Depok (Antara Megapolitan) - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Rizal E. Halim mengatakan untuk menangani kasus antara angkutan dalam jaringan (Daring) dengan konvensional sebaiknya dilakukan sejumlah perbaikan regulasi dengan dua pendekatan.

"Pertama, dari sisi pengaturan kebijakan yang diperlukan untuk menata aktivitas pelaku usaha dan interaksinya dengan masyarkaat dan pemerintah. Untuk pendekatan ini, pada prinsipinya adalah memutahiran seluruh regulasi yang sudah usang (obsolete)," kata Rizal di kampus UI Depok, Jumat.

Dengan pendekatan ini katanya maka produktivitas dan daya saing Indonesia dapat semakin ditingkatkan karena sebagian besar persoalan lemahnya daya saing adalah persoalan regulasi yang memandulkan produktivtas.

Kedua, pendekatan untuk memberi rasa kenyamanan dan keamanan bagi masyarakat (baik pelaku usaha maupun konsumen). Terkait ini, maka yang dapat dilakukan Pemerintah adalah mengevaluasi tuntutan berbagai pihak dan merespon dengan bijak.

Tuntutan berbagai pihak tentunya memiliki muatan kepentingan yang berbeda-beda. Di sisi lain, Pemerintah perlu memberikan jaminan perlindungan bagi setiap warga negaranya.

Sudah waktunya bagi angkutan konvensional untuk memperbaharui model bisnisnya. Di sisi lain, angkutan online juga harus tunduk pada aturan yang berlaku di Indonesia seperti berbadan hukum (boleh PT,CV, atau koperasi) sehingga pertanggungjawaban hukumnya jelas.

Untuk uji kir, perlu dipikirkan menggunakan teknik lainnya seperti pemasangan stiker. Jika ada dugaan "predatory pricing" yang dilakukan taksi online, maka Pemerintah wajib memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku usaha tersebut.

Tentunya dugaan "predatory pricing" perlu diuji dengan teliti. Teknik mengujinya banyak dan telah digunakan di sejumlah negara. "Predatory pricing" adalah salah satu bentuk strategi yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual produk dengan harga yang sangat rendah.

Rizal mengatakan yang bertahan adalah yang dapat meyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan peradaban saat ini. Terkait dengn rencana pengaturan taksi online melalui revisi Pemenhub 32 tahun 2016, sebaiknya dilakukan tidak untuk sekedar memenuhi persoalan yang bersifat artificial.

Maksudnya adalah tidak hanya reaktif atas tuntutan kesamaan perlakuan (equal treatment), tudingan predatory pricing hingga persoalan perlindungan privasi konsumen.

Untuk memastikan perlakuan sama (equal treatment) lanjutnya, pertama pemerintah perlu merevisi sejumlah regulasi (hampir sebagian besar sektor) akibat perkembangan teknologi atau e-commerce. Tidak hanya di sektor transportasi tetapi juga sektor-sektor lainnya.

Kedua, untuk megidentifikasi adanya praktek predatory pricing, maka ada banyak teknik yang tersedia dalam domain akademis seperti "short-run cost based", "long-term cost based", "industry specific rules" dan "rule of reason test".

Sehingga pengambil kebijakan dapat memutuskan apakah pelaku usaha tertentu melakukan praktek ini. Tentunya tidak hanya pada sektor transportasi, tetapi juga di sektor-sektor lainnya karena praktek "predatory pricing" ini dilarang tidak hanya di Indonesia tetapi juga Negara-negara lainnya di dunia.

Ketiga, untuk persoalan perlindungan privasi konsumen, juga sebaiknya dilakukan secara menyeluruh karena tidak hanya di sektor ini tetapi juga sektor-sektor lainnya seperti perdagangan online, perbankan, telekomunikasi, dan seterusnya.

Di Negara-negara maju, telah banyak mengembangkan kebijakan yang disebut "save harbor privacy policy" yang memberikan jaminan keamanan privasi bagi setiap individu yang menkonsumsi barang ataupun jasa.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017