Masalah sosial yang muncul di masyarakat, pada umumnya bermula dari masalah yang timbul di dalam keluarga.
Penyelesaian masalah kenakalan remaja, narkoba, tawuran, dan lainnya, selama ini lebih banyak diteropong ke luar lewat upaya normalisasi alias ditangani dengan cara rehabilitatif pada mereka yang terlibat.
Jika masalah dasar atau asal mulanya tidak pernah disentuh secara preventif, maka upaya rehabilitasi tidak akan pernah menemukan keberhasilan yang menyeluruh dan permanen.
Komunitas "Ngopi Bareng" yang selama ini menekuni belajar tentang ilmu kesadaran memandang penting upaya menyelamatkan generasi masa kini dan mendatang, dengan mengajak masyarakat untuk peduli pada masalah laten di dalam keluarga.
Komunitas yang digawangi oleh Prof Ridho Bayuaji, ST, MT, PhD, guru besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, ini menelorkan program "Gerakan Orang Tua Membersamai Anak", dengan berkeliling Jawa Timur untuk mengajak masyarakat betul-betul menyelami masalah keluarga, dengan menggunakan kacamata ilmu kesadaran.
Dalam beberapa tahun ini, anggota komunitas Ngopi Bareng memang belajar ilmu kesadaran yang diampu oleh Aswar, yang akrab disapa Bang Aswar.
Setelah belajar ilmu tentang jiwa yang muaranya pada masalah keilahian ini, anggota komunitas mulai merasakan manfaat dalam relasi dengan keluarga. Diyakini bahwa manfaat mengaplikasikan ilmu kesadaran ini pada perbaikan hubungan dalam keluarga dan sosial, komunitas ini merasa terpanggil untuk hadir di tengah masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas keluarga.
Untuk tahap pertama, komunitas ini hadir di Kota Probolinggo, dengan pembicara Profesor Ridho bersama puteranya Abdul Bahaudin atau Addin.
Lewat kegiatan ini mereka berbagi pengalaman bagaimana Addin, yang kecanduan game dan sudah tidak mau melanjutkan sekolah formal, kini, jiwanya kembali bangkit untuk menjalani hidup yang lebih produktif.
Menghadapi kenyataan anak yang dianggap "menyimpang" itu, orang tua Addin sempat mengalami gundah, bahkan, tidak jarang berujung pada amarah.
Lewat pembelajaran ilmu kesadaran, Prof Ridho, akhirnya tersadarkan bahwa selama ini, dia dan istri telah memperlakukan anak dalam bingkai "relasi kuasa". Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam relasi itu, tidak ada pilihan lain, kecuali anak harus patuh pada orang tua. Ketika tidak patuh, artinya si anak masuk dalam golongan pendurhaka.
Padahal, kata Prof Ridho, agama mengingatkan bahwa tidak ada yang boleh menguasai orang lain, kecuali sang pemilik kehidupan, yakni Allah SWT.
Pesan untuk penghargaan dan penghormatan orang tua terhadap anak itu termaktub dalam Al Qur'an Surat An Nas, ayat 1 hingga 3.
Dalam surat itu Allah menegaskan bahwa tidak ada yang berkuasa (raja) atas manusia satu dengan lainnya, kecuali Al Malik, yakni Allah.
Karena itu relasi kuasa orang tua terhadap anak adalah "pengingkaran" terhadap ajaran Islam, sebagaimana diingatkan oleh Allah dalam Surat An Nas.
Menemukan kesadaran lewat Surat An Nas itu, Prof Ridho mulai mengubah pikiran dan perlakuan pada sang anak yang selama ini dianggap tidak patuh, bahkan dicap durhaka.
Dia mulai menghormati jiwa si anak yang di dalam dirinya juga bersemayam ruh Allah, sehingga harus dihormati, sebagaimana anak harus hormat kepada orang tuanya.
Prof Ridho dan istri tidak lagi memaksa anak harus selalu sesuai dengan keinginan orang tua. Ia justru terus menerus membersihkan jiwanya, sehingga vibrasi jiwanya dirasakan oleh seluruh anggota keluarga, termasuk anak.
Pada saat bersamaan, Addin juga mau belajar ilmu kesadaran yang tingkat pemahaman dan praktik dari ilmu kesadaran ini diukur lewat progesif jiwanya atau level kesadaran (level of consciousness/LoC).
Semakin progresif jiwa seseorang, maka lambat laun perilakunya ikut berubah. Ia tidak berubah karena pengaruh faktor eksternal, misalnya takut atau ingin dipuji oleh orang tuanya. Ia berubah karena jiwanya mulai sadar, mana yang lebih banyak memberi manfaat dan perilaku mana yang sebaliknya.
Addin yang sebelumnya kecanduan, bahkan hingga 24 jam tidak berhenti, kini mulai nyaman dan menikmati kebiasaan barunya untuk terus belajar. Addin, kini mulai kecanduan membaca buku, khususnya terkait ilmu kesadaran.
