Depok (Antara Megapolitan) - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Rizal E. Halim menilai perlu perubahan terhadap Undang-Undanng No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengingat sebagian besar materi dalam UU ini sudah tidak dapat menjawab perkembangan saat ini.

"Perubahan UU perlindungan konsumen harus dapat menghadirkan Negara sebagai pelindung bagi setiap warga negaranya sesuai amanat UUD 1945," kata Rizal di kampus UI Depok, Rabu.

Ia mengatakan sejumlah realitas dinamika pasar tidak lagi dapat diakomodasi oleh UU yang telah berusia hampir 20 tahun ini. Di sisi lain, meskipun UU ini termasuk salah satu regulasi perintis dalam tatanan sistem kelembagaan paska krisis 1997-1998, namun implementasinya masih sangat jauh dari yang diharapkan.

"Setidaknya tiga poin utama dalam substansi yang belum terwujudkan dari UU No 8 tahun 1999," jelasnya.

Pertama, kata Rizal UU ini ada tapi tidak nyata atau tidak dirasakan sama sekali oleh masyarakat. Faktanya adalah masayrakat yang tidak lain adalah konsumen tetap berada sebagai kelompok inferior.

Kedua adalah kelembagaan perlindungan konsumen (institusionalisasi), dan Ketiga adalah penegakan dan kepastian hukum perlindungan konsumen.

Untuk itu, lanjutnya perubahan UU perlindungan konsumen perlu segera di respon dengan bijak. Perubahan UU ini perlu mengakomodasi berbagai perkembangan zaman dan pasar yang dinamis. Perubahan UU perlindungan konsumen sebaiknya disusun secara komprehensif dan holistik.

Komprehensif artinya mencakup perspektif filosofis, historis, yuridis dan memayungi seluruh sektor yang ada. Holistik mengandung makna soliditas regulasi yang utuh dan tidak terpisahkan dari sistem hukum yang ada di Indonesia.

Menurut dia perubahan UU ini perlu memperhatikan/mencermati sejumlah regulasi lintas sektor, lintas fungsi, sehingga mengeliminir berbagai tumpang tindih atau bahkan kontradiksi yang berpeluang terjadi.

Kemudian institusionalisasi upaya perlindungan konsumen atau sisi kelembagaan perlindungan konsumen perlu diperkuat dengan memberi ruang yang memadai bagi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang telah diamanatkan dalam UU no 8/1999.

Memperkuat kelembagaan perlindungan konsumen artinya memperkuat institusi resmi yang diakui UU dalam upaya perlindungan konsumen ( yakni BPKN). Sayangnya lembaga ini belum dapat berbuat banyak meskipunn telah ada sejak 12 tahun lalu.

Hal penting lainnya dalam perubahan UU perlindungan konsumen adalah mempertegas penegakan hukum perlidnungan konsumen.

Perlakuan small claim tribunals dan alternative dispute resolution sebagaimana yang diamanatkan dalam resolusi PBB No.39/248 Tahun 1985 dan kemudian dimuktahirkan tahun 2016 (atau dikenal dengan UN Guidelines for Consumer Protection) perlu dipahami dengan utuh.

Artinya penerapan mekanisme ini tetap mempertimbangkan landasan filosofis dari perlakuan hukum tersebut yang tidak lain adalah efisiensi dan efektivitas.

Kita berharap semoga perubahan UU perlindungan konsumen ini dapat segera direspon oleh Pemerintah dengan tanpa mengabaikan hal-hal yang substansial dan tidak hanya sekedar seremonial.

Pewarta: Feru Lantara

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017