

Bank sampah itu juga menerima sampah dari kardus, kertas, botol kaca, hingga besi dengan besaran harga yang juga bervariasi.

Rata-rata setiap hari Minggu, total sampah plastik yang dikumpulkan melalui itu bisa mencapai hingga sembilan kilogram dan setiap bulannya total mencapai sekitar 450 kilogram.
 

Produk dari sampah plastik

Sampah berbahan plastik kemudian diolah menjadi produk atau barang bernilai ekonomi yang bisa jadi masih out of the box atau belum lumrah di kalangan masyarakat, di antaranya ecobrick, bantal alas duduk, desain wajah hingga material bangunan.

Produksi barang tersebut tergolong mudah, sederhana, dan yang paling penting tidak menimbulkan dampak atau emisi lanjutan terhadap lingkungan.

Untuk membuat ecobrick, plastik harus dalam keadaan bersih terlebih dahulu dan kering agar tidak ada mikroba yang masih menempel.

Plastik kemudian dimasukkan di dalam botol plastik bekas air mineral berukuran 600 mililiter, dan selanjutnya plastik ditekan menggunakan kayu dari bambu untuk memastikan kepadatan agar memenuhi botol dan tidak menyisakan ruang kosong.

Ecobrick pun siap disulap menjadi satu set empat tempat duduk, terdiri dari empat kursi dan satu meja yang memanfaatkan sekitar 226 botol ecobrink dengan total menggunakan sekitar 10 hingga 15 kilogram plastik.

Saat ini, produksi terbantu dengan kehadiran satu unit mesin pencacah yang disumbang oleh salah satu perusahaan badan usaha milik negara (BUMN).

Sebelumnya, ia harus memotong plastik itu secara manual menggunakan gunting, sehingga tidak efektif, baik dari segi waktu dan tenaga.

Kini, satu botol ecobrick dapat dibuat dalam waktu sekitar 15 menit, dibandingkan sebelumnya dengan cara manual membutuhkan waktu sekitar satu jam.

Untuk membuat kursi, masing-masing ecobrick itu kemudian dibentuk pola melingkar dengan direkatkan menggunakan lem kaca dan bagian tutup botol menjadi kaki kursi.

Sementara untuk meja, bagian tutup botol menjadi kaki meja dengan direkatkan menggunakan lem kaca dan dibuat pola segi lima, serta di atasnya ditambah kaca dan kain penutup untuk menambah estetika.

Masing-masing kursi menggunakan 19 botol ecobrick dan meja menggunakan 150 ecobrick berukuran 600 mililiter, dengan rata-rata pengerjaan oleh empat orang memakan waktu sekitar lima hingga delapan hari.

Selain menjadi meja dan kursi, ecobrick juga dapat digunakan sebagai material bangunan yang dapat menjadi alternatif pengganti batu bata.

Di taman belajar yayasan itu sudah menggunakan botol ecobrick berisi sampah plastik untuk membuat media menanam tanaman yang digabungkan dengan campuran semen dan tanah liat.

Produk lain yang diproduksi dari limbah plastik itu adalah bantal alas duduk menggunakan cacahan plastik yang dibuat oleh ibu-ibu rumah tangga di desa setempat.

Sementara desain wajah menggunakan plastik, dikerjakan oleh pelajar dengan cara menempelkan potongan-potongan kemasan plastik dengan pola tertentu, menyesuaikan sketsa tokoh yang diinginkan.

Produk lain yang dapat dibuat dari sampah bekas itu, di antaranya gantungan kunci hingga tempat tisu.

Misi sosial dan ekonomi

Selama ini, untuk proses produksi masih mengandalkan pemesanan, khususnya melalui media sosial yayasan tersebut.

Produk berbahan baku sampah plastik itu diminati konsumen, tidak hanya di Bali, tapi juga dari luar daerah, di antaranya Jakarta dan Nusa Tenggara Timur.

Setiap hasil produksi, misalnya bantal alas duduk, ibu-ibu rumah tangga yang mengerjakan mendapatkan tambahan pemasukan rata-rata Rp10 ribu hingga Rp20 ribu per produksi bantal.

Begitu juga untuk desain wajah dari plastik, pelajar yang memproduksi juga mendapatkan tambahan uang sebesar Rp100 ribu per desain.

Sisanya, pendapatan itu digunakan untuk biaya operasional, misalnya membayar transportasi dan honor tenaga relawan untuk mengajar, meskipun para relawan itu enggan menerima honor dari yayasan tersebut.

Di sisi lain, pendapatan yang diterima juga dianggarkan untuk membantu biaya sekolah anak terancam putus sekolah di desa setempat.

Saat ini, sudah terdata ada empat anak untuk dibantu biaya pendidikannya, yakni setiap bulan sebesar Rp250 ribu untuk pelajar SMP dan Rp350 ribu untuk pelajar SMA.

Hingga 2023, pihaknya memberikan manfaat kepada 124 pelajar SD, SMP dan SMA, serta kepada ibu rumah tangga dan warga lanjut usia.

Tak hanya itu, tabungan di bank sampah itu juga dapat ditarik oleh warga saat periode tertentu, di antaranya saat Hari Raya Galungan atau menukar sampah plastik dengan kebutuhan pokok.

Misi sosial lainnya adalah melakukan safari ke 20 sekolah di Kabupaten Buleleng untuk melatih para pelajar membuat ecobrick.

Secara tidak langsung, melalui upaya itu warga desa setempat diberikan kesadaran untuk melakukan pemilahan sampah plastik sejak dari rumah dan ikut menjaga lingkungan.

Kalpataru atau penghargaan apa pun  adalah penting sebagai sebuah bonus dan pengakuan atas jasa para pegiat dalam menjaga kelestarian lingkungan.

Hal yang paling penting adalah perlu konsistensi dan keberlanjutan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan demi masa depan Bumi agar lebih hijau.

“Upaya (yang dilakukan peraih Kalpataru) itu sangat baik dan menjadi teladan kepada kaum muda di Bali,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Bali I Made Teja.

Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024