Pengalaman Addin dan orang tuanya ini mengilhami anggota komunitas untuk lebih giat belajar memprogresifkan jiwanya, hingga ke level lebih tinggi.
Tidak hanya terkait perilaku anak yang selama ini menjadi perhatian besar para orang tua, tapi juga bagaimana para orang mulai merasakan bahagianya dalam kehidupan sehari-hari bersama keluarga, dengan berpijak pada keluhuran jiwa yang kualitasnya terus progresif.
"Rumahku adalah surgaku", kini mulai banyak dirasakan oleh anggota komunitas yang strata sosial, pendidikan, dan ekonominya sangat beragam itu. Ada anggota yang berpendidikan hanya sekolah dasar, ada yang kebanyakan sarjana, bahkan tingkat pascasarjana, sangat nyaman menikmati pembelajaran, baik lewat sarana teknologi informasi, yakni pertemuan daring, maupun berjumpa langsung lewat pembelajaran bersama.
Kalau selama ini suami atau seorang bapak terlena dalam jeratan jiwa sebagai "raja" dalam keluarga, kini mulai berubah mempraktikkan "cinta tak bersyarat" dalam hidup berkeluarga.
Suami, istri, dan anak menjalankan relasi setara, sehingga pola hubungan dan pengasuhan yang biasanya diwarnai "marah-marah", kini tidak tampak lagi. Semua saling memberikan penghargaan sesama makhluk yang oleh Allah juga sangat dihargai dan dimuliakan.
Dengan pola relasi dan pengasuhan yang damai, maka anak-anak juga menjadi nyaman dan betah berada di rumah, sehingga tidak tergoda untuk berulah di luar.
Demikian juga dengan pasangan suami istri yang selama ini lebih banyak berada dalam suasana saling marah, kini menjadi lebih damai. Bahkan, pasangan yang sudah retak, kini mesra kembali untuk meneruskan biduk rumah tangga yang damai dan menghadirkan surga lebih awal, sebelum periode akhirat datang.
Komunitas Ngopi Bareng berharap apa yang menjadi program keliling Jatim ini menjadi sumbangsih sebagai warga negara untuk Indonesia yang kita cintai bersama.
Sebagai ikhtiar inklusif, kegiatan ini tentu sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar "berkeluarga", baik yang sudah terikat dalam pernikahan maupun yang masih berencana untuk menikah.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Penyelesaian masalah kenakalan remaja, narkoba, tawuran, dan lainnya, selama ini lebih banyak diteropong ke luar lewat upaya normalisasi alias ditangani dengan cara rehabilitatif pada mereka yang terlibat.
Jika masalah dasar atau asal mulanya tidak pernah disentuh secara preventif, maka upaya rehabilitasi tidak akan pernah menemukan keberhasilan yang menyeluruh dan permanen.
Komunitas "Ngopi Bareng" yang selama ini menekuni belajar tentang ilmu kesadaran memandang penting upaya menyelamatkan generasi masa kini dan mendatang, dengan mengajak masyarakat untuk peduli pada masalah laten di dalam keluarga.
Komunitas yang digawangi oleh Prof Ridho Bayuaji, ST, MT, PhD, guru besar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Surabaya, ini menelorkan program "Gerakan Orang Tua Membersamai Anak", dengan berkeliling Jawa Timur untuk mengajak masyarakat betul-betul menyelami masalah keluarga, dengan menggunakan kacamata ilmu kesadaran.
Dalam beberapa tahun ini, anggota komunitas Ngopi Bareng memang belajar ilmu kesadaran yang diampu oleh Aswar, yang akrab disapa Bang Aswar.
Setelah belajar ilmu tentang jiwa yang muaranya pada masalah keilahian ini, anggota komunitas mulai merasakan manfaat dalam relasi dengan keluarga. Diyakini bahwa manfaat mengaplikasikan ilmu kesadaran ini pada perbaikan hubungan dalam keluarga dan sosial, komunitas ini merasa terpanggil untuk hadir di tengah masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas keluarga.
Untuk tahap pertama, komunitas ini hadir di Kota Probolinggo, dengan pembicara Profesor Ridho bersama puteranya Abdul Bahaudin atau Addin.
Lewat kegiatan ini mereka berbagi pengalaman bagaimana Addin, yang kecanduan game dan sudah tidak mau melanjutkan sekolah formal, kini, jiwanya kembali bangkit untuk menjalani hidup yang lebih produktif.
Menghadapi kenyataan anak yang dianggap "menyimpang" itu, orang tua Addin sempat mengalami gundah, bahkan, tidak jarang berujung pada amarah.
Lewat pembelajaran ilmu kesadaran, Prof Ridho, akhirnya tersadarkan bahwa selama ini, dia dan istri telah memperlakukan anak dalam bingkai "relasi kuasa". Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam relasi itu, tidak ada pilihan lain, kecuali anak harus patuh pada orang tua. Ketika tidak patuh, artinya si anak masuk dalam golongan pendurhaka.
Padahal, kata Prof Ridho, agama mengingatkan bahwa tidak ada yang boleh menguasai orang lain, kecuali sang pemilik kehidupan, yakni Allah SWT.
Pesan untuk penghargaan dan penghormatan orang tua terhadap anak itu termaktub dalam Al Qur'an Surat An Nas, ayat 1 hingga 3.
Dalam surat itu Allah menegaskan bahwa tidak ada yang berkuasa (raja) atas manusia satu dengan lainnya, kecuali Al Malik, yakni Allah.
Karena itu relasi kuasa orang tua terhadap anak adalah "pengingkaran" terhadap ajaran Islam, sebagaimana diingatkan oleh Allah dalam Surat An Nas.
Menemukan kesadaran lewat Surat An Nas itu, Prof Ridho mulai mengubah pikiran dan perlakuan pada sang anak yang selama ini dianggap tidak patuh, bahkan dicap durhaka.
Dia mulai menghormati jiwa si anak yang di dalam dirinya juga bersemayam ruh Allah, sehingga harus dihormati, sebagaimana anak harus hormat kepada orang tuanya.
Prof Ridho dan istri tidak lagi memaksa anak harus selalu sesuai dengan keinginan orang tua. Ia justru terus menerus membersihkan jiwanya, sehingga vibrasi jiwanya dirasakan oleh seluruh anggota keluarga, termasuk anak.
Pada saat bersamaan, Addin juga mau belajar ilmu kesadaran yang tingkat pemahaman dan praktik dari ilmu kesadaran ini diukur lewat progesif jiwanya atau level kesadaran (level of consciousness/LoC).
Semakin progresif jiwa seseorang, maka lambat laun perilakunya ikut berubah. Ia tidak berubah karena pengaruh faktor eksternal, misalnya takut atau ingin dipuji oleh orang tuanya. Ia berubah karena jiwanya mulai sadar, mana yang lebih banyak memberi manfaat dan perilaku mana yang sebaliknya.
Addin yang sebelumnya kecanduan, bahkan hingga 24 jam tidak berhenti, kini mulai nyaman dan menikmati kebiasaan barunya untuk terus belajar. Addin, kini mulai kecanduan membaca buku, khususnya terkait ilmu kesadaran.
Pengalaman Addin dan orang tuanya ini mengilhami anggota komunitas untuk lebih giat belajar memprogresifkan jiwanya, hingga ke level lebih tinggi.
Tidak hanya terkait perilaku anak yang selama ini menjadi perhatian besar para orang tua, tapi juga bagaimana para orang mulai merasakan bahagianya dalam kehidupan sehari-hari bersama keluarga, dengan berpijak pada keluhuran jiwa yang kualitasnya terus progresif.
"Rumahku adalah surgaku", kini mulai banyak dirasakan oleh anggota komunitas yang strata sosial, pendidikan, dan ekonominya sangat beragam itu. Ada anggota yang berpendidikan hanya sekolah dasar, ada yang kebanyakan sarjana, bahkan tingkat pascasarjana, sangat nyaman menikmati pembelajaran, baik lewat sarana teknologi informasi, yakni pertemuan daring, maupun berjumpa langsung lewat pembelajaran bersama.
Kalau selama ini suami atau seorang bapak terlena dalam jeratan jiwa sebagai "raja" dalam keluarga, kini mulai berubah mempraktikkan "cinta tak bersyarat" dalam hidup berkeluarga.
Suami, istri, dan anak menjalankan relasi setara, sehingga pola hubungan dan pengasuhan yang biasanya diwarnai "marah-marah", kini tidak tampak lagi. Semua saling memberikan penghargaan sesama makhluk yang oleh Allah juga sangat dihargai dan dimuliakan.
Dengan pola relasi dan pengasuhan yang damai, maka anak-anak juga menjadi nyaman dan betah berada di rumah, sehingga tidak tergoda untuk berulah di luar.
Demikian juga dengan pasangan suami istri yang selama ini lebih banyak berada dalam suasana saling marah, kini menjadi lebih damai. Bahkan, pasangan yang sudah retak, kini mesra kembali untuk meneruskan biduk rumah tangga yang damai dan menghadirkan surga lebih awal, sebelum periode akhirat datang.
Komunitas Ngopi Bareng berharap apa yang menjadi program keliling Jatim ini menjadi sumbangsih sebagai warga negara untuk Indonesia yang kita cintai bersama.
Sebagai ikhtiar inklusif, kegiatan ini tentu sangat terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar "berkeluarga", baik yang sudah terikat dalam pernikahan maupun yang masih berencana untuk menikah.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024